WOW, TERNYATA KETEMU MATEMATIKA LAGI

Abdul Halim Fathani

FAKTANYA, pelajaran matematika, ternyata tidak hanya berhenti ketika ujian nasional (UN) berakhir. Meskipun sudah dinyatakan Lulus UN, ternyata ketika studi di perguruan tinggi –apapun jurusannya- masih harus menempuh matakuliah Matematika atau yang sejenisnya.

Sebenarnya, hemat penulis, ada dua himpunan besar kelompok orang yang belajar matematika. Ada himpunan yang memiliki anggota orang-orang yang “senang” belajar matematika dan himpunan negasinya. Yaitu himpunan yang memiliki anggota orang-orang yang “tidak suka” belajar matematika.

Dalam bagian tulisan ini, penulis memfokuskan bahasan pada kelompok orang yang “tidak senang” belajar matematika –apapun alasannya. Dalam perspektif sebagian mereka, matematika –apapun kondisi dan situasinya- dipersepsikan negatif (negative thinking). Misalnya, matematika itu tidak bermanfaat, matematika itu tidak menarik untuk dipelajari, belajar matematika hanyalah rutinitas belaka, setiap belajar matematika, selalu saja guru menjelaskan materi singkat lalu memberi contoh soal, selanjutnya memberi soal, jadi tidak menarik bagi kehidupan manusia, dan seterusnya. Memang, perspesi negatif yang muncul dari benak siswa tersebut tidak perlu diperdebatkan. Semoga persepsi negatif ini segera bisa diminimalisir. Akan lebih bijak, kalau kita sebagai guru merenungkan kembali, lalu memperbaikinya.

Bagi siswa yang tidak menyukai pelajaran matematika, tentu mereka terus berharap, agar segera bisa mengikuti ujian nasional (UN) dan selanjutnya dinyatakan lulus. Mengapa demikian? Tentu, agar mereka tidak lagi ketemu matapelajaran Matematika. Sehingga, tidak mengherankan jika, mereka –kelompok yang tidak suka matematika- ketika meneruskan studi di perguruan tinggi akan merencanakan untuk memilih program studi selain matematika.

Biasanya mereka, cenderung memilih program studi yang termasuk dalam rumpun ilmu-ilmu sosial. Motivasi mereka sederhana saja. Agar tidak ketemu matematika lagi. Bahkan, ada yang sampai ketakutan terhadap pelajaran matematika (fobia matematika). Keputusan mereka yang demikian, tentu tidaklah salah. Karena mereka ingin belajar secara nyaman tanpa ada paksaan dan tekanan. Mereka ingin mempelajari apa yang mereka sukai. Selaras dengan hal ini, bagi mereka yang sejak di bangku sekolah sudah senang dan nyaman belajar matematika, tentu tidak ada masalah. Bahkan, mereka “berbondong-bondong” untuk memilih kuliah di program studi matematika atau yang serumpun.

Tapi, apa yang terjadi? Bagi mereka yang alergi matematika –selama di sekolah- yang memutuskan untuk kuliah di program studi rumpun ilmu sosial, akan kaget. Tidak terbayangkan sebelumnya. Meskipun kuliah di program studi ilmu sosial, ternyata masih ketemu lagi matakuliah matematika atau sejenisnya.

Misalnya, bagi mahasiswa yang kuliah di program studi rumpun pendidikan. Mereka akan mempelajari matakuliah Matematika, dengan materi Statistika. Kadang, ada juga matakuliah Logika. Matakuliah statistika sangat berguna dalam melaksanakan evaluasi pembelajaran, melakukan penelitian pendidikan, dan lainnya.

Melihat kenyataan ini, sungguh kasihan bagi mereka yang “alergi” matematika, yang sudah berupaya “mengakhiri” matematika, ternyata masih harus ketemu dan belajar lagi materi matematika. Tantangan kita –bagi para guru- adalah bagaimana para siswa senantiasa semangat dan bergairah untuk belajar matematika.

Oleh karena itu, tidak ada jalan lain, bagi siapapun kecuali menyenangi dan terus senantiasa aktif belajar matematika. Hal yang demikian, tentu juga berlaku dengan pelajaran yang lain. Tugas siswa adalah belajar materi secara maksimal. Begitu juga, sang guru, tugasnya adalah mengajar materi dengan baik pula. [ahf-06012017, Dinoyo-Malang].

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *