LEBIH DEKAT DENGAN BUKU

Oleh Abdul Halim Fathani

Untuk menuju bangsa yang bermartabat, tidak luput dengan adanya peran sebuah buku. Buku ternyata dapat mempengaruhi pola pikir seseorang, sedangkan pola pikir akan mempengaruhi persepsi, sikap, serta tingkah laku seseorang.

Menurut Tyasno (2007:19) – Ketua Majelis Luhur Persatuan Taman Siswa Yogyakarta– kalau kita ingin mengubah diri kita, ubahlah lebih dulu cara berpikir kita. Kalau kita ingin mengubah bangsa ini, mari kita perbaiki bersama cara berpikir kita yang sudah usang dan ketinggalan zaman. Produksi dan distribusi buku-buku yang berkualitas kepada -sebanyak mungkin- elemen bangsa, pasti akan memberi kontribusi terhadap proses membangun watak bangsa (nation character building) dalam rangka meningkatkan harkat dan martabat bangsa dalam percaturan dunia.

Sebagaimana pendapat Subardi (2007:22) yang mengatakan bahwa dunia perbukuan dalam suatu masyarakat bisa menjadi indikasi tentang perkembangan kecerdasan bahkan tingkat peradaban dalam komunitas masyarakat tertentu. Sejarah dunia perbukuan memperlihatkan betapa eratnya kaitan antara meningkatnya animo peredaran buku dan semakin berkembangnya kecerdasan dan peradaban masyarakat. Salah satunya, Lembaga pendidikan sebagai wujud usaha pembelajaran memiliki hubungan yang akrab dengan dunia perbukuan. Tidak ada ceritanya, proses pembelajaran di lembaga pendidikan dapat diselenggarakan tanpa kehadiran buku. Lembaga pendidikan sengaja dirancang (by design) untuk mengaktualisasikan proses pembelajaran yang komponennya terdiri atas pelajar, pengajar, dan buku merupakan sarana pembelajaran yang turut dihadirkan dalam proses tersebut.

Sampai detik ini belum banyak masyarakat kita yang menjadikan buku sebagai kebutuhan “primer”. Padahal, kalau kita kita renungi, ternyata tidak sedikit manfaat yang dapat dipetik dari sebuah buku serta aktivitas lain yang terkait dengan dunia perbukuan, seperti membaca, menulis, meresensi, hingga menerbitkan menjadi buku kembali. Dunia perbukuan belum merakyat ke berbagai komunitas masyarakat. Kebanyakan masyarakat memandang bahwa dunia perbukuan hanya “boleh” dihuni oleh komunitas akademik-intelektual kampus saja. Sedangkan masyarakat “bawah” pada umumnya hanya menempati posisi sebagai “pendengar” dan hanya akan menunggu apa yang akan diberikan oleh kaum intelektual -aktivis perbukuan- tersebut. Dengan kata lain kaum intelektual sebagai pelaku aktif, sedangkan pelaku pasif dilekatkan pada masyarakat Indonesia pada umumnya.

Terkait hal ini, Magdalena Soekartono (1997) sebagaimana yang dikutip Marwah Daud Ibrahim (2007:21) menawarkan beberapa ikhtiar agar masyarakat menjadi lebih bergairah terhadap dunia perbukuan. Di antaranya, Pertama, mendekatkan buku dengan masyarakat. Hal ini bisa dimulai dari komponen anggota masyarakat yang paling kecil yaitu keluarga. Buku bisa menjadi media. Artinya, buku dapat mengajak, mendorong, mengarahkan, dan memberi pandangan serta penilaian terhadap sesuatu hal. Misalnya buku tentang bagaimana sebuah bangsa didirikan, sebuah peradaban dan budaya dibangun, kecanggihan iptek ditemukan, sampai buku-buku yang menuntun bagaimana hidup yang sesuai dengan ajaran Tuhan, dan lainnya.

Buku sebagai properti. Buku merupakan kekayaan yang sangat berharga, yang tak ternilai harganya. Buku merupakan sumber ilmu pengetahuan, sebagai pencipta suasana. Persahabatan dengan buku akan mampu memperluas pemikiran dan perasaan sehingga akan menimbulkan keinginan untuk selalu membaca, membaca, dan membaca. Dengan membaca kita akan mendapatkan banyak informasi yang kemudian dapat diolah dan diproses menjadi sebuah pengetahuan. Pengetahuan, akhirnya akan menjadi dasar dalam dinamisasi kehidupan, memperlihatkan eksistensi berjuang mempertahankan hidup, dan mengembangkannya dalam ilmu pengetahuan dan teknologi sebagai kebutuhan hidup manusia di era global.

