Reformulasi Sekolah!

Sekolahnya manusiaOleh A Halim Fathani Yahya

“Bukan anak yang harus memikul tanggung jawab dalam belajar, melainkan guru yang memikul tanggung jawab dalam mengidentifikasi kekuatan gaya belajar setiap anak, lalu mencocokkan semua itu dengan lingkungan dan pendekatan yang responsif.”
(Dr. Rita Dunn)

“Cara yang seragam dalam mengajar dan menguji jelas tidak memuaskan karena setiap orang itu sangat berbeda.”
(Howard Gardner)

Dewasa ini, tidak sedikit pendidikan (baca: sekolah) yang masih menganggap siswa bagaikan kertas kosong yang bebas untuk ditulisi apa saja semua gurunya. Bahkan, hal ini kebanyakan dilakukan sekolah-sekolah yang nota bene “dianggap” unggul oleh sebagian kalangan. Sekolah unggul inilah yang akan mencetak siswa menjadi “seragam”, yang ujung-ujungnya ketika di akhir tahun pelajaran dapat lulus ujian nasional dan memperoleh nilai yang bagus pula. Dalam gaya belajar tradisional di ruang kelas, siswa mendengarkan penjelasan guru, lalu mengerjakan soal atau menuliskan ulang mata pelajaran tersebut. Untuk sebagian anak, hal ini tidak bermasalah. Tetapi banyak anak yang merasakan hal ini terlalu berat, membosankan, atau bahkan justru membingungkan. Haruskah metode ini kita pertahankan terus?

Tidak semua anak cocok dengan model belajar yang dikembangkan di sekolah. Duduk tenang, mendengarkan penjelasan guru, dan belajar dengan cara membaca buku. Belajar di kelas dalam bentuk ceramah/kuliah yang dipadukan dengan membaca buku adalah sebuah model belajar yang umum dalam dunia pendidikan di sekolah saat ini. Model belajar ini sudah digunakan oleh jutaan manusia selama bertahun-tahun. Seolah-olah siswa dianggap seperti robot, yang dengan leluasa mau dibentuk/dicetak apa saja semau sekolah dan gurunya. Ketika guru “memaksa” siswanya untuk menerima materi pelajaran, maka tidak sedikit siswa yang mengaku bingung dan tidak bisa mencerna pelajaran secara baik. Ujungnya, siswa tersebut ketika ulangan/ujian gagal mendapat nilai baik. Parahnya lagi, siswa tersebut dianggap sebagai anak yang “bermasalah”.

Sesungguhnya setiap anak dilahirkan cerdas dengan membawa potensi dan keunikan masing-masing yang memungkinkan mereka untuk menjadi cerdas. Howard Gardner menyatakan terdapat delapan kecerdasan pada manusia yaitu: kecerdasan linguistik, kecerdasan matematis, kecerdasan spasial, kecerdasan musik, kecerdasan kinestetik, kecerdasan interpersonal, kecerdasan intrapersonal, dan kecerdasan naturalis. Model kecerdasan ini dapat digunakan untuk mengenali gaya belajar anak sesuai dengan jenis kecerdasan anak yang menonjol.

Pada prinsipnya, tidak ada dua individu yang memiliki kecerdasan sama. Suatu individu mengaku belajar lebih baik dengan satu cara tertentu, sebagian yang lain mengaku bisa belajar dengan cara yang lain pula. Setiap orang memiliki gaya belajar yang unik. Tidak ada suatu gaya belajar yang lebih baik atau lebih buruk daripada gaya belajar yang lain. Tidak ada individu yang berbakat atau tidak berbakat. Tidak ada individu yang pintar, individu yang bodoh. Apapun gaya belajar yang dipilih pada dasarnya memiliki tujuan yang sama, yaitu agar yang setiap siswa bisa menangkap materi pelajaran dengan sebaik-baiknya dan berhasil optimal. Bukankah masing-masing pelajaran juga disampaikan oleh orang yang berbeda dengan gaya mengajar yang berbeda pula?

Dengan menerapkan Multiple Intelligence, maka aktifitas mengajar adalah ibarat air yang mengisi ruang-ruang murid. Ketika murid adalah bagaikan botol, maka seorang pendidik dituntut untuk mampu menyesuaikan seperti botol; dan ketika murid ibarat seperti gelas, maka seorang pendidik juga dituntut dapat mengikuti seperti gelas. Artinya dengan bekal Multiple Intelligence, aktifitas mengajar harus sesuai (baca: disesuaikan) dengan gaya belajar setiap individu murid. (hlm. 50). Mengembangkan Multiple Intelligence anak merupakan kunci utama untuk kesuksesan masa depan anak. Dengan mempertimbangkan dan melihat cara belajar apa yang paling menonjol dari masing-masing individu, maka seorang pendidik/orangtua diharapkan dapat bertindak secara arif dan bijaksana dalam memilih gaya mengajar yang sesuai dengan gaya belajar siswa/anak.

Yang menjadi kelebihan buku ini adalah buku ini ditulis oleh seorang berpengalaman sebagai konsultan pendidikan dan distance learning-nya dengan Bobbi DePorter sang tokoh Quantum Learning, Munif Chatib. Secara umum, isi buku ini memaparkan dengan gamblang tentang: Penerapan Multiple Intelligence, Penerimaan siswa baru tanpa tes (sekolah seharusnya mementingkan the best process, bukan the best input.), tetapi melalui metode Multiple Intelligences Research (MIR), Bagaimana melejitkan setiap siswa sesuai kecerdasan uniknya, Bagaimana menjadikan pembelajaran menyenangkan, menarik, dan memotivasi dengan Multiple Intelligences System (MIS), Bagaimana membuat guru makin kreatif dengan lesson plan-nya, Bagaimana mengubah orang tua makin memahami anak-anaknya, Bagaimana membuat sekolah benar-benar unggul, dan kisah nyata dari mereka yang mengalami pencerahan dari Multiple Intelligence.

Bagi para guru, orangtua, pemerhati pendidikan, pemegang kebijakan pendidikan, lembaga pendidikan, dan masyarakat umum, buku ini sangat perlu untuk dibaca. Terutama dalam rangka “menyelamatkan” pendidikan Indonesia. Sangat penting bagi kita, membaca buku ini agar nantinya proses pembelajaran di sekolah tetap dapat dilangsungkan. Jika tidak, dikhawatirkan semakin lama akan semakin ditinggalkan orang, karena “merasa” mereka tidak cocok, tidak berada pada sekolahnya manusia, melainkan sekolahnya robot. [ahf]

Identitas Buku:
Judul Buku : Sekolahnya Manusia: Sekolah Berbasis Multiple Intelligence di Indonesia
Penulis : Munif Chatib
Penerbit : Kaifa, Bandung
Cetakan : I, April 2009
Tebal : xxiii + 186 Halaman