Alih Fungsi Ijazah Pendidikan, Kemajuan atau Kemunduran?

Oleh A Halim Fathani Yahya

Membaca berita Harian Jawa Pos, tanggal 1 Agustus 2009, halaman 20 sungguh menarik bagi penulis. Diberitakan bahwa: “Kendala permodalan selalu menjadi alasan utama minimnya pengusaha-pengusaha muda lulusan perguruan tinggi di Indonesia. Untuk itu, Wakil Presiden Jusuf Kalla mengusulkan agar ijazah bisa dijadikan agunan untuk memperoleh kredit usaha dari perbankan. Lebih lanjut mengatakan, meski sepintas terlihat tidak memiliki nilai ekonomi, ijazah bagi alumni perguruan tinggi adalah barang yang sangat berharga. Bila berani mengemplang kredit, mereka terancam tidak bisa melamar pekerjaan lain karena tidak bisa menunjukkan ijazah.

Pendapat senada terkait hal ini dilontarkan oleh Afif Hasballah, S.H., M.Ag (Rektor Universitas Islam Darul Ulum Lamongan) melalui komentar di facebooknya (1 Agustus 2009, jam 07.26). Beliau mengatakan bahwa “amat mendukung saran pak JK supaya ijazah kesarjanaan bisa agunan kredit. Tinggal sekarang bagaimana departemen terkait plus lembaga permodalan menangkap ide tersebut… Sy kira kalau dilaksanakan akan sangat membantu para sarjana yang ingin berwirausaha….

Berbicara mengenai ijazah palsu sebagai agunan kredit ini, penulis teringat ketika menjadi mahasiswa. Dulu, sewaktu masih aktif studi di UIN Maulana Malik Ibrahim Malang –kalau tidak salah- semester lima atau enam, selain kuliah, penulis juga nyambi jualan buku. Waktu itu, penulis menjualkan buku dari salah satu penerbit ternama di Yogyakarta yang memiliki perwakilan wilayah timur di Kota Malang. Merupakan pengalaman baru yang pertama kali penulis jalani, penulis menjualkan buku-buku dari penerbit tersebut dengan sistem konsinyasi (yakni diskon sekitar 30%-35%. Tapi, sebagai jaminannya, waktu itu petugasnya meminta saya untuk menyerahkan ijazah asli MAN Lamongan saya sebagai jaminan. Karena, baru pertama kali akhirnya saya menyerahkan dan alhamdulillah, jualan buku saya lumayan laris, banyak yang membeli. Sehingga kurang lebih satu bulan kemudian saya laporkan hasil penjualannya dan ijazah saya pun kembali utuh. Tetapi, ketika transaksi berikutnya, ijazah saya sudah “tidak berlaku” lagi, karena –mungkin- berkat kepercayaan yang diberikan kepada saya, akhirnya setiap kali saya mengambil buku, prosesnya lancar-lancar saja, tanpa jaminan apapun.

Melihat fakta ini, lebih-lebih juga terjadi pada pengalaman pribadi, memang usul Wakil Presiden Jusuf Kalla yang diberitakan Jawa Pos tersebut bisa saja terjadi, dan masuk akal. Namun pertanyaan kritis yang perlu diajukan adalah “Jikalau Ijazah dapat dijadikan sebagai barang jaminan untuk memperoleh kredit, maka apakah hal yang demikian itu merupakan suatu kemajuan di bidang ekonomi ataukah kemunduran(baca: kegagalan) dunia pendidikan?”

Quo Vadis “Pesan” Ijazah
Apabila kita melihat “pesan” dalam ijazah, maka sesungguhnya ijazah itu menunjukkan kemampuan atau keintelektualan sesorang. Misalnya; si A memperoleh ijazah dari Universitas Brawijaya yang menerangkan bahwa “yang bersangkutan berhak menyandang gelar kesarjanaan di bidang teknik industri (gelar S.T.)”. Maka, si A adalah seseorang yang memiliki kemampuan di bidang teknik industri. Begitu juga si B memperoleh ijazah dari UIN Maliki Malang yang menerangkan bahwa “yang bersangkutan berhak menyandang gelar kesarjanaan di bidang pendidikan Islam (gelar S.Pd.I)” Maka, si B adalah seseorang yang ahli dan mumpuni di bidang pendidikan Islam. Begitu seterusnya…

Nah, jika kita melihat “pesan” ijazah tersebut, maka ijazah memang merupakan “kertas” yang berharga, meski tidak bernilai ekonomi. Tetapi, jika kita melihat “fungsi sakral”nya, maka ijazah akan bermanfaat jika digunakan untuk mencari pekerjaan yang “ekuivalen” dengan “pesan” yang termaktub dalam ijazah tersebut. Dari sini, sepintas tidak mungkin ijazah dapat dipakai sebagai jaminan, melainkan ijazah harus berfungsi sebagai bukti keahlian seseorang.

