UJIAN NASIONAL 2015 DAN “MERAYAKAN” KEBEBASAN SEKOLAH

Oleh Abdul Halim Fathani

SETELAH dilantik Presiden terpilih Joko Widodo, Menteri Pendidikan dan Kebudayaan -Anies Baswedan- membuat dua kebijakan yang spektakuler, yakni penundaan implementasi Kurikulum 2013 secara menyeluruh dan mengembalikan penentu kelulusan siswa dalam Ujian Nasional (UN) 2015 ke masing-masing pihak sekolah. Di samping itu, juga ada beberapa kebijakan lain yang mengiringinya, seperti: sarana pembelajaran menggunakan e-sabak, pembentukan Ditjen Guru, rencana pemberlakuan upah minimum guru honorer, dan kebijakan-kebijakan lainnya.

Merespon kebijakan menteri tersebut, sangat lumrah kalau ada pihak yang pro dan kontra. Seolah-olah setiap ada kebijakan baru, selalu saja ada yang setuju maupun yang menolak. Semua itu harap bias dimaklumi. Dalam tulisan ini, penulis mencoba ikut urun rembuk terkait wacana menteri –Pak Anies– yang akan melakukan revitalisasi fungsi ujian nasional (UN) 2015.

Dalam kesempatan menjadi narasumber pada acara Seminar Menyongsong Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA) 2015 di Medan, Sabtu (10/1/15), Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Anies Baswedan menegaskan mulai tahun ajaran 2015, hasil atau kelulusan Ujian Nasional 100 persen ditentukan oleh masing-masing sekolah. Tentu, kebijakan ini disambut gembira oleh sebagian kalangan yang selama ini merasakan “tekanan” dalam ujian nasional. Sebaliknya, bagi kalangan yang menganggap ujian nasional bias mempengaruhi kesuksesan masa depan siswa akan menyebut hal ini sebagai kemunduran dalam dunia pendidikan.

Alangkah lebih baik, kita tidak perlu rebut urusan setuju atau tidak terkait “pelimpahan” wewenang dalam penentuan kelulusan siswa tersebut. Kalau kita menengok ke belakang, selama pelaksanaan ujian nasional yang hasilnya menjadi faktor penentu kelulusan siswa, maka terdapat dampak negatif yang muncul. Di antaranya, semakin tergerusnya karakter kejujuran siswa, guru, kepala sekolah, kepala dinas, dan seterusnya. Hal ini –salah satunya– disebabkan adanya “tuntutan” yang berlebihan dari atasannya, agar siswa di lingkungannya bias lulus seratus persen, akibatnya pihak sekolah berupaya untuk menghalalkan segala cara untuk meraihnya.

Dampak lainnya adalah dunia pendidikan dimaknai secara sempit oleh banyak kalangan, terutama pihak sekolah dan orangtua. Akibat pemfungsian hasil ujian nasional sebagai penentu kelulusan siswa (dengan persentase tertentu), maka dapat kita saksikan betapa sibuknya pihak sekolah untuk menyelenggarakan bimbingan belajar “singkat” untuk melatih siswa agar menjadi “pintar” dalam menjawab soal-soal ujian nasional. Begitu juga para orangtua menjadi “sibuk’ untuk mengawal anaknya agar dalam watu yang relatif cepat untuk menjadi “cerdas” di bidang pelajaran yang diujikan (Matematika, Bahasa Indonesia, Bahasa Inggris). Di samping juga pelajaran lainnya sesuai dengan peminatannya.

Marilah kita renungkan, apa jadinya jika semua siswa sekolah (peserta ujian nasional) hanya “dipaksa” untuk menjadi ahli di bidang matematika dan bahasa saja. Mereka dianggap cerdas dan sukses jika berhasil dan lulus dalam ujian nasional. Sementara siswa yang tidak lulus ujian nasional, namun mereka memiliki keahlian di bidang lain, seperti musikal, olahraga, atau yang lain, -ternyata justru dianggap sebagai orang yang “bodoh”. Apakah pendidikan hanya diorientasikan untuk menciptakan siswa cerdas di bidang matematika dan bahasa saja? Tentu tidak.

