Memahami Keragaman Gaya Belajar Pebelajar

Oleh A Halim Fathani Yahya

Salah satu upaya untuk meningkatkan kualitas mutu pendidikan adalah dengan meningkatkan kualitas belajar bagi setiap pebelajar. Apabila mahasiswa semakin aktif belajar maka kualitas sumber daya manusianya juga akan mengalami peningkatan. Namun, satu hal yang patut diperhatikan, yakni kita tidak dapat memaksa orang lain untuk belajar dengan meniru gaya belajar kita. Biarkan orang lain belajar dengan gayanya sendiri, asalkan gaya belajar mereka dapat digunakan untuk memahami materi yang sedang dipelajari. Seperti pepatah, Lain ladang, lain ikannya. Lain orang, lain pula gaya belajarnya (Uno, 2008:180). Pepatah ini cocok untuk menggambarkan bahwa setiap orang mempunyai gaya belajar sendiri-sendiri dan tak dapat dipaksakan untuk menggunakan gaya yang seragam.

Lebih lanjut Uno (2008:18) menggambarkan, sebagian siswa lebih suka guru mereka yang mengajar dengan cara menuliskan segalanya di papan tulis. Dengan begitu mereka bisa membaca untuk kemudian mencoba memahaminya. Akan tetapi, sebagian siswa lain lebih suka guru mereka mengajar dengan cara menyampaikannya secara lisan dan mereka mendengarkan untuk bisa memahaminya. Sementara itu, ada siswa yang lebih suka membentuk kelompok kecil untuk mendiskusikan pertanyaan yang menyangkut pelajaran tersebut.

Selama proses pembelajaran terdapat siswa yang belajar (pebelajar) dan guru yang mengajar (pembelajar). Peristiwa pembelajaran ini ada yang berorientasi kepada pebelajar, ada juga yang berpusat pada pembelajar. Aktivitas belajar pebelajar dan aktivitas mengajar pembelajar merupakan perilaku individual yang spesifik, masing-masing disebut gaya belajar dan gaya pengajaran, yang menggambarkan gaya-gaya kepribadian individu yang bersangkutan.

Namun, kebanyakan proses pembelajaran di kelas masih diselenggarakan dengan menggunakan asumsi bahwa setiap pebelajar itu identik. Artinya, dalam proses pembelajaran para pembelajar nyaris tidak mempedulikan keunikan gaya belajar setiap pebelajar. Hal ini diperkuat lagi oleh kenyataan, bahwa dalam pembelajarannya para pembelajar cenderung melaksanakan gaya pengajaran tradisional yang behavioristis. Pembelajaran yang mengabaikan keunikan gaya belajar pebelajar akan memberikan lingkungan yang tidak “sejahtera” bagi sebagian besar pebelajar, bahkan tabrakan gaya kognitif tersebut sangat potensial mengakibatkan pebelajar frustasi dalam belajar. Pebelajar yang mengalami frustasi dalam belajar tidak akan mampu mencapai hasil belajar secara maksimal.

Gaya Belajar
Sebuah penelitian di Amerika Serikat yang dilakukan oleh Profesor Ken dan Rita Dunn dari Universitas St. John, di Jamaica, New York, dan para pakar Pemrograman Neuro-Linguistik seperti, Richard Bandler, John Grinder, dan Michael Grinder, telah mengidentifikasi tiga gaya belajar dan komunikasi yang berbeda: a) Visual. Belajar melalui melihat sesuatu. Kita suka melihat gambar atau diagram. Kita suka pertunjukan, peragaan atau menyaksikan video; b) Auditori. Belajar melalui mendengar sesuatu. Kita suka mendengarkan kaset audio, ceramah-kuliah, diskusi, debat dan instruksi (perintah) verbal; dan c) Kinestetik. Belajar melalui aktivitas fisik dan keterlibatan langsung. Kita suka “menangani”, bergerak, menyentuh dan merasakan/mengalami sendiri. (Rose & Nicholl, 2002:130).

Grinder (dalam Silberman, 2006:28) menyatakan bahwa dari setiap 30 siswa, 22 di antaranya rata-rata dapat belajar secara efektif selama gurunya menghadirkan kegiatan belajar yang berkombinasi antara visual, auditorial, dan kinestetik. Namun delapan siswa sisanya sedemikian menyukai salah satu bentuk pengajaran dibanding dua lainnya sehingga mereka mesti berupaya keras untuk memahami pelajaran bila tidak ada kecermatan dalam menyajikan pelajaran sesuai dengan cara yang mereka sukai. Untuk memenuhi kebutuhan ini, pengajaran harus bersifat multisensori dan penuh dengan variasi.

