TRANSFORMASI PESANTREN

Oleh Abdul Halim Fathani

Fathani.Com. – Pesantren merupakan lembaga pendidikan Islam yang keberadaannya tidak dilembagakan (baca: dilegalkan) secara formal yang memerlukan semacam akta pendirian yang mendapatkan pengesahan dari pemerintah. Selain itu, pesantren merupakan lembaga independen masyarakat yang keberadaannya tidak tergantung dengan legalitas resmi dari pemerintah.

Biasanya, pesantren lahir dari masyarakat, dikelola oleh masyarakat, dan akhirnya dapat memberi manfaat untuk masyarakat terutama masyarakat yang berdomisili di sekitar pesantren. Pendek kata, walaupun pesantren bukan lembaga pendidikan formal, namun sampai saat ini tetap saja diminati dan memiliki daya tarik bagi masyarakat khususnya masyarakat yang masih memimpikan pendidikan yang memiliki kekuatan moral dan spiritual.

Pesantren telah lama menjadi lembaga yang memiliki kontribusi penting dalam mencerdaskan generasi bangsa. Banyaknya jumlah pesantren di Indonesia, serta besarnya jumlah Santri di setiap pesantren menjadikan lembaga ini layak diperhitungkan dalam kaitannya dengan pembangunan bangsa terutama bidang pendidikan agama dan moral. Pesantren merupakan lembaga pendidikan yang unik. Tidak saja karena keberadaannya yang sudah sangat lama, tetapi juga karena kultur, metode, dan jaringan yang diterapkan oleh pesantren. Pesantren sebagai institusi pendidikan memiliki basis sosial yang jelas, karena keberadaannya menyatu dengan masyarakat.

Pada hakikatnya, pesantren hidup dari, oleh, dan untuk masyarakat. Visi ini menuntut adanya peran dan fungsi pondok pesantren yang sejalan dengan situasi dan kondisi masyarakat, bangsa, dan negara yang terus berkembang. Sementara itu, sebagai suatu komunitas, pesantren dapat berperan menjadi penggerak bagi upaya peningkatan kemajuan dan kesejahteraan masyarakat mengingat pesantren merupakan kekuatan sosial yang jumlahnya cukup besar.

Secara umum, akumulasi tata nilai dan kehidupan spiritual Islam di pesantren pada dasarnya adalah lembaga tafaqquh fid din yang mengemban untuk meneruskan risalah Nabi Muhammad saw sekaligus melestarikan kemurnian ajaran Islam.

Sebagai lembaga, pesantren dimaksudkan untuk mempertahankan nilai-nilai keislaman dengan titik berat pada pendidikan. Pesantren juga berusaha untuk mendidik para santri yang belajar pada pesantren tersebut yang diharapkan dapat menjadi orang-orang yang mendalam pengetahuan keislamannya dan dapat mengajarkannya kepada masyarakat, di mana para santri kembali setelah selesai menamatkan pelajarannya di pesantren.

Kiprah pesantren dalam berbagai hal telah sering dirasakan oleh masyarakat. Salah satu yang menjadi contoh utama adalah, selain pembentukan dan terbentuknya kader-kader ulama dan pengembangan keilmuan Islam, juga merupakan gerakan-gerakan protes terhadap pemerintah kolonial Hindia Belanda.

Di mana gerakan protes tersebut selalu dimotori dari dan oleh para penghuni pesantren. Setidaknya dapat disebutkanya misalnya; pemberontakan petani di Cilegon-Banten 1888, (Sartono Kartodirjo; 1984) Jihad Aceh 1873, gerakan yang dimotori oleh H. Ahmad Ripangi Kalisalak 1786-1875) dan yang lainnya merupakan fakta yang tidak dapat dibantah bahwa pesantren mempunyai peran yang cukup besar dalam perjalanan sejarah Islam di Indonesia. (Steenbrink; 1984).

Dalam hal ini, menurut Tholkhah, pesantren seharusnya mampu menghidupkan fungsi-fungsi sebagai berikut, 1) pesantren sebagai lembaga pendidikan yang melakukan transfer ilmu-ilmu agama (tafaqquh fi al-din) dan nilai-nilai Islam (Islamic values); 2) pesantren sebagai lembaga keagamaan yang melakukan kontrol sosial; dan 3) pesantren sebagai lembaga keagamaan yang melakukan rekayasa sosial (social engineering) atau perkembangan masyarakat (community development).

Semua itu, menurutnya hanya bisa dilakukan jika pesantren mampu melakukan proses perawatan tradisi-tradisi yang baik dan sekaligus mengadaptasi perkembangan keilmuan baru yang lebih baik, sehingga mampu memainkan peran sebagai agent of change.

