Ijazah Instan, Mengapa (masih) Laku?

Oleh A Halim Fathani

Sekali lagi, Indonesia dihadapkan pada kasus yang mencoreng nama pendidikan. Kasus ijazah instan yang dipraktikkan oleh beberapa Universitas di negeri tercinta. Sebuah protet buram masyarakat Indonesia yang memuja ijazah (dan gelar) tanpa batas.

Tetapi, bagi sebagian orang, ini adalah lahan bisnis yang menjanjikan. Juga bagi mereka yang mau serbainstan, peluang ini sangat menguntungkan demi memperoleh ambisi pribadi. Dengan ijazah, seakan-akan masa depan gampang diraih. Siapakah yang patut disalahkan terhadap kasus ini? Rektor, Dekan, Bagian Administrasi, Kopertis, Mendiknas, Presiden? Atau cukup si pembeli dan penjual ijazah instan saja yang disalahkan?

Hemat penulis, sebenarnya ada dua faktor besar yang telah mengakar di masyarakat, sehingga ijazah instan masih memiliki daya tarik yang tinggi bagi mereka. Pertama, sampai saat ini banyak sistem perekrutan kerja, baik instansi pemerintah, swasta, perusahaan, lembaga pendidikan, calon legislatif dan pejabat pemerintahan, dan lainnya yang menyaratkan memiliki ijazah S1. Padahal masyarakat Indonesia masih banyak yang belum menempuh pendidikan sampai jenjang perguruan tinggi. Akibatnya, mereka terdorong untuk mencari jalan pintas agar dapat memenuhi sebagai salah satu pelamar kerja tersebut.

Lain halnya, jika sistem perekrutan bukan lagi menganggap ijazah S1 adalah sebagai satu-satunya bukti kemampuan pelamar. Semisal kasus, suatu lembaga pendidikan komputer membutuhkan 1 tenaga pengajar dengan syarat memiliki ijazah S1 Ilmu Komputer dan melampirkan curriculum vitae. Lantas ada 3 pelamar memasukkan berkasnya. Yang satu benar-benar-benar lulusan S1 Ilmu Komputer dengan IPK pas-pasan, pelamar kedua hanya lulusan SMA tapi ia melampirkan berbagai sertifikat/penghargaan telah berpengalaman mengajar komputer di berbagai tempat kursus/sekolah. Sedangkan pelamar yang ketiga, ia bukan lulusan S1, tapi ia punya sertifikat kursus komputer, karena ingin sekali dapat memenuhi lowongan tersebut, akhirnya ia “membeli” ijazah instan di sebuah PT.

Belajar dari kasus di atas, kira-kira pelamar mana yang akan diterima sebagai tenaga pengajar? Jika lembaga tersebut mengacu pada aturan formal yang telah ditetapkan, maka pelamar yang punya peluang adalah pelamar 1 dan 3, padahal jika ditilik dari kronologi cerita di atas, 2 pelamar tersebut berkemampuan yang cukup rendah dibanding pelamar yang kedua. Berbeda dengan sistem perekrutan yang juga mensinergikan tes/wawancara di samping ijazah formal, maka penulis yakin lembaga di atas akan memilih pelamar kedua untuk diterima sebagai tenaga pengajar. Meskipun ia tidak memiliki ijazah formal S1, tetapi ia justru dapat membuktikan bahwa dirinya punya kemampuan setara dengan S1. Mungkinkah ini terjadi pada intansi kesehatan (rumah sakit)? Mungkinkah ada dokter instan? Lalu, bagaimana pasiennya? Semoga tidak ada!

Dari sini, tentu dapat dipetik sebuah pelajaran bahwa selama kita masih menganggap ijazah adalah segalanya, maka ke depan ijazah instan akan terus laku diburu orang. Sebaliknya, untuk mencegah larisnya praktik jual beli ijazah instan, maka sudah waktunya kita mengembangkan perekrutan kerja berbasis tes dan wawancara obyektif dan membangun mental entrepreneur di kalangan masyarakat kita. Sehingga masyarakat tidak lagi sibuk melamar kerja tetapi justru menciptakan lapangan pekerjaan.

Faktor kedua, secara tidak sadar pemerintah sebenarnya ikut mendukung adanya praktik ijazah instan. Buktinya, pemerintah masih “senang” untuk menyelenggarakan Ujian Nasional (UN) untuk menentukan lulus-tidaknya siswa. Hal ini sama saja dengan mendidik siswa bagaimana caranya agar dapat lulus –memperoleh selembar ijazah- sehingga dapat digunakan sebagai melamar pekerjaan atau melanjutkan ke perguruan tinggi. Penyelenggaraan UN berarti pemerintah lebih mementingkan hasil akhirnya daripada mengakui selama proses belajar-mengajar berlangsung. Dengan sistem UN yang demikian, maka mental yang terbentuk pada diri siswa bukan lagi bagaimana caranya untuk belajar agar kelak dapat hidup yang layak, melainkan siswa akan termotivasi belajar agar dapat menjawab soal-soal UN dan menmeperoleh selembar ijazah. Sungguh mental yang tidak dapat dipertanggungjawabkan!

Kasus ijazah palsu merupakan suatu bukti kesalahan sistem pendidikan di Indonesia. Negeri ini meski sudah merdeka 63 tahun, nyatanya sistem pendidikan yang diselenggarakan masih amburadul. Mental yang dibangun pada diri anak didik bukanlah mental pebelajar, tetapi mental pencari ijazah. Oleh karenanya, satu-satunya cara untuk meminimalisir praktik jual beli ijazah adalah dengan mengubah paradigma belajar dan membangun mental pebelajar demi meraih kesuksesan hidup, mental entrepreneur yang harus kembangkan bukan mental pelamar kerja. Sekali lagi, ijazah hanyalah bukti formalitas yang kurang menguntungkan. Yang lebih penting, seberapa besar kemampuan yang kita miliki saat ini, bukan kemampuan waktu kuliah dulu. Percayalah pada kemampuan Anda!