Sang Juara
Dulu, kita masih ingat, seringkali pihak sekolah menyelenggarakan tes IQ (intelligence quotient) untuk menggambarkan siswa itu cerdas atau sebaliknya. Padahal tes IQ itu sejatinya hanya alat tes kecerdasan untuk mengukur dua kecerdasan, matematika dan bahasa. Dengan tes IQ, maka siswa yang memiliki kecerdasan di luar bidang itu, dianggap sebagai anak yang bodoh.

Paradigma kecerdasan versi IQ ini memang penting, namun “belum” sepenuhnya benar. Karena, ada kecerdasan-kecerdasan lain yang seharusnya juga perlu mendapat pengakuan untuk ditumbuhkembangkan. Inilah, kecerdasan temuan Howard Gardner, yang dikenal dengan istilah Multiple intelligences (kecerdasan majemuk). Ada 9 (Sembilan) kecerdasan versi Gardner, yakni: kecerdasan matematik, kecerdasan bahasa, kecerdasan visual, kecerdasan musikal, kecerdasan kinestetik, kecerdasan intrapersonal, kecerdasan interpersonal, kecerdasan naturalis, dan kecerdasan eksistensial. Bisa jadi ke depan, akan berkembang kecerdasan yang lain lagi.

Saat ini, 9 (Sembilan) kecerdasan di atas juga perlu ditumbuhkembangkan dalam proses pembelajaran di sekolah. Pada dasarnya, setiap individu siswa –menurut Gardner- memiliki kesembilan kecerdasan tersebut. Hanya saja, setiap individu persentasa kecerdasannya tidak sama. Ada yang cenderung cerdas di bidang matematik. Ada yang cenderung cerdas di bidang musik, begitu seterusnya. Intinya, dalam paradigma kecerdasan majemuk, pendidikan seyogianya dapat “memanusiakan” siswa untuk dapat mengenali kecenderungan kecerdasan yang dimiliki, lalu pihak sekolah (bersama-sama orangtua dan lingkungan) mengembangkan kecerdasan yang dimiliki anak tersebut untuk dapat lebih maksimal. Bukan “membentuk” anak menjadi pintar di bidang tertentu, melainkan, pendidikan harus dapat “mengenali” dan “mengembangkan” potensi kecerdasan yang dimiliki setiap individu anak.

Kalau penentu kelulusan ujian nasional 2015 diserahkan kepada pihak sekolah sepenuhnya (100%), berarti pihak sekolah memiliki “kebebasan” luar biasa dalam “melabeli” kecerdasan (baca: keahlian) masing-masing siswa. Implikasinya, –seharusnya– tidak akan ada siswa yang tidak lulus ujian/sekolah. Semua siswa harus dinyatakan lulus sekolah.

Berpijak pada paradigma kecerdasan majemuk ala Gardner, tugas sekolah mestinya menjadi lebih berat. Mengapa? Pihak sekolah harus dapat mengidentifikasi setiap individu siswa. Guru harus dapat memberi label keahlian sesuai bidang masing-masing siswa. Misalnya: Si A lulus sekolah dengan nilai sekian pada bidang keahlian IPA konsentrasi Biologi. Si B lulus sekolah dengan nilai sekian pada bidang keahlian Matematika konsentrasi Statistika. Si C lulus sekolah dengan nilai sekian pada bidang olahraga sepak bola. Si D lulus sekolah dengan nilai sekian paa bidang musik seni Islami. Si E lulus sekolah dengan nilai sekian pada bidang keagamaan konsentrasi Da’i. Si F lulus sekolah dengan nilai sekian pada bidang Sosial konsentrasi ahli pemerintahan. Demikian seterusnya.

Jika demikian, maka hemat penulis, setiap sekolah akan memiliki kebebasan luar biasa dalam mengembangan kecerdasan yang dimiliki setiap siswa. Yang terjadi adalah setiap siswa akan merayakan keahliannya masing-masing. Tidak akan ditemukan lagi siswa yang frustasi gara-gara nilai ujiannya jelek kemudian dinyatakan tidak lulus sekolah. Setiap siswa, sejatinya adalah “Sang Juara”. Setiap siswa mendapatkan label keahlian sesuai dengan bidangnya masing-masing. Alhasil, pendidikan menjadi tempat kegembiraan setiap anak bangsa. Marilah menjadi Sang Juara! [ahf]

Artikel ini telah dimuat di Harian “DUTA MASYARAKAT”, halaman 6, tanggal 13 Februari 2015