ABDUL HALIM FATHANI
Pemerhati Pendidikan dan Dosen Pendidikan Matematika
Universitas Islam Malang
SIAPAPUN orangnya, yang pernah studi di perguruan tinggi pasti yang ditunggu-tunggu adalah acara wisuda. Mereka membayangkan betapa bahagianya ketika diwisuda, memakai toga dan mendapat ucapan selamat dari Rektor. Disaksikan banyak orang, terutama orang tua atau wali wisudawannya, bahkan suami/istrinya bagi wisudawan yang sudah menikah. Sungguh senang. Sungguh bahagia. Itulah emosi yang muncul ketika menjadi wisudawan, lebih-lebih dinobatkan sebagai wisudawan berprestasi.
Saya -pada saat- menghadiri pelepasan calon wisudawan Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan (FKIP) Universitas Islam Malang (Unisma) di Baiduri Sepah Ballrom, Tlogomas Malang (27/10/2017), menyaksikan ada satu mahasiswa yang memiliki prestasi “maksimal”. Prestasi yang dimaksud adalah sebagai wisudawan terbaik I tingkat fakultas sekaligus terbaik I tingkat universitas. Yang bersangkutan dinobatkan sebagai wisudawan yang memiliki Indeks Prestasi Kumulatif (IPK) empat koma nol nol (4,00). Ialah Yusuf Amhar, mahasiswa Program Studi Pendidikan Matematika, asal Kota Wisata Batu. Luar Biasa!
Tentu bagi Amhar yang memiliki IPK 4.00 senang bukan main. Sekarang, pertanyaannya, bagaimana wisudawan yang memiliki IPK di bawah 3.00? Tentu, meskipun bisa bersama-sama ikut prosesi wisuda, mereka tidak se-senang atau se-bahagia yang dialami wisudawan yang IPK 4.00. Bagi wisudawan yang memiliki IPK sangat memuaskan (cumlaude) mereka tentu bahagia, dan setelah wisuda pun sudah tidak bingung lagi. Karena, mereka memiliki peluang yang besar untuk mempromosikan dirinya. Sebaliknya, bagi yang memiliki IPK “kepala dua”, tentu di balik kebahagiannya, masih memendam rasa kegelisahan akan kehidupan pasca wisuda.
Ayo, Menjadi yang Berbeda!
Wisudawan yang berhasil menjadi terbaik satu, sudah barang tentu jumlahnya hanya satu orang. Padahal, jumlah wisudawan itu tidak sedikit. Memang, sedapat mungkin masing-masing wisudawan harus berlomba-lomba untuk menjadi wisudawan yang terbaik satu (Juara 1). Tapi, dalam praktiknya, impian tersebut tidak mungkin dapat dikabulkan semua. Hanya satu. Nah, sekarang bagaimana bagi wisudawan yang belum berhasil menjadi orang nomor satu? Maka, salah satu jawabannya adalah Bukan menjadi orang yang pertama, tetapi “menjadi orang yang berbeda”. Inilah istilah yang “bagikan” kepada wisudawan yang belum berhasil menduduki nomer satu.
Pada momen pelepasan calon wisudawan FKIP, khususnya ketika ketemu para wisudawan, saya selalu berusaha menyemangati “Ayo … menjadi yang berbeda saja”. Karena yang pertama sudah ada yang menduduki. Pada umumnya, mereka langsung paham, karena pada saat kuliah pun, saya seringkali menebar virus istilah tersebut kepada para mahasiswa. Saya tekankan kepada mahasiswa, bahwa kita sebagai individu harus mampu menunjukkan keperbedaan kita masing-masing. Keperbedaan yang dimaksud di sini adalah sesuatu yang unik, dan konvergen ke arah positif.
Pada kegiatan-kegiatan sebelumnya, khususnya pada saat perkuliahan, saya gariskan bahwa merujuk pada teori kecerdasan Howard Gardner, bahwa setiap individu itu cerdas, yang oleh Gardner disebut multiple intelligences. Kecerdasan ini sejatinya merupakan bentuk penghargaan terhadap keunikan masing-masing individu.
Saya merasa beruntung sekali, karena, saya mendapati momen yang sangat banyak untuk terus berbagi dengan fokus “paradigma kecerdasan”, ialah kecerdasan majemuk (multiple intelligences). Ketika saya membagikan paradigm tersebut, saya menyaksikan dengan mata-kepala sendiri, bahwa mahasiswa terlihat sangat senang. Karena mereka menganggap ada “penghargaan” dari orang lain. Mereka menjadi bersemangat lagi untuk melakoni aktivitas keseharian.
Di akhir tulisan ini, saya menegaskan bahwa paradidma kecerdasan yang telah disebarluaskan itu menjadi satu modal yang cukup baik untuk keberlanjutan pendidikan yang humanis. Mari menjadi orang yang nomer satu. Atau mari menjadi orang yang berbeda. Berbeda dalam kebaikan. Amin. [AHF]