Terkait usul wapres di atas, maka ijazah bisa bermakna lain, yakni sebagai barang jaminan. Jika hal ini diterapkan, maka sudah terjadi pengalih-fungsian dari kemanfaatan ijazah itu. Lalu, dikemanakan “surat” yang menunjukkan keahlian seseorang itu? Apakah si pemilik ijazah sudah tidak jadi orang ahli lagi? Ataukah si pemilik tidak dapat menggunakan ijazah sesuai fungsi dasarnya? Terlepas dari itu semua, yang jelas realita masyarakat saat ini, jamak kita saksikan bahwa kemampuan seseorang kadang tidak sesuai dengan yang tertulis dalam ijazah. Hal ini, entah pendidikan yang gagal atau justru individu seseorang yang gagal?

Kalau memang ijazah telah beralih fungsi seperti di atas, maka apa gunanya proses pendidikan yang digeluti selama empat tahun dijalani? Ini artinya, proses studi yang telah dijalani akan terbuang dengan sia-sia, baik waktu, pikiran, tenaga, maupun uang. Jelas tidak masuk akal, jika cara mendapatkan ijazah harus melalui proses studi yang panjang, namun setelah lulus ijazah difungsikan dengan hal-hal yang tidak semestinya. Dengan demikian, maka yang perlu dikoreksi adalah bagaimana sistem agunan kredit itu harus direnovasi? Bukan lalu “mengorbankan” nasib ijazah yang justru tidak jelas masa depannya?

Betul Bukan Benar
Penulis teringat ketika masih belajar di MAN Lamongan, tepatnya ketika belajar Matematika yang diajar oleh yang terhormat Bapak Syamsuri, M.Pd. Di sela-sela pelajaran pada pokok bahasan Logika Matematika, beliau melontarkan pertanyaan “Apa perbedaan antara BENAR dan BETUL? Kontan, teman-teman dan termasuk saya sendiri tidak dapat menjawab pertanyaan Pak Syamsuri tersebut.

Selanjutnya Pak Syamsuri menjelaskan dengan mengawali ilustrasi berikut ini:

“Ada satu buah gelas dan cangkir beserta tutupnya masing-masing. Kasus I: masing-masing tutup diletakkan sebagaimana fungsinya, tutup gelas diletakkan pada gelas, begitu juga tutup cangkir dipasangkan pada cangkir. Sedangkan untuk Kasus II: tutup gelaskan diletakkan pada cangkir, sedangkan tutup dari cangkir diletakkan pada gelas.” Dari kedua kasus tersebut, kasus I merupakan penjelasan dari apa yang dimaksud dengan BENAR, sedangkan kasus II merupakan penjelasan dari apa yang dimaksud dengan BETUL. Kasus I, dinamakan BENAR karena memang tutup masing-masing gelas dan cangkir diletakkan sesuai dengan fungsi yang sesungguhnya. Tetapi, pada kasus II, masing-masing tututp tidak diletakkan sebagaimana mestinya. Meskipun masing-masing tutup tersebut dapat digunakan, tetapi sebenarnya hal itu “dipaksakan” sehingga kelihatan dapat menutupi tetapi sebenarnya kurang pas.

Bercermin pada kedua kasus pada ilustrasi di atas, maka hemat penulis terkait dengan dijadikannya ijazah sebagai agunan kredit merupakan mempergunakan sesuatu yang tidak sesuai dengan fungsi aslinya. Sehingga hal ini tidak benar, tetapi hanyalah sesuatu yang betul (baca: kebetulan). Mungkin untuk era saat ini masih dimungkinkan, tetapi untuk beberapa puluh tahun ke depan mungkin sudah tidak dapat lagi menjadikan ijazah sebagai barang jaminan.

Oleh karenanya, hemat penulis marilah kita mempergunakan sesuatu itu sesuai dengan fungsinya, yang dalam bahasa agamanya, hal yang demikian itu disebut dengan bersikap adil. Begitu juga ijazah, sudah selayaknya “hanya” digunakan sebagai pengakuan atas keahlian seseorang, bukan lainnya. Jikalau ijazah tetap berfungsi sebagai “alat” pengakuan keahlian seseorang maka hal ini akan dapat meningkatkan citra pendidikan, sebaliknya jika ijazah berfungsi lain, maka ini merupakan tanda kemunduran bahkan kegagalan pendidikan kita. [ahf]