Rose & Nicholl (2002:131) memapaparkan hasil studi yang dilakukan lebih dari 5.000 siswa di Amerika Serikat, Hongkong, dan Jepang, kelas 5 hingga 12, menunjukkan kecenderungan belajar berikut: Visual sebanyak 29%, Auditori sebanyak 34%, dan Kinestetik sebanyak 37%. Namun, pada saat mereka mencapai usia dewasa, kelebihsukaan pada gaya belajar visual ternyata lebih mendominasi, menurut Lynn O’Brien, Direktur Studi Diagnostik Spesifik Rickville, Maryland, yang melakukan studi tersebut.

Perbedaan gaya belajar lainnya bertolak dari gaya berpikir konvergen dan gaya berpikir divergen (Guilford, 1981). Gaya konvergen utamanya berfokus pada pengambilan pesan dan menghasilkan atau mengkonversi suatu jawaban tunggal yang tepat atas sesuatu masalah. Sebaliknya, gaya divergen tidak berfokus pada suatu jawaban yang tepat–penekanannya pada kemampuan untuk menghasilkan jawaban-jawaban yang jangkauannya luas. Jika masalah-masalah yang membutuhkan pemikiran konvergen bersifat tertutup, masalah-masalah yang membutuhkan pemikiran divergen bersifat terbuka.

Ditinjau dari segi pendekatan pemecahan masalah, gaya kognitif juga dibedakan kedalam gaya berpikir lateral dan gaya berpikir linear (deBono, 1977). Gaya berpikir lateral menggunakan pendekatan yang fleksibel dalam pemecahan masalah. Mereka yang memiliki gaya ini cenderung mendekati pemecahan masalah dari banyak tinjauan, bahkan tinjauan yang sering tidak pernah terpikirkan oleh kebanyakan orang. Sementara itu, gaya linear menggunakan pendekatan terfokus dalam pemecahan masalah. Pemilik gaya linear cenderung melihat masalah dari satu tinjauan yaitu seperti pandangan orang pada umumnya serta cenderung memecahkan masalah tersebut lewat langkah-langkah hirarkis. Jika pola pemikiran gaya lateral terkesan bebas berpikir, pola pemikiran gaya linear terkesan kaku.

Hudson yang meneliti gaya kognitif para pebelajar di London menemukan bahwa 30% subjek penelitian memiliki gaya konvergen, 30% memiliki gaya divergen, dan 40% memiliki gaya campuran divergen-konvergen. Hudson juga menemukan bahwa para pebelajar dari domain seni, termasuk desain, cenderung bergaya divergen, sementara itu para pebelajar dari domain sains cenderung bergaya konvergen. Ia menunjukkan bahwa para pebelajar dari domain seni cenderung lebih bebas menggunakan imajinasi mereka mengenai kegunaan-kegunaan berbeda dari suatu objek tertentu karena mereka merasa tidak terikat untuk bersikap praktis. Sebaliknya, para pebelajar domain sains lebih cenderung memikirkan kegunaan yang benar dari suatu objek serta terhambat untuk melakukan saran yang tidak praktis. (Pranata, 2002:20).

Belajar matematika dalam bingkai multiple intelligence
Sesungguhnya setiap anak dilahirkan cerdas dengan membawa potensi dan keunikan masing-masing yang memungkinkan mereka untuk menjadi cerdas. Howard Gardner menyatakan terdapat delapan kecerdasan pada manusia yaitu: kecerdasan linguistik/verbal/bahasa, kecerdasan matematis logis, kecerdasan visual/ruang/spasial, kecerdasan musikal/ritmis, kecerdasan kinestetik jasmani, kecerdasan interpersonal, kecerdasan intrapersonal, dan kecerdasan naturalis. Tugas orangtua dan pendidik-lah mempertahankan sifat-sifat yang menjadi dasar kecerdasan anak agar bertahan sampai tumbuh dewasa, dengan memberikan faktor lingkungan dan stimulasi yang baik untuk merangsang dan mengoptimalkan fungsi otak dan kecerdasan anak.

