IQ, MI, dan Gaya Belajar

Oleh Abdul Halim Fathani

TULISAN (ada) siswa cerdas, tapi (dianggap) “bodoh”, yang saya posting tanggal 15 April 2011 ditanggapi oleh dua kawan. Ella imuet menanggapi tulisan tersebut demikian,“pd dasarnya cerdas tidaknya anak tergantung tingkat kemaun untuk berusaha dalam mencari ilmu baru yang belum dimengerti tp tingkat IQ tu jg harus tetap dipakai untuk mempermudah dalam memberi pengajaran.” Sedangkan Wawan Doank berkomentar “sebenarnya tingkat IQ anak jg berpengaruh pd pembelajaran disamping kemauan dan kadisiplinan,tp kepercayaan dan dukungan jg berpengaruh terutama ank yg tingkat IQ rendah,tp kebanyakan orang akan memberikan kepercayaan( baca:Kesempatan) & dukungan pd anak yg dianggap tingkat IQ tinggi.” Terkait tanggapan dua kawan tersebut, dalam kesempatan ini saya berminat untuk member tanggapan balik atas tanggapan dua kawan tersebut, seputar IQ, MI, dan Gaya Belajar. Semoga bisa menjadi bahan diskusi lebih lanjut.

Kita ketahui bahwa saat ini, banyak orang yang telah menjalani tes IQ memperoleh hasil yang berbeda. Bila Anda pernah menjalani tes ini, Anda tentu sangat berharap untuk bisa masuk ke dalam golongan elit dengan IQ di atas rata-rata. Mengapa demikian? Tentu saja Anda akan sangat bangga kalau hasil tes Anda baik. Apalagi kalau Anda bisa masuk dalam kategori sangat cerdas atau jenius. (Gunawan, 2007:158). Kalau nilainya berada di antara 100-110, maka ia termasuk golongan yang biasa-biasa saja. Kalau di bawah 100, maka ia termasuk yang agak bodoh. Kalau di atas 110, maka ia masuk golongan yang cerdas. Semakin tinggi hasil tesnya berarti semakin cerdas.

Tetapi pernahkah Anda berpikir apakah sebenarnya yang diukur dengan tes IQ tersebut? Secara umum yang diuji dalam tes IQ hanyalah dua jenis kecerdasan, yaitu kecerdasan linguistik dan logis-matematis. Padahal, kalau kita merujuk pendapat Howard Gardner dalam teori multiple intelligences-nya, disebutkan bahwa ada delapan kecerdasan dalam setiap diri manusia.

Gardner mengusulkan dalam bukunya, Frames of Mind: The Theory of Multiple Intelligences (1983), bahwa kecerdasan memiliki tujuh komponen, meliputi kecerdasan verbal-linguistik, kecerdasan logis-matematis, kecerdasan visual-spasial, kecerdasan ritmik-musik, kecerdasan kinestetik, kecerdasan interpersonal, dan kecerdasan intrapersonal (Lwin, dkk. (2004:2). Kemudian, sesuai dengan perkembangan penelitian yang dilakukannya, Gardner lalu memasukkan kecerdasan kedelapan dalam multiple intelligences, yakni kecerdasan naturalis (Gunawan, 2007:106).

Sekarang ini masih ada satu lagi kecerdasan yang sedang “digodok”, yakni kecerdasan eksistensial. Berkaitan dengan kecerdasan ini, dalam salah satu pesan singkatnya (6/1/2010, 00:48), Munif Chatib menjelaskan kepada saya, bahwa kecerdasan eksistensial itu terkait dengan keyakinan masing-masing orang, hampir mirip dengan kecerdasan spiritual. Gardner mengatakan kecerdasan eksistensial ini sebagai kecerdasan yang ke 8 setengah (belum termasuk kecerdasan yang kesembilan).

Dengan melihat teori multiple intelligences yang dicetuskan Gardner dengan tes IQ, maka menjadi kurang bijak jika kita terus mengagung-agungkan tes IQ yang hanya mampu mengakomodasi dua kecerdasan (linguistik dan matematis) saja. Jika demikian, lalu bagaimana dengan nasib seseorang yang unggul dalam kecerdasan yang lain?

Kalau dihubungkan dengan gaya pembelajaran di sekolah, masih banyak praktik pembelajaran yang hanya menghargai dua kecerdasan (linguistik dan matematis) ini. Masih banyak guru yang mengajarnya dengan gayanya sendiri, sementara siswa dianggap sama-sama memiliki kecenderungan kecerdasan linguistik dan matematis. Akibatnya, siswa yang dominan kecerdasannya selain dua kecerdasan tersebut, mengalami “gangguan” dalam belajarnya.

Terkait hal ini, dalam bukunya berjudul “Teori Intelegensi Ganda dan Aplikasinya di Sekolah”, Suparno (2004:14) menguraikan bahwa Gardner, dengan bantuan banyak mahasiswanya, telah mengadakan penelitian pada banyak sekolah di Amerika Serikat. Mereka menemukan bahwa sebagian anak tidak cepat berkembang dalam mempelajari beberapa mata pelajaran karena banyak guru tidak mengajar sesuai dengan kecerdasan siswa yang dominan. Sebaliknya, banyak siswa menjadi sangat maju dalam belajarnya setelah mereka dibantu oleh guru lewat pendekatan yang sesuai dengan kecerdasan siswa. Maka, pada banyak sekolah dianjurkan agar guru mengubah model pembelajaran mereka, bukan disesuaikan dengan kecerdasan guru, melainkan dengan kecerdasan siswa.

Lebih lanjut, Suparno (2004:15) menerangkan bahwa dalam penelitiannya, Gardner menemukan bahwa meskipun siswa hanya menonjol pada beberapa kecerdasan, mereka dapat dibantu lewat pendidikan dan bantuan guru untuk mengembangkan kecerdasan yang lain, sehingga dapat digunakan dalam mengembangkan hidup yang lebih menyeluruh. Demikian juga dalam penelitiannya ditemukan bahwa guru yang hanya menonjol pada kecerdasan tertentu dan mengajar dengan kecerdasan tersebut dapat dibantu untuk mengembangkan kecerdasannya yang lain dan dapat menggunakannya dalam pembelajaran membantu siswa. Dengan demikian, baik siswa maupun guru sama-sama dapat mengembangkan kecerdasan mereka yang belum berkembang.

Dari sini tampak bahwa pendidikan memang berperan dalam mengembangkan kecerdasan siswa. Cukup jelas bagi Gardner, kecerdasan seseorang dapat dikembangkan lewat pendidikan. Kecerdasan bukanlah sesuatu yang sudah mati yang tidak dapat dikembangkan lagi, seperti sering dikatakan mengenai IQ seseorang. Sebagaimana yang ditulis Chatib (2009:102) bahwa kecerdasan seseorang itu berkembang, tidak statis. Kecerdasan seseorang lebih banyak berkaitan dengan kebiasaan, yaitu perilaku yang diulang-ulang.

Gaya belajar dapat menentukan prestasi belajar siswa. Jika diberikan strategi mengajar yang sesuai dengan gaya belajarnya, siswa dapat berkembang dengan lebih baik. Gaya belajar otomatis tergantung dari orang yang belajar. Artinya, setiap orang mempunyai gaya belajar yang berbeda-beda. Gaya belajar tidak bersifat kaku. Meski sudah memiliki gaya belajarnya bukan berarti siswa tidak bisa mengembangkan metode belajar yang lain. Jadi, ukuran keberhasilan paling penting adalah jika anak bisa menangkap informasi yang kita sampaikan dan menikmati aktivitas belajarnya.[ahf]