Pesantren dan Semangat Perubahan
Ketika menginjak abad ke-20, yang sering disebut zaman modernisme dan nasionalisme, peran pesantren mulai mengalami pergeseran secara signifikan. Sebagian pengamat mengatakan bahwa semakin mundurnya peran pesantren di masyarakat disebabkan adanya dan begitu besarnya faktor politik Hindia Belanda (Aqib Suminto; 1985).

Sehingga, fungsi dan peran pesantren menjadi bergeser dari sebelumnya. Tetapi, penjelasan di atas kiranya cukup untuk menyatakan bahwa pra abad ke-20 atau sebelum datangnya modernisme dan nasionalisme, pesantren merupakan lembaga pendidikan yang tak tergantikan oleh lembaga pendidikan manapun.

Dan, hal itu sampai sekarang masih tetap dipertahankan. Yang menarik di sini adalah bahwa pendidikan pesantren di Indonesia pada saat itu sama sekali belum terstandardisasi secara kurikulum dan tidak terorganisir sebagai satu jaringan pesantren Indonesia yang sistemik. Ini berarti bahwa setiap pesantren mempunyai kemandirian sendiri untuk menerapkan kurikulum dan mata pelajaran yang sesuai dengan aliran agama Islam yang mereka ikuti.

Sehingga, ada pesantren yang menerapkan kurikulum Depdiknas dengan menerapkan juga kurikulum agama. Kemudian, ada pesantren yang hanya ingin memfokuskan pada kurikulum ilmu agama Islam saja. Yang berarti bahwa tingkat keanekaragaman model pesantren di Indonesia tidak terbatasi. Pasca Indonesia merdeka, terutama sejak transisi ke Orde Baru dan ketika pertumbuhan ekonomi betul-betul naik tajam, pendidikan pesantren menjadi semakin terstruktur dan kurikulum pesantren menjadi lebih tetap.

Misalnya, selain kurikulum agama, sekarang ini kebanyakan pesantren juga menawarkan mata pelajaran umum. Bahkan, banyak pesantren sekarang melaksanakan kurikulum Depdiknas dengan menggunakan sebuah rasio yang ditetapkannya, yaitu 70 persen mata pelajaran umum dan 30 persen mata pelajaran agama.

Seiring dengan keinginan dan didorong niat yang luhur dalam membina dan mengembangkan masyarakat, dengan kemandiriannya, pesantren secara terus-menerus melakukan upaya pengembangan dan penguatan diri. Walaupun terlihat berjalan secara lamban, kemandirian yang didukung keyakinan yang kuat, ternyata pesantren mampu mengembangkan kelembagaan dan eksistensi dirinya secara berkelanjutan.

Mengutip Said Agil Siraj (2007), ada tiga hal yang belum dikuatkan dalam pesantren. 1) tamaddun yaitu memajukan pesantren. Banyak pesantren yang dikelola secara sederhana. Manajemen dan administrasinya masih bersifat kekeluargaan dan semuanya ditangani oleh kiainya. Dalam hal ini, pesantren perlu berbenah diri; 2) Tsaqafah, yaitu bagaimana memberikan pencerahan kepada umat Islam agar kreatif-produktif, dengan tidak melupakan orisinalitas ajaran Islam. Salah satu contoh para santri masih setia dengan tradisi kepesantrenannya. Tetapi, mereka juga harus akrab dengan komputer dan berbagai ilmu pengetahuan serta sains modern lainnya; dan 3) hadharah, yaitu membangun budaya.

Dalam hal ini, bagaimana budaya kita dapat diwarnai oleh jiwa dan tradisi Islam. Pesantren diharap mampu mengembangkan dan mempengaruhi tradisi yang bersemangat Islam di tengah hembusan dan pengaruh dahsyat globalisasi yang berupaya menyeragamkan budaya melalui produk-produk teknologi. Namun demikian, pesantren akan tetap eksis sebagai lembaga pendidikan Islam yang mempunyai visi mencetak manusia-manusia unggul.

Prinsip pesantren yang harus tetap dipegang adalah al muhafadzah ‘ala al-qadim al-shalih, wa al-akhdzu bi al-jadid al-ashlah, yaitu tetap memegang tradisi yang positif, dan mengimbangi dengan mengambil hal-hal baru yang positif.

Persoalan-persoalan yang berpautan dengan civic values akan bisa dibenahi melalui prinsip-prinsip yang dipegang pesantren selama ini dan tentunya dengan perombakan yang efektif, berdaya guna, serta mampu memberikan kesejajaran sebagai umat manusia (al-musawah bain al-nas).[ahf]