Bulan Ramadhan, The Real ESQ Training

Oleh A Halim Fathani Yahya

Marhaban Ya Ramadhan, Marhaban Ya Ramadhan, selamat datang Ramadhan, Selamat datang Ramadhan. Ucapan tersebut banyak kita jumpai di masjid-masjid, musholla, koran-koran, stasiun televisi dan radio, spanduk, pamflet, pesan sms, dan berbagai mailing list di internet. Aneka model ucapan selamat menyambut datangnya Ramadhan tampil dengan berbagai ekpresi yang variatif menghiasi kehidupan manusia. Setiap media-baik media elektronik maupun non-elektronik- telah siap menyambut bulan yang penuh berkah dengan dengan seabrek agendanya masing-masing. Ada rasa gembira, ke-khusyu’-an, harapan, semangat dan nuansa spiritualitas lainnya yang sarat makna untuk diekpresikan.

Tetapi, yang lebih penting dalam menyambut bulan Ramadhan adalah bukan hanya pintar menyambutnya lantas membiarkan kehadirannya begitu saja, melainkan bagaimana kita merancang langkah strategis dalam mengisinya agar mampu memproduksi nilai-nilai positif dan hikmah yang dikandungnya. Jadi, bukan hanya melulu mikir menu untuk berbuka puasa dan sahur saja. Namun, kita sangat perlu menyusun menu rohani dan ibadah kita. Kalau direnungkan, menu buka dan sahur bahkan sering lebih istemawa (baca: mewah dan mahal) dibanding dengan makanan keseharian kita. Tentunya, kita harus menyusun menu ibadah di bulan suci ini dengan kualitas yang lebih baik dan daripada hari-hari biasa. Dengan begitu kita benar-benar dapat merayakan kegemilangan bulan kemenangan ini secara cerdas.

Kewajiban berpuasa bagi orang-orang yang beriman ini disandarkan pada surat al-Baqarah ayat 183. Dari ayat ini ditegaskan bahwa iman merupakan modal dasar dan bekal primer kaum muslimin untuk menunaikan ibadah puasa selama sebulan penuh. Mengingat puasa hanya karena Allah, maka kesadaran keimanan harus selalu dihadirkan dalam hati untuk menunaikan ibadah ini. Sebab tanpa kesadaran keimanan, puasa yang dilaksanakan tak memiliki nilai apa-apa, kecuali haus dan lapar.

Puasa di bulan suci Ramadan merupakan momentum istimewa untuk mengembangkan kesadaran hati sebagai kesadaran tertinggi. Caranya adalah menjadikan puasa sebagai instrumen reformasi-spiritual atau pendakian spiritual. Secara epistemologis keagamaan, pendakian spiritual dalam prosesi ibadah puasa ini dapat dicapai melalui tiga tahapan. Al-Ghazali menjelaskan tiga tahapan ibadah puasa sebagai proses pendakian spiritual sebagai berikut: 1) puasa orang awam, yang sekadar menahan rasa haus, lapar dan hubungan seksual; 2) puasa orang khusus, yang bukan sekadar menahan rasa haus, lapar dan hubungan seksual, tetapi juga mampu menahan inderanya dari perbuatan dosa; dan 3), puasa orang super khusus khawas al-khawas, selain sanggup menahan keempat hal di atas, ditambah dengan puasa hati nurani.

Bulan Ramadan sebagai “bulan ibadah, penuh rahmat, dan barokah” sangat menciptakan atmosfer religi spiritual. Di dalamnya terdapat beragam “modul, sesi, dan metode” training seperti menahan untuk tidak makan dan minum, serta menahan marah. Dalam konteks ini, orang tersebut tidak boleh berdusta, tidak boleh ghibah, dan gosip, melakukan sahur, ta’jil, tadarus, salat Tarawih, salat fardhu dan zikir, ceramah dan pengkajian agama, momentum Nuzulul Quran, i’tikaf, lailatul qadar, zakat infak sedekah-minimal zakat fitrah-,takbir, shalat ied, silaturahmi, dll.

Selain memperbaiki kualitas aspek spiritual, aspek lain yang juga harus disentuh adalah aspek kecerdasan emosional atau kecerdasan sosial. Yaitu kemampuan untuk memahami orang lain, terutama kaum dhu’afa dan bertindak bijaksana dalam hubungan antar manusia. Ini sekaligus juga merupakan sisi lain kecerdasan intelektual seseorang. Kecerdasan sosial bagai sekeping uang logam, di satu sisi ada kecerdasan emosional dan di sisi lain ada kecerdasan intelektual. Puasa merupakan bagian ibadah yang membangun keseimbangan emosional seseorang, yang pada gilirannya membawa kepada ketenangan hidup.

