Menjadi Manusia Merdeka

Oleh A. Halim Fathani
Di Indonesia, membicarakan buruh identik artinya dengan membicarakan kaum dhuafa. Dan membicarakan kaum dhuafa identik pula artinya dengan membicarakan kaum miskin yang kini jumlahnya semakin terus bertambah seiring dengan meningkatnya angka pengangguran. Tingginya jumlah pengangguran ini, jika tidak segera ditangani, dapat menimbulkan gejolak sosial yang besar. Itulah sebabnya masalah perburuhan merupakan masalah mayoritas bangsa. Dengan demikian, bentuk perjuangan yang dilakukan oleh siapapun, kapanpun, dan dengan wadah apapun, mau tak mau harus menyentuh persoalan krusial kaum buruh ini.

Dalam konteks tersebut, persoalan perburuhan tidak bisa dilepaskan dari dimensi sosial, politik, dan moral keagamaan. Secara sosial politik, siapapun yang memimpin negeri harus mampu menyelesaikan persoalan buruh, minimal mengurangi pengangguran. Pemerintah juga harus memberikan jaminan dan perlindungan terhadap hak-hak hukum, hak survivalitas, hak pengembangan karir, dan hak normatif kaum buruh yang selama ini terabaikan.
Melihat kondisi faktual masalah perburuhan ini, pemerintah dan komponen bangsa yang peduli nasib buruh sudah saatnya merumuskan kembali “nasib buruh”. Reformasi buruh dalam kaitannya dengan dunia kerja dan relasi antara industri dan buruh perlu mendapat perhatian serius. Sisi lain, agama juga diharapkan hadir dalam dunia nyata untuk menjadi pegangan hidup dan memiliki langkah-langkah signifikan dalam membela kaum buruh. Tak kecuali Islam. Karena selain sebagai agama yang rahmatan lil ‘alamain, Islam juga selalu mengedepankan nilai-nilai al musawah dan al ‘adalah bagi setiap umatnya. Sehingga ia diharapkan bisa menjawab tantangan mengenai persoalan perburuhan ini.
Bagi umat Islam, paradigma buruh sebagai alat produksi telah 14 abad lalu ditinggalkan karena tidak sesuai dengan petunjuk al-Qur’an. Bagi kitab suci al-Qur’an “kaum buruh yang bekerja di manapun” merupakan perwujudan aktualisasi diri manusia yang bekerja untuk menyempurnakan dunia sekaligus bekerja untuk tugas kekhalifahannya di muka bumi.
Tuhan menciptakan manusia itu untuk beribadah kepada-Nya, sekaligus untuk menjadi khalifah di muka bumi. Dalam konteks inilah kita bisa melihat bahwa “bekerja” mempunyai dimensi spiritual yang tinggi: Bekerja bukan sekadar untuk survive tapi juga merefleksikan kekhalifahan manusia sesuai dengan tujuan Penciptaan.
Persoalan buruh selama ini selalu memprihatinkan. Baik menyangkut hubungan pekerja/buruh dengan majikan, upah buruh, efektivitas industri dan peluang kerja, keseimbangan produksi dan konsumsi, ataupun jaminan kesehatan (asuransi). Yang pasti, berbagai ketidakpuasan buruh terhadap manajemen kerja dan industrialisasi telah melahirkan upaya-upaya seperti pemogokan, demonstrasi, bahkan sabotase dalam lapangan industri, yang pada akhirnya merugikan semua pihak.
Mengapa semua ini bisa terjadi? Mengapa terasa sulit dipecahkan? Apakah persoalan manajemen kerja dan industrialisasi selamanya harus menguntungkan majikan (pemodal) dan menekan eksistensi kaum buruh? Inilah persoalan-persoalan yang dibahas dalam buku ini secara holistik.
Pelbagai ketimpangan sosial-ekonomi tersebut, perlu segera dijawab dengan membangun manajemen buruh yang dapat menampung semua kepentingan. Memang, di dalam suatu perusahaan selalu ada tarik-menarik kepentingan antara buruh dan majikan. Tetapi, pemerintah dituntut untuk dapat menjadi penengah yang mampu menjembatani keduanya. Persoalannya, benarkah pemerintah bisa berdiri di tengah secara adil sehingga mampu menyelesaikan masalah perburuhan?
Inkonsistensi pemerintah terlihat tatkala serang menteri mendapat tekanan dari pihak tertentu. Begitu ada tekanan dari pengusaha, pemerintah akan segera membikin peraturan yang sesuai dengan selera pegusaha. Sebaliknya, jika pemerintah ditekan oleh buruh, segera dibikinlah keputusan yang sesuai dengan selera buruh. Akibatnya, visi pemerintah memang selalu tidak jelas. Tidak heran, jika munculnya peraturan perubuhan lebih banyak diwarnai oleh kecenderungan politik.
Lahirnya UU No. 13 tahun 2003 adalah bagian dari skenario besar pemerintah Indonesia untuk menata dan menegosiasikan kepentingan bersama antara buruh, majikan, dan negara. Jika pengusaha berkepentingan terhadap pengembangan modal, buruh berkepentingan menaikkan pendapatan maka pemerintah berkepentingan mengamankan makro ekonominya. (hlm. 163).
Dalam buku ini, penulisnya mengkaji dan membandingkan konsep perburuhan dalam sistem ekonomi konvensional dengan konsep perburuhan dalam Islam. Secara lebih spesifik, buku ini ingin melakukan analisis perbandingan terhadap konsep perburuhan dalam UU No. 13 tahun 2003, yang berlaku di negeri ini, yang nota bene menganut sistem negara kesejahteraan dengan paradigma perburuhan dalam Islam, khususnya berkaitan dengan konsep hak-hak kaum buruh. Tentunya, buku ini sangat baik digunakan ole para aktivis, kaum buruh,dan pecinta keadilan kesejahteraan. Selamat Berjuang![]

Identitas Buku
Judul Buku : Teologi Buruh
Penulis : Abdul Jalil
Penerbit : LKiS Yogyakarta
Cetakan I : April 2008
Tebal : xviii + 280 halaman

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *