Pembelajaran Realistik, Atasi Fobia Matematika

Sejak peradaban manusia bermula, matematika memainkan peran penting dalam kehidupan sehari-hari. Berbagai bentuk simbol, rumus, teorema, dalil, ketetapan, serta konsep digunakan untuk membantu perhitungan, pengukuran, penilaian, peramalan, dan lainnya. Maka, tidak heran jika peradaban manusia berubah dengan pesat karena ditunjang dengan partisipasi matematika yang selalu mengikuti perubahan dan perkembangan zaman.

Pentingnya Matematika
Matematika merupakan subjek yang sangat penting dalam sistem pendidikan di seluruh dunia. Akibatnya, bagi negara yang mengabaikan pendidikan matematika sebagai prioritas utama, akan tertinggal dari kemajuan segala bidang (terutama iptek), dibanding dengan negara lain yang memberikan tempat bagi matematika sebagai subyek vital. Di Indonesia, sejak bangku Sekolah Dasar (SD) sampai Perguruan Tinggi (PT), bahkan mungkin sejak play group, syarat penguasaan terhadap matematika jelas tidak bisa dikesampingkan. Agar dapat menjalani pendidikan selama di bangku sekolah sampai kuliah dengan baik dan lancar, tentu anak didik dituntut untuk dapat menguasai matematika dengan baik.

Bahkan beberapa tahun terakhir ini, salah satu syarat kelulusan Ujian Nasional (UN) bagi siswa SMP, SMA/SMK adalah memperoleh nilai matematika yang baik (sesuai dengan standar kelulusan minimal yang ditetapkan). Selain itu, ujian masuk perguruan tinggi, yang sekarang lebih dikenal dengan nama Seleksi Masuk Perguruan Tinggi Negeri (SNMPTN) juga tidak lepas dari materi matematika yang diujikan, baik untuk program IPA, IPS, maupun IPC. Artinya, dalam dunia pendidikan, matematika menempati materi dasar yang memang harus dikuasai siswa. Matematika penting untuk dikuasai agar siswa dapat dengan mudah mempelajari materi pelajaran lainnya, seperti belajar ilmu fisika, kimia, ekonomi, akuintansi tentu siswa harus memahami betul konsep dasar matematika, minimal aritmetika.

Di sisi lain yang penting untuk dijadikan pegangan adalah bahwa matematika itu merupakan ilmu dasar dari pengembangan sains dan sangat berguna dalam kehidupan. Dalam perdagangan kecil-kecilan saja, orang dituntut untuk mengerti aritmetika minimal penjumlahan dan pengurangan. Bagi pegawai/karyawan perusahaan harus mengerti waktu/jam, bendaharawan suatu perusahaan harus memahami seluk beluk keuangan. Ahli agama, politikus, ekonom, wartawan, petani, ibu rumah tangga, dan semua manusia “sebenarnya” dituntut menyenangi matematika yang kemudian berupaya untuk belajar dan memahaminya, mengingat begitu pentingnya dan banyaknya peran matematika dalam kehidupan manusia.

Secara umum, tujuan diberikannya matematika di sekolah adalah untuk mempersiapkan diri siswa agar sanggup menghadapi perubahan kehidupan dan dunia yang selalu berkembang dan sarat perubahan, melalui latihan bertindak atas dasar pemikiran logis, rasional, dan kritis. Begitu juga, untuk mempersiapkan siswa agar dapat bermatematika dalam kehidupan sehari-hari, mempelajari ilmu pengetahuan, teknologi dan seni (IPTEKS). Sedangkan, penekanan tujuan umum pembelajaran matematika di sekolah adalah penataan nalar, pembentukan sikap siswa serta keterampilan dalam penerapan ilmu matematika (Depdikbud, 2000).

Pertanyaan selanjutnya adalah sejauh mana tujuan pendidikan matematika di sekolah sudah dapat direalisasikan? Inilah kiranya yang masih menjadi keprihatinan kita bersama. Sungguh banyak kesulitan yang ada dan merambah hampir ke seluruh komponen pembelajaran matematika, mulai dari faktor internal (siswa, guru, kurikulum, sarana dan prasarana yang belum memadai), sampai pada faktor eksternal (pentingnya peran orangtua dan lingkungan).

Fobia Matematika
Masalah klasik yang selalu muncul dalam proses pembelajaran matematika di sekolah adalah pembelajaran masih menggunakan pendekatan tradisional (mekanistik), yakni seorang guru secara aktif mengajarkan matematika, kemudian memberikan contoh dan latihan, di sisi lain siswa berfungsi seperti mesin, mereka mendengar, mencatat, dan mengerjakan latihan yang diberikan guru (Asmin, 2004). Fakta menunjukkan, tidak sedikit siswa yang masih menganggap matematika adalah pelajaran yang bikin stress, membuat pikiran bingung, menghabiskan waktu dan cenderung hanya mengotak-atik rumus yang –menurutnya- tidak berguna dalam kehidupan. Akibatnya, matematika dipandang sebagai ilmu kering yang tidak perlu dipelajari dan –mungkin– dapat diabaikan. Hampir belum pernah dijumpai proses pembelajaran matematika yang dikaitkan langsung dengan kehidupan nyata.

