KECERDASAN DELAPAN SETENGAH (8,5)

Oleh ABDUL HALIM FATHANI

SETIAP anak itu cerdas, inilah kalimat yang sering membayangi penulis ketika membahas tema “kecerdasan”. Kalau versi Ary Ginanjar Agustian, kita kenal ada istilah kecerdasan emosional-spiritual atau yang sering disebut istilah ESQ (Emotional Spiritual Quotient). Ada kecerdasan emosional versi Daniel Goleman. Ada Kecerdasan Intelektual (IQ) yang ditemukan oleh Alfred Binet. Ada kecerdasan moral yang ditemukan oleh Robert Coles, dan jenis kecerdasan lainnnya, termasuk yang saat ini sedang “ramai” dibicarakan dalam dunia pendidikan adalah kecerdasan majemuk (multiple intelligences) hasil temuan Howard Gardner.

Ada 4 (empat) poin kunci kecerdasan majemuk versi Gardner. Yakni: 1) Setiap orang mempunyai 8 kecerdasan atau lebih; 2) Pada umumnya orang dapat mengembangkan setiap kecerdasan sampai pada tingkat penguasaan yang memadai; 3) Kecerdasan-kecerdasan umumnya bekerja bersamaan dengan cara yang kompleks, tidak berdiri sendiri-sendiri; dan 4) Ada banyak cara untuk menjadi cerdas dalam setiap kategori. Adapun, 8 kecerdasan majemuk tersebut adalah: kecerdasan logis-matematis, kecerdasan linguistik, kecerdasan visual-spasial, kecerdasan musikal, kecerdasan kinestetik, kecerdasan interpersonal, kecerdasan intrapersonal, dan kecerdasan naturalis.

Pertanyaannya, apakah Gardner tidak memasukkan “Kecerdasan Spiritual” dalam kecerdasan majemuknya? Dalam bukunya “Gurunya Manusia”, Chatib (2013:138) menjelaskan bahwa pada awalnya –tahun 1983- Gardner hanya mengenalkan enam kecerdasan, yakni linguistik, matematik, spasial, musikal, intrapersonal, dan interpersonal. Namun, dalam perkembangannya sampai 2002, Gardner sudah mengenalkan sembilan jenis kecerdasan, yaitu dengan penambahan kecerdasan kinestetik, naturalis, dan eksistensial.

Dalam buku yang lain –Sekolahnya Manusia- Chatib (2009:75) menegaskan bahwa Gardner dengan cerdas memberi label “multiple” (jamak atau majemuk) pada luasnya makna kecerdasan. Menurut Chatib (2009:75), Gardner sepertinya sengaja tidak memberikan label tertentu pada makna kecerdasan, seperti yang dilakukan penemu teori kecerdasan lainnya. Namun, Gardner menggunakan istilah “multiple intelligences”, sehingga memungkinkan ranah kecerdasan tersebut akan terus berkembang. Dengan demikian, sangat dimungkinkan jumlah kecerdasan akan terus bertambah seiring dengan ditemukannya kecerdasan-kecerdasan “baru”.

Kecerdasan Eksistensial
Delapan kecerdasan versi Gardner sudah banyak dibahas dalam berbagai literatur. Namun, untuk bahasan atau kajian kecerdasan kesembilan yang dikenal dengan kecerdasan eksistensial masih belum “sesempurna” delapan kecerdasan lainnya. Gardner (1999:60) memberikan gambaran kemampuan inti dalam kecerdasan eksistensial sebagai “Kemampuan menempatkan diri dalam hubungan dengan jangkauan kosmos yang terjauh –yang tidak terhingga besarnya serta tidak terhingga kecilnya- dan kemampuan lain yang terkait, yakni menempatkan diri dalam hubungan dengan berbagai aspek eksistensial manusia, misalnya makna hidup, arti kematian, nasib dunia fisik dan psikologis, serta pengalaman mendalam seperti cinta pada sesama atau keterlibatan todal dalam karya seni”.

