PARADIGMA EVALUASI

Oleh Abdul Halim Fathani

Fathani.com – Ketika menjelang ujian semester, warga di sekolah terlihat sibuk, baik guru maupun siswanya. Bagi siswa yang sebelumnya jarang –bahkan tidak pernah- belajar, terlihat “kaget” ketika harus menempuh ujian semester, karena ia harus menyediakan waktu khusus untuk belajar kilat, agar semua materi yang menjadi bahan ujian dapat “dikuasai” secara cepat yang ujung-ujungnya dapat menjawab soal-soal ujian, kemudian mendapat nilai bagus, lebih-lebih dapat menduduki peringkat satu.

Begitu juga bagi seorang guru. Ia dibuat sibuk dengan datangnya ujian semester. Guru, yang sebelumnya tidak rajin –bahkan tidak pernah- mempersiapkan soal yang akan dijadikan ujian, ternyata juga kelimpungan mencari soal-soal yang akan diujikan. Akhirnya, tidak jarang jamak kita saksikan guru yang bertanya terhadap guru lainnya, apakah sudah membuat soal ujian? Kalau sudah, dengan gampangnya ia copy-paste kemudian mengubah sedikit angka-angkanya saja.

Bahkan, ada yang lebih parah lagi. Bagi guru yang biasa mbolos alias sering tidak masuk mengajar, ia harus segera menuntaskan materi yang sudah dipatok dalam kurikulum dalam rangka “mengejar” laporan ke kepala sekolah. Untuk mengejar itu, biasanya sang guru kemudian menyusun rangkuman materi, kemudian dibagikan ke siswa untuk dipelajari sendiri. Sungguh kebiasaan yang tidak perlu dibiasakan.


Biasanya, seorang guru yang akan membuat soal ujian, maka guru selalu bangga apabila ia dapat membuat soal yang “hampir” semua siswa-siswanya tidak dapat menjawab secara benar seratus persen. Jika demikian, dalam anggapannya berarti sang guru tersebut memandang ia memang seorang guru yang pinter dan cerdas, sehingga siswa-siswanya pun tidak bisa mengalahkan kepintaran dan kecerdasannya. Namun, jika soal-soal yang dibuat para guru itu dapat dijawab dan diselesaikan oleh siswa-siswanya, maka sang guru merasa minder dan rendah diri, karena berarti ia dikalahkan oleh siswanya. Benarkah demikian?

Paradigma di atas sudah seharusnya diakhiri. Sebenarnya, konsep evaluasi yang diselenggarakan oleh sekolah (baca: guru) adalah bertujuan untuk mengevaluasi kemampuan siswa, bukan mengevaluasi ketiakmampuan siswa.

Artinya, sebelum evaluasi, seorang guru wajib melakukan proses pembelajaran, misalnya materi Matemtika “Persamaan dan Pertidaksamaan Kuadrat”. Setelah materi satu bab selesai, kemudian guru mengadakan ulangan satu bab. Dengan demikian, maka ulangan yang diselenggarakan memiliki maksud untuk mengevaluasi kemampuan siswa terkait materi matematika “Persamaan dan Pertidaksamaan Kuadrat”. Maka, ketika menyusun soal pun, guru tidak boleh melenceng dari materi tersebut. Sehingga, yang dievaluasi merupakan benar-benar kemampuan siswa tentang materi “Persamaan dan Pertidaksamaan Kuadrat”, Bukan materi yang lain. Jika demikian, maka seorang guru seharusnya senang, ketika siswanya bisa mengerjakan soal dengan baik dan nilainya bagus-bagus.[ahf]

Walhasil, sistem evaluasi yang baik adalah sistem evaluasi yang benar-benar mengukur kemampuan siswa, bukan mengukur ketidakmampuan siswa. Dengan kata lain, soal tes yang berkualitas merupakan soal tes yang dapat dikerjakan oleh siswa. Jika soal tes yang dibuat oleh guru dan diujikan kepada siswa, kemudian banyak siswa yang tidak bisa mengerjakannya, maka soal tersebut bisa dikategorikan sebagai soal yang berkualitas rendah. Dengan menyusun soal-soal yang bisa dikerjakan oleh siswa, justru dapat memancing perkembangan kreativitas siswa. Siswa akan terus terdorong daya kritis dan analisisnya sehingga kualitas siswa semakin unggul dan meningkat. [ahf]