Kedua, mengupayakan semaksimal mungkin harga buku murah. Hal ini perlu keterlibatan aktif dari berbagai komponen masyarakat yang merasa peduli akan kecerdasan masa depan bangsa. Karena mustahil kalau hanya dibebankan kepada pemerintah dan penerbit buku saja. Adanya berbagai pameran buku yang digelar di berbagai daerah merupakan salah satu bentuk komitmen insan perbukuan untuk lebih mendekatkan buku terhadap masyarakat dengan harga yang lebih terjangkau.

Ketiga, perlu diadakan dan digencarkan lagi pemilihan Pangeran dan Putri Buku setiap tahun di daerah-daerah. Supaya greget masyarakat tentang dunia perbukuan semakin kuat. Jadi tidak hanya pemilihan Putri Indonesia atau Abang-None saja yang bisa mempromosikan kekayaan pariwisata alam. Tetapi sungguh sangat perlu ada duta-duta bangsa ini yang cerdas dan cekatan bisa memamerkan dan mempromosikan khazanah kekayaan budaya dan intelektual negerinya.

Dengan demikian, keberadaan buku memiliki arti penting sebagai wadah investasi intelektual kita. Dengan lahirnya buku, maka kita dapat mempelajari ide, gagasan para cendekiawan dan intelektual terdahulu. Buku dapat dijadikan sebagai tempat mencurahkan pikiran-pikiran yang tersimpan yang akan dijadikan pijakan oleh pihak lain dan generasi masa depan dalam membentuk kepribadian diri sekaligus bangsanya. Oleh sebab itu, tidak ada alasan lagi bagi masyarakat kita untuk tidak mendekat atau paling tidak berusaha untuk mendekat kepada dunia perbukuan. Tidak ada alasan untuk dapat menjauhi aktivitas terkait perbukuan, minimal membaca. Hanya satu tekad bersama, yakni mulai detik ini mari kita berjanji pada diri masing-masing, bahwa tiada hari tanpa membaca, tiada hari tanpa menulis.

Di balik segudang harapan yang dipaparkan di atas, kita juga perlu selalu waspada dan hati-hati terhadap dunia perbukuan di era sekarang. Pasalnya, saat ini kebebasan intelektual telah hidup-berkembang di negeri kita terlanjur kebablasan. Akibatnya, banyak lahir penerbit-penerbit kecil yang juga telah ikut berperan dalam membangun peradaban intelektual bangsa ini. Buku merupakan media efektif untuk membentuk watak kepribadian suatu bangsa. Dengan menulis beberapa ide –baik positif maupun negatif– kreatif, gagasan cerdas, atau sebaliknya dalam sebuah buku, berarti kita telah membuat orang lain untuk “mau” mengikuti ide dan gagasan yang kita tuangkan dalam buku tersebut. Sekarang, tergantung kepada pembaca buku, apakah ia mampu dan mau menyeleksi buku-buku yang ia baca, atau hanya menuruti apa saja yang telah tertulis dalam buku yang dibacanya lalu mengikuti ide dan gagasannya.

Atas, kenyataan inilah, kiranya perlu direnungkan pernyataan dari Filsuf Jerman, Artur Schopenhauer (1788-1860), “Ada begitu banyak buku yang tidak bermutu, laksana rumput liar yang melimpah dan mengganggu pertumbuhan jagung yang baik. Buku-buku semacam ini hanya mencuri waktu dari khalayak pembaca—waktu, uang, dan perhatian yang seharusnya diarahkan hanya pada karya-karya terbaik. Buku-buku yang tidak bermutu adalah racun moral yang menumpulkan pikiranmu.” Lebih lanjut, menurut Leo Tolstoy, seorang Sastrawan Rusia, mengatakan bahwa “perbedaan antara racun materi dan racun intelektual adalah bahwa sebagian besar racun materi menjijikkan bila dirasakan, tetapi racun intelektual, yang menyamar dalam koran-koran murahan dan buku-buku tidak bermutu, tampak menarik – dan semakin menarik, semakin banyak selera orang yang yang dimanjakan.”

Dengan demikian, hemat penulis adalah bagaimana agar kebebasan tradisi intelektual (baca: penerbitan buku) ini dapat direspons secara positif, sehingga buku yang dihasilkan benar-benar berkwalitas dan dapat secara positif pula dalam membangun watak dan kepribadian bangsa. Begitu juga, masyarakat pecinta buku pada umumnya, benar-benar dapat menyikapi secara positif terhadap buku-buku yang diterbitkan. Artinya, masyarakat mau merespon kehadiran buku dengan gemar membaca. Semoga![ahf]