Munculnya anggapan siswa dan masyarakat bahwa pelajaran matematika sulit bahkan menjadi fobia, lebih disebabkan pola pengajaran yang lebih menekankan pada hafalan dan kecepatan berhitung (tradisional), juga disebabkan oleh pola pengajaran guru yang otoriter, yakni siswa harus patuh dengan apa yang diterangkan guru dan tidak boleh banyak bertanya. Guru dituntut untuk mampu mengajarkan matematika lebih menarik yang dapat mengembangkan daya nalar siswa. Sebagian siswa menganggap belajar matematika harus dengan berjuang mati-matian dengan kata lain harus belajar ekstra ulet, rajin, keras, pantang menyerah. Hal ini menjadikan matematika laksana “monster” yang mesti ditakuti dan akibatnya malas untuk mempelajarinya lebih lanjut. Apalagi dengan dijadikannya matematika sebagai salah satu di antara mata pelajaran yang diujikan dalam ujian nasional yang merupakan syarat bagi kelulusan peserta didik SMP maupun SMA, hingga dijadikannya sebagai salah satu uji materi dalam seleksi masuk perguruan tinggi, yang mengakibatkan ketakutan peserta didik pun semakin bertambah.

Soedjadi (1994) berpendapat bahwa kurikulum matematika yang ada sekarang ini jelas terlihat penekanannya terletak kepada apa yang harus diajarkan (materi), tetapi kurang mengarahkan kepada bagaimana mengajarkan materi ajaran itu (gaya mengajar). Pada dasarnya kurikulum disusun untuk dapat memenuhi tuntutan kehidupan maupun tuntutan perkembangan ilmu yang demikian pesat serta perkembangan teknologi yang sudah langsung mempengaruhi kehidupan sehari-hari. Tidak dapat dipungkiri bahwa kedudukan matematika realistik dalam perkembangan suatu bangsa di masa depan akan semakin penting, baik dalam makna formal (penataan nalar dan pembentukan sikap mental) maupun dalam makna material (terutama penggunaan matematika realistik). Perkembangan ilmu dan teknologi semakin menuntut pemilihan materi matematika yang tepat untuk melayaninya. Sehingga, perlu pola kurikulum PMR (Pembelajaran Matematika Realistik) yang berani jauh ke depan tanpa selalu tertinggal dan tidak melupakan kenyataan yang kini ada.

Memperhatikan pelbagai hal tersebut di atas, maka kurikulum matematika realistik sekolah di Indonesia harus diorientasikan pada upaya mengangkat keterbelakangan dan mengejar ketertinggalan. Kurikulum PMR tidak hanya terkait bagaimana mengorganisasikan dan mengintegrasikan bahan pelajaran matematika realistik itu sendiri, tetapi juga penilaian terhadap hasil diagnosis mengenai kelemahan atau kekuatan komponen-komponen kurikulum, sehingga dapat diketahui komponen mana yang perlu diperbaiki, misalnya mengajar, dan bahan pelajaran tidak sesuai dengan tingkat kematangan siswa. Salah satu unsur pokok dalam PMR adalah matematika itu sendiri. Guru matematika realistik harus mengetahui objek yang akan diajarkan yaitu matematika secara umum yang bersifat nyata. Apa dan bagaimana sebenarnya matematika itu? Sehingga informasi yang diterima siswa adalah informasi yang utuh (sebenarnya), tidak secara parsial yang dapat membingungkan siswa.

Pembelajaran matematika model realistik pertama kali diperkenalkan oleh Freudenthal di Belanda pada tahun 1973. Model ini merupakan hasil pengembangan pembelajaran matematika yang berpusat pada pandangan Freudenthal. Menurutnya, pembelajaran matematika harus dipandang sebagai proses. Materi matematika yang diajarkan kepada siswa haruslah berupa suatu proses bukan berupa barang jadi yang langsung disajikan kepada siswa secara mentah-mentah. Pengembangan konsep PMR dan berbagai gagasan matematika bermula dari dunia nyata dan pada akhirnya perlu merefleksikan hasil-hasil yang diperoleh dalam matematika tersebut ke dalam bentuk alam yang nyata. Artinya, yang dilakukan dalam proses matematika adalah mengambil sesuatu dari bentuk dunia nyata dibawa ke dalam model matematisasi, dan pada akhirnya dikembalikan lagi ke bentuk alam nyata.

Kehadiran PMR dirasakan dapat memperbaiki kondisi pembelaran yang tradisional, yaitu mengubah pendekatan yang kering dan mekanistik menjadi lebih menyenangkan dan bermakna baik bagi guru maupun para siswa. Oleh karena itu, menyelenggarakan pembelajaran matematika realistik (PMR) secara efektif dan dapat membuat siswa bergairah untuk mengikutinya merupakan hal yang sudah tidak dapat ditawar lagi untuk menuju bangsa yang berkemampuan unggul dan berkualitas dalam sumber daya manusia (SDM). Dengan mempraktikkan strategi pembelajaran di atas, diharapkan “ruh” matematika dapat terselamatkan. Dengan kata lain, siswa menjadi senang untuk belajar matematika dan terbebas dari penyakit fobia matematika.

Dengan mengetahui kaitan matematika dengan dunia realistik, tentunya siswa diharapkan dapat menyenangi pelajaran matematika dan akhirnya dapat lebih bersemangat untuk mempelajari dan memahami matematika. Apabila hal ini benar-benar dapat terwujud, maka tidak mustahil kemampuan siswa Indonesia yang nota bene sebagai generasi bangsa akan selalu meningkat dan dapat berkompetisi dengan negara lain. Di sisi lain, dengan kemampuan matematika yang tinggi, maka akan dapat meningkatkan kemajuan di bidang ilmu pengetahuan yang tinggi pula. Akhirnya, majulah peradaban iptek di Indonesia. Semoga. [ahf]