Koran dan Masyarakat “Kecil”

Oleh A Halim Fathani

Berbagai upaya yang dilakukan Kementerian Pendidikan Nasional patut didukung semua pihak, di antaranya program peningkatan minat baca pada anak dan masyarakat. Memang, tidak sedikit yang mengakui bahwa budaya membaca di masyarakat kita memang masih minus. Apalagi budaya menulis, justru semakin dipertanyakan (lagi). Oleh karenanya, langkah Kemendiknas untuk membangun Taman Bacaan Masyarakat (TBM) di berbagai tempat publik -seperti di Mall, rumah sakit- harus segera dikonkretkan. Dalam hal ini, Kemendiknas menargetkan 561 Taman Bacaan Masyarakat (TBM) di 23 pusat perbelanjaan hingga akhir tahun 2010 di seluruh Indonesia.

Namun, program TBM –dalam pandangan penuli- masih diyakini belum mampu berjalan efektif sampai menyentuh masyarakat lapisan bawah. Penulis mengamati, masyarakat (terutama lapisan bawah) lebih banyak asyik membaca koran daripada buku. Selain berisi informasi/berita, koran juga mudah diperoleh, murah harganya, dan bahasanya lebih “memasyarakat”. Sedangkan buku, lebih cenderung mahal, hanya bisa diperoleh di Toko Buku atau di perpustakaan lembaga pendidikan atau perpustakaan daerah, dan bahasanya senderung sulit dipahami (bergaya sok intelek).

Sebagai alternatif, maka program Kemendiknas ini perlu kiranya didampingi program lain, yang “murah, mudah, dan memasyarakat”, yaitu, memaksimalkan ragam informasi yang ada di koran. Selama ini, selain berita, koran juga sudah menyediakan informasi pengetahuan lain, seperti ada kolom artikel, opini, tanya jawab, hasil riset, resensi buku, dan sebagainya. Dengan kata lain, berangkat dari budaya membaca koran, diharapkan akan dapat menuntun masyarakat untuk membaca buku.

Mengapa ini perlu dilakukan? Kalau kita melihat kondisi nyata. Saat ini sudah banyak warung-warung di pinggir jalan yang langganan koran. Sambil menunggu makanan yang dipesan, pembeli dapat membaca koran, entah itu berita, artikel, atau lainnya. Nah, dari informasi awal itulah, pembaca diharapkan dapat menggali informasi yang jauh lebih lengkap, yaitu dengan membaca buku sebagai sumber utamanya. Koran juga dapat leluasa masuk sampai rumah-rumah warga masyarakat, sementara buku masih banyak tersedia di kota-kota besar saja.

Dengan demikian, maka tantangan sekaligus peluang bagi pengelola koran adalah bagaimana awak redaksi dapat menerbitkan koran, namun isinya bukan hanya berita dan liputan peristiwa saja. Tetapi juga berisi informasi pengetahuan yang lain, seperti informasi hasil riset kerjasama dengan perguruan tinggi, artikel, opini, kajian problem masyarakat, dan seterusnya. Dan, yang penting harga koran (juga buku) harus terjangkau (boleh mahal yang penting tetap terjangkau) bagi seluruh lapisan masyarakat.
Penulis berharap, agar program ini bukan hanya program formalitas-birokratis ansich, tetapi program ini diharapkan dapat menyentuh sampai pada pembentukan mental pada masyarakat agar gemar membaca. Dengan kata lain, mampu menciptakan masyarakat Indonesia menjadi masyarakat pembelajar. [ahf]