Namun, Gardner (1999) secara eksplisit menyatakan bahwa dia “tidak” sedang mengajukan kecerdasan eksistensial ini disebut sebagai kecerdasan spiritual, religius, atau moral, yang berdasarkan “kebenaran” tertentu yangg telah dikembangkan oleh berbagai individu, kelompok, atau lembaga. Sebaliknya, dia menyatakan bahwa setiap upaya pengembangan spektrum kecerdasan manusia mungkin harus mengarah ke upaya abadi umat manusia dalam menjawab berbagai pertanyaan dasar kehidupan: “Siapa diri kita?”, “Apakah hidup ini?”, “Mengapa ada kejahatan?”, “Akan menuju ke mana umat manusia?”, “Apakah hidup ini bermakna?”, dan sebagainya. (Armstrong, 2000). Oleh Gardner, kecerdasan eksistensial ini belum bisa secara sempurna dikatakan sebagai jenis kecerdasan yang kesembilan.

Menurut Suyadi & Dahlia (2014:107) kecerdasan eksistensial ini biasanya dimiliki oleh para agamawan, tokoh spiritual, rahib, sufi, dan sebagainya. Untuk lebih mudah memahami kecerdasan eksistensial, dalam bukunya, Suyadi & Dahlia (2004:107) memberikan contoh”profil” kecerdasan eksistensial yang dimiliki Imam Syafi’I, Imam Ghazali, dan Jalaluddin Rumi.

Pertama, Imam Syafi’i. Beliau adalah orang yang mampu menghafal al-Qur’an ketik ausianya menginjak usia 9 tahun. Mampu menghafal kitab besar Al-Muwaththa;, karya ulama besar Imam Malik hanya dalam waktu 9 malam, mampu membuat 1000 kesimpulan lengkap dengan renungan hadits pendek dalam waktu satu malam, serta menjadi manusia pertama yang merumuskan kaidah ilmu ushul fiqh.

Kedua, Imam Ghazali. Beliau adalah seorang sufi terkemuka sepanjang zaman. Karya monumentalnya yang berjudul Ihya ulumuddin membuktikan hal itu. Ia juga terkenal sebagai “penumbang” filsafat, karena dikira bahwa filsafat tidak akan memberi pencerahan pada spiritualitas seseorang.

Ketiga, Jalaluddin Rumi. Beliau adalah seorang tokoh sufi yang sangat terkemuka baik di belahan dunia Barat maupun Timur. Banyak sekali karyanya tentang spiritualitas yang telah diterjemahkan dalam berbagai bahasa, seperti: Turki, Urdu, Sindhu, dan Bengali. Bahkan, dunia Barat pun tertarik dengan karya Spiritualitas Rumi, kemudian mereka turut menerjemahkannya. Ketertarikan masyarakat dunia terhadap karya sufistik Rumi dikarenakan Rumi dinilai mempunyai nilai-nilai universal.

Dari gambaran di atas, dapat disimpulkan bahwa Gardner menemukan jenis kecerdasan berikutnya (setelah kecerdasan kedelapan), yakni kecerdasan eksistensial. Bagi Gardner, kecerdasan ini belum bisa disebuat sebagai kecerdasan yang kesembilan dalam paradigma kecerdasan majemuk. Karena menurutnya, kecerdasan eksistensial masih belum sepenuhnya memenuhi kriteria kecerdasan secara sempurna sebagaimana kriteria kecerdasan yang telah ditetapkan Gardner, sehingga kecerdasan ini masih dikategorikan sebagai Kecerdasan yang ke delapan setengah (8,5). Di sisi yang lain, oleh sebagian pihak, ada yang menyebutnya kecerdasan eksistensial ini sebagai kecerdasan spiritual. Namun, Gardner masih bersikukuh untuk tidak mengatakan kecerdasan spiritual, tetapi masih “istiqomah” dengan sebutan kecerdasan eksitensial. [ahf]