Pendidik(an) yang Berkarakter

Oleh A Halim Fathani

Akhir-akhir ini di lingkungan lembaga pendidikan –baik negeri maupun swasta- sedang “senang-senangnya” mendiskusikan pendidikan karakter. Sebagaimana tema dalam Peringatan Hari Pendidikan Nasional tahun 2010 ini, “Pendidikan Karakter untuk Membangun Peradaban Bangsa”. Tema ini sejalan dengan tujuan pendidikan nasional yang menyebutkan berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab”.

Apabila kita merenungkan pendapat I Ketut Sumarta, seorang yang telah lama bergelut dalam dunia pendidikan –sebagaimana yang dikutip Masruroh (2010). Dalam bukunya yang berjudul Pendidikan yang Memekarkan Rasa, ia mengatakan: “Pendidikan nasional kita cenderung hanya menonjolkan pembentukan kecerdasan berpikir dan menepikan penempatan kecerdasan rasa, kecerdasan budi, bahkan kecerdasan batin. Dari sini lahirlah manusia manusia yang berotak pintar, manusia berprestasi secara kuantitatif akademik, namun tiada berkecerdasan budi sekaligus sangat saling ketergantungan, tidak merdeka mandiri.” Pernyataan Sumarta tersebut, menunjukkan bahwa ada rasa tidak puas terhadap gagalnya tujuan lembaga pendidikan untuk menghasilkan lulusan sebagaimana yang diamanatkan oleh undang-undang. Oleh karena itu, sangat tepat sekali, jika dengan momentum hardiknas 2010 ini, pemerintah mengusung tema pendidikan karakter.

Sebagaimana yang telah kita ketahui, bahwa siswa merupakan makhluk sosial yang selalu berinteraksi dan berhadapan dengan orang lain. Mulai dari lingkungan keluarga, masyarakat (lokal, nasional, hingga internasional), termasuk juga lembaga pendidikan. Oleh karena itu, agar dampak pendidikan karakter benar-benar dapat berhasil, maka yang pertama-tama harus dilakukan terkait “proyek” pendidikan karakter ini adalah “proyek” ini harus mendapat dukungan dari semua pihak, sehingga semua komponen yang terlibat juga (harus) ikut bertanggungjawab. Dukungan yang dimaksud bukan hanya berupa instruksi saja, tetapi juga –yang jauh lebih penting- adalah memberi contoh nyata yang baik (uswatun hasanah). Hal ini penting, karena proses pendidikan yang ditransfer melalui wujud konkret dan contoh riil akan memudahkan siswa dalam menangkap informasi (baca: pengetahuan). Walhasil, yang diperoleh siswa bukan hanya materi pelajaran saja, tetapi juga –yang terpenting- harus mengedepankan akhlak, yang selanjutnya (paling penting), mental sebagai manusia pembelajar juga harus dibangun.

Bambang Q-Anees dan Adang Hambali dalam bukunya, menyebutkan bahwa pendidikan karakter berdiri di atas dua pijakan. Pertama, keyakinan bahwa pada diri manusia telah terdapat benih-benih karakter dan alat pertimbangan untuk menentukan tindakan kebaikan. Namun seperti sebuah benih, ia belum menjadi apa-apa, ia harus dibantu untuk ditumbuh-kembangkan. Kedua, pendidikan berlangsung sebagai upaya pengenalan kembali sekaligus mengafirmasi apa yang sudah dikenal dalam aktualisasi tertentu (Suharno, 2009). Lebih lanjut, mengutip Thomas Lickona dalam Pendidikan Karakter Berbasis al-Qur’an, Bambang Q-Anees dan Adang Hambali menjelaskan bahwa pendidikan karakter adalah pendidikan untuk membentuk kepribadian seseorang melalui pendidikan budi pekerti, yang hasilnya terlihat dalam tindakan nyata seseorang, yaitu tingkah laku yang baik, jujur, bertanggung jawab, menghormati hak orang lain, kerja keras, dan sebagainya.

Dengan demikian, untuk menyukseskan “proyek” pendidikan karakter, maka tugas guru tidak lagi ringan. Adalah benar jika saat ini guru dinamakan sebagai profesi. Artinya, guru merupakan orang pilihan –bukan orang “buangan”. Tidak semua orang bisa jadi guru. Harus melewati beberapa tahapan “penting” sehingga orang tersebut dapat lulus seleksi menjadi guru. Dalam praktiknya, pada saat menjalankan fungsinya, guru dapat memiliki bermacam-macam tugas, seperti mengajar matematika, fisika, bahasa Inggris, pendidikan agama Islam, kesenian, komputer, dan sebagainya. Di sisi lain, guru juga memilki tugas sebagai wali kelas, pembimbing kegiatan ekstrakurikuler. Bahkan, ada juga guru yang merangkap jabatan struktural, seperti kepala sekolah dan wakil kepala sekolah.

Namun, yang perlu diingat adalah tugas-tugas guru di atas seharusnya tidak hanya dipandang sebagai formalitas-birokrasi saja, melainkan guru harus menyadari di balik itu semua menyimpan misi pendidikan karakter yang nyata. Model perilaku dan sikap yang dimiliki guru dalam menjalankan tugas-tugas di atas, secara langsung akan berdampak pada pembentukan karakter siswanya. Sekali lagi, memang tugas guru tidak ringan, apalagi jika seorang guru tersebut menyandang sebagai pendidik yang berkarakter!

Ada perbedaan nuansa antara konsep guru sebagai pengajar dan pendidik. Dalam kata pendidik, guru berperan lebih sebagai model bagi pembentuk karakter. Kehadiran, sikap, pemikiran, nilai-nilai, keprihatinan, komitmen, dan visi yang dimilikinya merupakan dimensi penting yang secara tidak langsung mengajarkan nilai yang membentuk karakter siswa. Apapun fungsi dan jabatan guru di dalam sekolah, mereka tidak dapat menanggalkan keberadaan diri mereka sebagai pendidik karakter. (Koesoema, 2009:136).

Lebih lanjut Koesoema (2009:137) mengingatkan bahwa pendidikan karakter bukanlah sebuah program pendidikan yang menawarkan keajaiban, yang mampu membuat siswa mendadak menjadi malaikat! Pendidikan karakter justru lebih terbentuk ketika guru bersama-sama dengan siswa dan anggota komunitas sekolah berjuang jatuh bangun untuk menghayati visi dan merealisasikan nilai-nilai pendidikan dalam hidup mereka secara bersama-sama.

Tidak ada di dunia ini yang tidak berubah. Perubahan mesti terjadi atas kehendak Yang Mahakuasa. Guru adalah pelaku perubahan. Dan, guru memiliki peranan utama sebagai pendidik karakter. Sebagai pendidik karakter, guru wajib membekali para siswa dengan nilai-nilai kehidupan yang positif dan berguna bagi masa hidup siswa –saat ini dan masa mendatang. Guru yang baik akan membawa perubahan terhadap para siswa menuju ke arah yang lebih baik, membuat siswa menjadi cerdas, membuat siswa mampu memahami dan menyelesaikan permasalahan yang dihadapi, dan yang terpenting dapat membangun karakter positif. [ahf]