Pada dasarnya setiap anak dianugerahi kecerdasan logis-matematis. May Lwin, dkk (2008:43) mendefinisikan kecerdasan logis-matematis adalah kemampuan untuk menangani bilangan dan perhitungan, pola, dan pemikiran logis dan ilmiah. Dapat diartikan juga sebagai kemampuan menyelesaikan masalah yang berkaitan dengan kebutuhan matematika sebagai solusinya. Anak dengan kemampuan ini akan senang dengan rumus dan pola-pola abstrak. Tidak hanya pada bilangan matematika, tetapi juga meningkat pada kegiatan yang bersifat analitis dan konseptual. Menurut Gardner ada kaitan antara kecerdasan matematik dan kecerdasan linguistik. Pada kemampuan matematika, anak menganalisis atau menjabarkan alasan logis, serta kemampuan mengkonstruksi solusi dari persoalan yang timbul. Kecerdasan linguistik diperlukan untuk menjabarkannya dalam bentuk bahasa.

Menurut Gardner, kecerdasan matematis logis bersemayam di otak depan sebelah kiri dan parietal kanak. Kecerdasan ini dilambangkan; terutama dengan angka-angka dan lambang matematika lain. Kecerdasan ini memuncak pada masa remaja dan masa awal dewasa. Beberapa kemampuan matematika tingkat tinggi akan menurun setelah usia 40 tahun. (Musfiroh, 2008:48). Kecerdasan matematis logis dikategorikan sebagai kecerdasan akademik, karena dukungannya yang tinggi dalam keberhasilan studi seseorang. Dalam tes IQ, kecerdasan matematis logis sangat diutamakan.

The World Book Encyclopedia mengisahkan tabrakan gaya kognitif Thomas Alfa Edison di sekolah formal. Edison pernah dicambuki oleh gurunya dengan ikat pinggang kulit karena dianggap mempermainkan guru dengan banyak pertanyaan. Dia begitu sering dihukum sehingga ibunya mengeluarkannya dari sekolah hanya setelah tiga bulan mengenyam pendidikan formal. Untunglah ibu Edison, seorang mantan guru, memahami betul gaya belajar Edison. Ia merancang pembelajaran yang cocok dengan gaya belajar Edison, sehingga Edison dapat mengembangkan dirinya secara optimal. Pengertian ibu Edison mengenai keunikan gaya belajar Edison mendorongnya untuk memilih strategi pembelajaran yang cocok dengan gaya belajar Edison. Kecocokan gaya-gaya kognitif ini membuat Edison belajar dengan sejahtera, bahkan pada gilirannya mengantarkannya untuk menjadi ilmuwan dan penemu yang dikenang oleh dunia. (Pranata,2002:22). Dari cerita di atas dapat diketahui bahwa kesulitan atau keberhasilan belajar antara lain dipengaruhi oleh penyebab eksternal yaitu kecocoktidakan antara gaya belajar pebelajar dengan gaya pengajaran pembelajar.

Selama ini, tidak sedikit kita jumpai hasil-hasil penelitian, buku, jurnal atau lainnya yang menawarkan pelbagai konsep strategi dan model pembelajaran matematika yang efektif untuk diterapkan pada proses pembelajaran. Selain itu juga seringkali dilakukan perombakan kurikulum matematika yang bertujuan untuk menyesuaikan dengan perkembangan pebelajar. Namun, ikhtiar tersebut ternyata belum sepenuhnya menampakkan hasil sebagaimana yang diinginkan oleh banyak pihak. Karena, dalam praktiknya, tawaran yang diberikan belum mampu mengembangkan kecerdasan matematis pebelajar secara maksimal dan mendesain gaya belajar mandiri. Hal ini disebabkan model pembelajaran yang ditawarkan dan kurikulum yang didesain tidak dibangun berdasarkan keragaman gaya belajar dan potensi kecerdasan yang dimiliki setiap individu pebelajar.

Berpijak pada konsep keragaman gaya belajar dan tingkat perbedaaan multiple intelligence mengenai adanya perbedaan individual dalam pemahaman dan kemampuan matematika ini, kiranya penting untuk diperhatikan bagipara guru (matematika) untuk memahami keragamaan gaya belajar siswa ini. Dengan demikian, diharapkan setiap individu pebelajar dapat mengikuti proses pembelajaran matematika di kelas secara menyenangkan karena model pembelajarannya didesain berlandasakan pada gaya belajar dan kecerdasan yang ada pada masing-masing pebelajar. [ahf]