HARAPAN BARU PADA KURIKULUM 2013

oleh Abdul Halim Fathani

KEMENTERIAN Pendidikan dan Kebudayaan tengah menggodok kurikulum 2013 yang akan diberlakukan secara bertahap mulai tahun pelajaran 2013-2014. Ada yang mendukung dan menolak. Rasanya, terlalu dini menilai kurikulum 2013 benar-benar dapat meningkatkan kualitas pendidikan di Indonesia.

Demi mematangkan kurikulum tersebut, pemerintah melakukan sosialisasi dan uji publik pada 29 November–23 Desember 2012 dalam tiga model, yaitu dialog tatap muka di tingkat nasional dan provinsi, dialog virtual melalui laman Kemdikbud, dan dilakukan secara tertulis (bahan dikirim ke perguruan tinggi dan lembaga kemasyarakatan pemerhati pendidikan). Dengan demikian, diharapkan pelaku, pemerhati, stakeholder pendidikan, dan masyarakat pada umumnya dapat memberi masukan. Yang jelas, masyarakat sangat ingin perubahan kurikulum ini membawa kemajuan besar pendidikan. Perubahan tidak boleh hanya untuk memenuhi kepentingan sesaat sekelompok. Kurikulum 2013 diharapkan mampu menghasilkan generasi baru yang berkarakter berlandaskan iman, ilmu, dan etika.

Kurikulum berfungsi seperti rel kereta atau peta bagi mereka yang hendak menjelajahi suatu wilayah. Kurikulum bukan hanya pendataan yang akan memberi arah untuk memudahkan mencapai tujuan. Dia harus mampu memberi alternatif solusi atas permasalahan yang selama ini tejadi di dunia pendidikan. Kurikulum harus selalu bisa dievaluasi agar ada perbaikan dan pengembangan kurikulum disesuaikan dengan kemajuan zaman dan perkembangan keilmuan.

Kurikulum 2013 disusun menggunakan basis sains dan lebih menekankan aspek pengetahuan, keterampilan, dan sikap secara seimbang. Materi ajar dikembangkan dari kompetensi lulusan yang akan dihasilkan. Sistem belajarnya juga dengan cara mengembangkan pola pikir kritis anak yang holistik dan menyenangkan dengan metode observasi dan membiasakan siswa untuk bertanya.

Kemungkinan akan ada perampingan jumlah mata pelajaran dan penambahan jumlah jam belajar. Contoh, pelajaran SD dirampingkan dari 10 menjadi 6 (Agama, PPKN, Bahasa Indonesia, Matematika, Seni Budaya dan Berkarya, dan Penjaskes) serta dari 26 jam menjadi 30 jam per minggu. Kurikulum tingkat SD bersifat tematik integratif. Mata pelajaran IPA dan IPS sebagai materi pembahasan pada semua pelajaran, dengan kata lain mata pelajaran IPA dan IPS diintegrasikan ke dalam semua mata pelajaran.

Keadilan
Perlu dicermati hak mendapat pendidikan yang layak mulai dari sistem penerimaan siswa, proses pembelajaran, hingga evaluasi. Saat ini, sekolah yang dianggap unggul cenderung hanya menerima siswa dengan kecerdasan lebih. Sementara sekolah yang dianggap kurang berkualitas harus rela menerima sisa calon siswa yang tidak diterima di sekolah unggul. Anak pintar belajar di sekolah unggul, siswa kurang pandai di sekolah tidak berkualitas.

Seleksi ketat penerimaan murid telah melahirkan diskriminasi tingkat kemampuan awal calon siswa. Seharusnya ini tidak perlu terjadi. Sekolah harus siap menerima semua siswa berdasarkan kuota dengan kondisi kemampuan apa pun. Siswa berhak memilih sekolah. Sekolah wajib menerima siswa yang telah memilihnya sesuai dengan kuota.

Siswa memiliki tingkat kecerdasan berbeda-beda yang akan berdampak pada pilihan strategi, teknik, dan model pembelajaran guru. Proses pembelajaran harus menekankan pada aspek kognitif, afektif, dan psikomotorik. Guru harus diberikan ruang kemerdekaan untuk menyelenggarakan proses pembelajaran yang terbaik sesuai dengan kondisi kelas. Bisa jadi, pengelompokan kelas didasarkan atas kesamaan dalam kecenderungan gaya belajar agar guru dapat menyesuaikan dengan gaya belajar siswa.

Sistem evaluasi harus mempertimbangkan proses, bukan hanya hasil akhir. Evaluasi seyogianya memadukan penilaian berbasis tes dan portofolio. Pelaksanaan ujian nasional sebagai standar kelulusan selama ini ternyata telah menurunkan derajat pendidikan karena menyempitkan kurikulum dan terus melanggengkan praktik pembelajaran berbasis soal ujian. Ini membuat siswa cenderung suka menghafal jawaban, bukan memahami masalah lantas mencari solusinya.

Dalam pelaksanaan evaluasi, menurut Munif Chatib (2009:163), dalam bukunya, Sekolahnya Manusia, perlu juga dipertimbangkan penilaian autentik yang menganut konsep ipsative, yaitu kemajuan hasil belajar siswa diukur dari perkembangan siswa itu sendiri sebelum dan sesudah mendapat materi pembelajaran. Perkembangan siswa yang satu tidak boleh dibandingkan dengan siswa yang lain. Oleh karena itu, penilaian autentik tidak mengenal peringkat karena dengan peringkat hanya eksistensi siswa tertentu yang dihargai, sedang lainnya tidak.

Singkatnya, kehadiran kurikulum baru diharapkan membawa secercah harapan pada pelaku pendidikan, guru, dan siswa. Kurikulum 2013 harus lebih menghargai guru dan siswa. Guru harus diberi ruang gerak untuk mengembangkan keilmuan dan kreativitasnya dalam mengelola pembelajaran.

Demikian pula para siswa juga harus diberi ruang untuk mengembangkan segala potensi. Jika ruang kemerdekaan diberikan kepada tiap siswa, potensi mereka dapat dikembangkan supaya setiap murid menjadi juara, seperti ungkapan Howard Gardner, setiap anak itu juara! [ahf]

Tulisan ini telah dimuat di Koran Jakarta, Rabu/5 Desember 2012.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *