Oleh Abdul Halim Fathani
KETIKA membuka buku karya Munif Chatib & Alamsyah Said (2012) yang berjudul ‘Sekolah Anak-anak Juara’, di halaman awal –setelah halaman sampul dalam, saya mendapatkan satu halaman menarik. Satu halaman tersebut berisi satu kalimat, tetapi sangat menyentuh perhatian kita semua, terutama para pegiat dunia pendidikan. Apa kalimatnya?
Halaman tersebut, berisi satu kalimat bijak yang diungkapkan Howard Gardner, ialah “Sejatinya fungsi sekolah adalah: ‘Bukan seberapa cerdas Anda, melainkan bagaimana Anda menjadi cerdas.’”
Selama ini, seringkali kita ditanya seseorang, atau menanyakan seseorang, “Berapa nilai pelajaran matematika kamu? Berapa nilai hasil ujian nasional kamu?, Anakmu, di sekolah, ranking (peringkat) berapa? Berapa nilai ulangan tengah semestermu? Berapa “angka” kecerdasanmu? , Berapa persen angka kelulusan siswa di sekolah kamu? dan beragam pertanyaan sejenisnya yang lain.
Terhadap pertanyaan itu, maka akan terbersit, bagi siswa, atau guru, bahkan pihak sekolah, untuk “mementingkan”, “mengutamakan”, agar bisa menjawab dengan “jawaban yang bagus”. Artinya, para penjaab akan senang kalau bisa menjawab: Alhamdulillah, nilai pelajaran matematika saya 100, Alhamdulillah, anak saya berhasil mendapatkan peringkat satu, Alhamdulillah, sekolah saya persentase kelulusannya seratus persen.
Sekarang, bayangkan, jika pada faktanya, siswa kita, mendapati nilai di bawah 40, peringkat kelasnya nomor urut buncit (paling terakhir), atau bahkan status hasil ujian nasionalnya masih belum layak dinyatakan lulus. Maka, pasti mereka akan membungka diri, malu untuk menjawab atas pertanyaan-pertanyaan di atas.
Statement Gardner di atas, mengingatkan kita, agar tidak dominan untuk melihat hasil akhir sebagai satu-satunya parameter keberhasilan sekolah. Sebaliknya, justru yang penting diperhatikan adalah bagaimana proses pembelajarannya. Sehingga, pertanyaannya akan berubah menjadi: Bagaimana pengalaman anda ketika belajar matematika, sehingga Anda sekarang dapat menguasai dan mengimplementasikan materi program linear di perusahaan Ayah anda? Bagaimana pengalaman Anda ketika menyelesaikan masalah matematika? Bagaimana ikhtiar Anda ketika menghadapi masalah matematika yang berkaitan dengan limit fungsi untuk fungsi kontinu?, dan seterusnya.
Dengan menanyakan “bagaimana prosesnya?”, maka dampak yang akan terjadi adalah, di antara mereka, siswa satu dengan siswa yang lain, akan terjadi proses sharing pengalaman, sharing informasi. Bukan kalah menang. Tapi, Anda punya kemampuan apa?, saya punya kemampuan apa?, mereka punya kemampuan apa? Walhasil, di antara mereka, akan terjadi proses kolaborasi yang dibangun di atas komunikasi yang baik. Kolaborasi, Bukan Kompetisi.
Dari uraian di atas, tentu harapan penulis dapat menjadi refleksi bagi semua pihak, terutama pemegang kebijakan pendidikan, mari memberikan layanan proses pembelajaran yang terbaik (the best process). Di akhir tulisan ini, penting untuk merenungkan pernyataan ‘Jean Soto’, yang berbuni: “Setiap anak itu unik: Tujuan utama setiap pendidikan dan pengajaran adalah kita mendidik mereka dengan segala kekurangan dan segala potensinya yang ada, sehingga potensi ini dapat kita kembangkan untuk kebaikan secara lebih maksimal. [ahf]