Kemampuan memahami orang lain bertindak bijaksana dalam hubungan antar manusia adalah hal penting yang harus dimiliki setiap orang. Terutama dimiliki oleh setiap orang yang berada pada aras kepemimpinan. Sehingga di dalam berpuasa pun hikmah-nya seyogyanya wujud dalam kehidupan sehari-hari, seperti sabda Rasulullah saw: “Puasa itu bukanlah semata-mata menahan diri dari makan dan minum, akan tetapi juga menghindari perbuatan sia-sia dan kotoo. Maka jika sesorang memarahi atau menjahilimu,katakanlah bahwa aku sedang berpuasa.”(HR. Ibnu Khuzaima-Ibnu Hibban).

Jawaban tersebut menunjukkan keseimbangan emosional tanpa gejolak perasaan. Kekacauan emosional muncul dalam bentuk kegelisahan, kerisauan, kecemasan dan gejolak perasaan, yang disebabkan oleh keadaan emosi yang tak terkendalikan, tidak terseimbangkan. Sumber semua kerancuan perasaan itu adalah hawa nafsu, yaitu suatu keinginan, kehendak dan dorongan hati yang kuat untuk melakukan sesuatu. Hawa nafsu lebih merupakan bagian wilayah emosional. Puasa, karena itu dapat pula di pandang sebagai suatu upaya penyucian emosional, melalui pegendalian hawa nafsu.

Tentunya menjadi tantangan bagi para ulama dan cendekiawan Muslim, untuk berkreasi memperkaya dan merekayasa metode dan teknik pemakmuran Ramadan yang lebih efektif serta berkualitas. Dengan begitu, setiap agenda kegiatan-baik yang wajib maupun sunnah- dalam peribadahan Ramadan yang lengkap dan kental spiritual tersebut, dihayati secara mendalam maknanya dan dilaksanakan dengan penuh kesadaran serta kesungguhan sehingga mampu meningkatkan kecerdasan spiritual, emosional, dan intelektual sebagai bagian dari derajat takwa.

Dalam konteks inilah, pelbagai macam kecerdasan, baik spiritual, emosional maupun intelektual perlu di bina secara benar. Dengan kata lain, penulis menyebutnya dengan Manajemen kecerdasan Ramadhan yang menunjukkan keunggulan dan kesempurnaannya. Kesinambungan “Kecerdasan Ramadan” sangat terjamin yakni satu tahun sekali selama satu bulan. Sebuah frekuensi yang pasti dan ketat dengan durasi yang cukup yakni 30 hari. Kesadaran diri calon peserta training juga sangat bagus, karena dilandai motivasi iman.

Seluruh fasilitas dan keunggulan konsep kecerdasan Ramadan inilah yang perlu di-upgrade, direnovasi, direvitalisasi, direkayasa, diperkaya, di-update dengan penuh kesungguhan dan tanggung jawab. Dengan begitu, diharapkan visi, misi, strategi, dan seluruh fasilitas peribadahan Ramadan akan menjadi “The real ESQ training” yang menyenangkan, sehingga diminati dan dinikmati oleh seluruh peserta sampai akhir Ramadan.

Hal itu tidak seperti yang berjalan selama ini, yang hanya meriah sampai 10 hari pertama. Ia juga akan menjadi “The real ESQ training” yang efektif mengasah ESQ dengan menginternalisasikan dan membiasakan nilai-nilai ketakwaan sehingga terbentuk karakter manusia takwa. Bila kondisi ini yang tercipta, maka tidak akan terjadi lagi keadaan, di mana 1 Syawal masjid kembali kosong, nilai zakat infak dan sedekah kembali turun drastis, nilai ukhuwah dan kepedulian kepada sesama kembali kepada posisi margin, sementara pengendalian diri, emosi, ambisi dan nafsu kembali merajalela.

Dengan demikian, jika kecerdasan intelektual (IQ) bersandarkan nalar, rasio-intelektual, sementara kecerdasan emosional (EQ) bersandar pada emosi, maka hakikat kecerdasan spiritual (SQ) disandarkan pada kecerdasan jiwa, ruhani dan spiritual. SQ adalah kecerdasan generasi ketiga yang diyakini mampu melahirkan kembali manusia setelah sekian lama mengalami alienasi dan disorientasi hidup.

Semoga dengan mempersiapkan diri kita secara baik dan merencanakan aktifitas dan ibadah-ibadah dengan ihlas, serta berniat “liwajhillah wa limardlatillah“, karena Allah dan karena mencari ridha Allah, kita mendapatkan kedua kebahagiaan tersebut, yaitu “sa’adatud-daarain” kebahagiaan dunia dan akhirat. Semoga kita bisa mengisi Ramadhan tidak hanya dengan kuantitas harinya, namun lebih dari pada itu kita juga memperhatikan kualitas puasa kita. [ahf]