Riset dan (Pentingnya) Promosi Akademik

Oleh Abdul Halim Fathani

Tulisan saudara Saifur Rohman di Koran Kompas (20/12/10) yang berjudul “Ilmuwan Minus Penelitian” menarik ditanggapi. Rohman menyingkap fakta, bahwa universitas tidak lebih sebagai sebuah mesin penghasil ijazah dan legalisir. Ijazah palsu dan pemberian gelar akademik secara instan adalah contoh ekstrem dari permintaan masyarakat dan penawaran para pedagang gelar. Sehingga menjadi lumrah jika di tengah persaingan bebas pendidikan tinggi, para dosen hanya memiliki prioritas menghasilkan nilai (baca: angka) dari proses belajar-mengajar.

Ditambah lagi persoalan di bidang penelitian. Dalam tulisannya, Rohman (2010) menuturkan bahwa publikasi hasil penelitian di perguruan tinggi tidak pernah dikelola sebagai sumber modal yang berdaya saing. Nampaknya, produk-produk penelitian berkualitas justru dihasilkan oleh lembaga-lembaga donor luar negeri yang membutuhkan hasil penelitian diproduksi secara langsung oleh para peneliti potensial tanpa melalui birokrasi kampus.

Perguruan tinggi sebagai pusat transformasi khazanah ilmu pengetahuan dan teknologi serta pencetak produk intelektual sudah seharusnya memberikan perhatian yang “lebih” untuk memproduksi keilmuan via penelitian. Pentingnya penelitian bagi perguruan tinggi juga dikemukakan Kepala Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), Prof Umar Anggara Jeanie, yang berpendapat bahwa penelitian merupakan kompas moral akademia, utamanya dalam aras pendidikan baik pada perguruan tinggi maupun lembaga riset. “Kehormatan suatu unversitas terletak pada komitmennya dalam mendukung upaya penelitian”.

Jika diamati, selama ini perguruan tinggi cenderung belum seimbang dalam melaksanakan Tri Dharma Perguruan tinggi. Dalam pelaksanaannya, perguruan tinggi lebih mengedepankan aspek pendidikan dan pengajaran, sedangkan aspek bidang penelitian dan pengabdian kepada masyarakat sering terabaikan. Mestinya, suatu perguruan tinggi harus mampu menyeimbangkan pelaksanaan tiga aspek Tri Dharma Perguruan Tinggi tersebut secara integratif. Kalaupun ada penelitian, itu pun sebatas pada kewajiban akademik untuk menyelesaikan studi bagi mahasiswa ataupun kenaikan pangkat bagi Dosen sehingga mutu penelitian pun dipertanyakan kontribusinya pada masyarakat. Selain itu, dalam pengamatan penulis satu hal yang mungkin menjadi kendala adalah minimnya alokasi dana penelitian.

Promosi akademik
Potensi peneliti Indonesia cukup tinggi. Jumlah peneliti perguruan tinggi berpendidikan magister mencapai 71.489 orang, sedangkan yang berkualifikasi doktor sebanyak 13.033 orang. Jumlah guru besar di seluruh perguruan tinggi pada 2010 diproyeksikan mencapai 4.500 orang (Kompas, 9/12/10). Sementara, data yang dirilis di situs Kementerian Pendidikan Nasional (9/5/10), berdasarkan hasil survei yang pernah dilansir Thomson Scientific (2004) menyebutkan penyebaran publikasi ilmiah ilmuwan Indonesia melalui jurnal internasional sebanyak 522, jauh di bawah Malaysia yang mencapai 1.428, Thailand (2.397), dan Singapura (5.781).

Melihat fakta di atas, kiranya penyebarluasan hasil penelitian dari kalangan perguruan tinggi bagi khalayak umum mendesak untuk dilakukan. Selama ini hasil penelitian di perguruan tinggi –skripsi, tesis, disertasi- hanya ”dipersiapkan” untuk memenuhi rak-rak di perpustakaan yang konsumennya pun terbatas sivitas akademika. Kiranya, selama ini, perguruan tinggi hanya aktif untuk mengoleksi hasil penelitian saja, namun belum berpikir untuk mempublikasikan ke masyarakat. Publikasi via jurnal maupun buku pun masih terbatas untuk kalangan akademisi. Sedangkan, masyarakat belum diberi ruang akses yang memadahi, semisal melalui koran atau televisi yang notabene lebih akrab dengan masyarakat awam sekalipun.

Apabila publikasi hasil penelitian yang dihasilkan sivitas akademika dapat dilaksanakan secara maksimal, maka perguruan tinggi tidak perlu bingung dan bersusah payah untuk terjun langsung ke daerah-daerah, jika hanya ingin mempromosikan kampusnya. Dengan aktif mempublikasikan hasil penelitian melalui pameran atau bekerjasama dengan media massa/elektronik, maka dengan sendirinya perguruan tinggi tersebut akan dapat menarik hati masyarakat.

Dan, setiap perguruan tinggi –tentu- akan berkompetisi untuk melakukan penelitian yang terbaik. Penelitian, dilakukan bukan hanya bertujuan menghabiskan anggaran atau hanya ingin memperoleh gelar akademik ansich, tetapi nilai guna dari penelitian yang dilakukan benar-benar dapat dirasakan oleh masyarakat secara konkret.

Mempromosikan kampus melalui brosur maupun iklan di televisi yang berisi keunggulan non-akademik, seperti kemegahan gedung perkuliahan, keindahan taman, nampaknya belum bisa menjamin kualitas perguruan tinggi. Namun, hemat penulis, justru dengan mempromosikan kampus melalui jalur akademik, dalam hal ini memaksimalkan publikasi hasil penelitian melalui media yang merakyat, akan lebih menguntungkan.

Tidak dapat dipungkiri bahwa masyarakat mengalamai kesulitan berkomunikasi dengan bahasa akademis kalangan perguruan tinggi. Oleh sebab itu, sedapat mungkin “bahasa” publikasi hasil penelitian pun dikemas dengan bahasa yang renyah dan mudah dicerna dan silarukan melalui media yang akrab dengan masyarakat awam sekalipun. Jika demikian, maka hasil penelitian yang telah menghabiskan dana tidak sedikit tersebut, dapat bernilai guna secara riil untuk membangun bangsa Indonesia tercinta ini.[ahf]

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *