Memburu Sekolah Unggul

Oleh A Halim Fathani

Juni-Juli merupakan masa-masa yang membuat sibuk bagi orangtua yang memiliki anak usia sekolah. Kesibukan itu terfokus pada bagaimana memilih sekolah yang pas buat sang anak. Kebanyakan, sistem penerimaan siswa baru yang dipraktikkan di sekolah-sekolah negeri dan favorit selama ini adalah menggunakan nilai ujian nasional sebagai parameter, seperti yang dilaksanakan di Kabupaten Gresik, Lamongan, dan Bojonegoro, hasil UN/UASBN tetap menjadi penentu penerimaan siswa baru dari SD ke SMP dan dari SMP ke SMA/SMK (Kompas, 16/6/10). Di samping itu, ada beberapa sekolah yang juga menyelenggarakan tes lokal, meliputi ujian tulis dan tes kepribadian/wawancara.

Sistem penerimaan siswa baru tersebut, tentu memiliki kelemahan di samping juga kelebihannya. Seperti kasus di Malang -pada sekolah-sekolah yang menggunakan nilai ujian nasional sebagai patokan- banyak anak pandai dengan nilai ujian nasional yang tinggi, tapi tidak diterima. Sebaliknya, siswa yang mempunyai nilai ujian nasional rendah bisa diterima. Ada juga anak yang diterima karena nilainya bagus, namun ia gagal diterima karena tidak mampu membayar uang registrasi yang jumlahnya tentu tidak murah.

Sudah menjadi keniscayaan, jika banyak orangtua yang memilih sekolah unggul sebagai tempat belajar anak-anaknya. Akan tetapi, tidak sedikit orangtua yang masih memiliki anggapan keliru mengenai kriteria sekolah unggul. Biasanya, banyak yang mengira bahwa sekolah unggul adalah sekolah yang berada di tengah kota dan memiliki gedung megah. Saat penerimaan siswa baru, jumlah pendaftarnya melebihi kuota sehingga hanya anak-anak yang lulus seleksi bisa diterima.

Ada juga yang berpandangan bahwa sekolah unggul adalah sekolah yang memerhatikan kualitas input siswanya, sehingga diharapkan dapat memudahkan ketika proses pembelajaran berlangsung. Saat UN, mereka meraih prestasi yang gemilang. Bahkan ada yang mengukur sekolah unggul adalah sekolah yang biaya pendidikannya mahal. Benarkah demikian?

Terpinggirkan

Jika sekolah-sekolah unggulan menggunakan sistem penerimaan siswa baru berdasarkan ranking ujian nasional/tes lokal, maka pertanyaan penting yang perlu dipikirkan adalah bagaimana nasib anak-anak yang tidak diterima? Apakah benar anak-anak yang gagal diterima tersebut termasuk dalam kelompok anak yang “tidak pintar”? Jawabannya, belum tentu.

Kalau sekolah unggulan hanya boleh dihuni oleh anak yang pandai dan cerdas, maka peluang mereka untuk menjadi anak yang semakin pandai dan bertambah cerdas sangat besar peluangnya. Namun, jika anak yang “tidak pintar” itu hanya diperkenankan menikmati bangku belajar di sekolah-sekolah pinggiran, maka penulis kuatir masa depan anak tersebut juga akan terpinggirkan.

Padahal, Bab IV pasal 5 ayat 1 Undang-Undang Sisdiknas Nomor 20 Tahun 2003 menyebutkan, “Setiap warga negara mempunyai hak yang sama untuk memperoleh pendidikan yang bermutu.” Dengan demikian, jelas bahwa sekolah unggulan itu menjadi milik semua warga negara, bukan hanya untuk yang “pintar” saja. Sehingga, komitmen pemerintah untuk memperluas akses pendidikan yang bermutu harus terus dikawal.

Mengacu isi pasal di atas, sudah selayaknya, ada perubahan mendasar terkait sistem penerimaan siswa baru. Sistem yang dipakai seharusnya tidak memunculkan aspek diskriminatif, baik dalam hal ekonomi, kecerdasan, tempat tinggal, dan lainnya. Setiap warga negara memiliki peluang yang sama untuk mengenyam pendidikan di bangku sekolah.

Di Jawa Timur, sesungguhnya ada sekolah yang berani mengambil sikap berbeda dalam penerimaan siswa baru ini. SMP YIMI Gresik “Full Day School” merupakan sekolah yang mengedepankan proses pembelajaran yang berkualitas dan menyenangkan untuk semua kondisi (the best process).

Hal ini sejalan dengan pendapat Chatib (2009:93) terkait sekolah unggul. Ia mendefinisikan sekolah unggul adalah sekolah yang fokus pada kualitas proses pembelajaran, bukan pada kualitas input siswanya. Kualitas proses pembelajaran bergantung pada kualitas guru yang bekerja di sekolah tersebut.

Risiko bagi sekolah model ini adalah pihak sekolah harus dengan senang hati menerima semua siswa apa adanya, tanpa pandang bulu, dan tanpa memilih siswa dengan tes seleksi. Prinsipnya, apabila sebuah sekolah berkapasitas 100 siswa dalam penerimaan siswa barunya, maka ketika jumlah pendaftar telah mencapai 100 siswa, pendaftaran harus ditutup.

Walhasil, sekolah unggul merupakan sekolah yang benar-benar menghargai keunikan individu siswa. Setiap siswa tentu memiliki potensi masing-masing. Dan, tugas sekolah (beserta orangtua) untuk mengembangkan potensi tersebut sehingga anak dapat mencapai kondisi akhir terbaiknya di bidang tertentu.

Sekolah harus membuka pintu bagi siapa pun yang mau mendaftar. Sekolah seharusnya bukan hanya tempat belajar bagi anak yang sudah pintar, tetapi sekolah justru harus menjadi pintu gerbang bagi anak siapa pun untuk menemukan dan mengembangkan potensi yang dimiliki.[ahf]