INTEGRASI “UIN” (1)

fathani.com – SAAT ini, dunia perguruan tinggi di Indonesia mengalami perubahan yang sangat pesat. Baik perguruan tinggi negeri (PTN) maupun perguruan tinggi swasta (PTS). Baik perguruan tinggi di bawah koordinasi Kemdikbud, Kemenag, atau Kementerian lainnya. Semuanya menunjukkan tren pengembangan dan perubahan yang positif. Mulai dari tataran filosofis hingga perubahan pada ranah praktik-implementatif.

Dulu, pada tahun 2002, UIN Syariif Hidayatullah Jakarta mengawali perubahannya menjadi Universitas, yang sebelumnya bernama IAIN Syariif Hidayatullah Jakarta. Disusul kemudian, perubahan STAIN Malang menjadi UIN Malang dan IAIN Sunan Kalijaga Yogyakarta menjadi UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, pada tanggal 21 Juni 2004. Lalu, disusul IAIN-STAIN lainnya, hingga saat ini, untuk perguruan tinggi keagamaaan Islam Negeri (PTKIN), terdapat sebanyak 17 UIN, 34 IAIN, dan 7 STAIN. Luar biasa. Semua PTKIN memiliki semangat maju dan menjadi unggul. Termasuk juga kampus-kampus di luar koordinasi Kemenag.

Di antara hal prinsip yang mendasari perubahan status dari IAIN-STAIN menjadi UIN adalah adanya semangat integrasi illmu, semangat untuk mengembangkan ilmu yang lebih luas, dan semangat untuk menghadapi tantangan yang semakin kompleks, serta merespon perkembangan global. Dalam perjalanannya, perubahan IAIN-STAIN menjadi UIN tersebut telah menunjukkan keberhasilannya. Tampak, saat ini, kampus-kampus tersebut dapat mengambil ‘peran’ yang lebih luas dalam masyarakat.

Secara bertahap, melalui tulisan ini, penulis ingin ‘menulis kembali’ paradigma keilmuan yang digagas masing-masing UIN di Indonesia. Memang, secara garis besar, semua UIN memiliki semangat yang sama dalam integrasi ilmu. Tetapi, masing-masing memiliki kekhasan yang penting untuk diulas, sehingga dapat memperkaya khazanah keilmuan kita. Dalam kesempatan pertama ini, akan diuraikan integrasi ilmu dalam semesta UIN Jakarta.

Firman (2020) dalam bukunya berjudul “Pradigma dan Keilmuan Universitas Islam Negeri mendeskripsikan bahwa UIN Syarif Hidayatullah Jakarta menyakini bahwa Islam tidak mengenal dikotomi keilmuan karena sumber segala pengetahuan adalah Allah subhanahu wa ta’ala.

Karenanya paradigma yang dikembangkan adalah mempertemukan saya dengan kebenaran Wahyu. diperlukan rekonsiliasi dan reintegrasi antara ilmu-ilmu agama dengan ilmu-ilmu umum, yaitu kembali pada kesatuan transedental semua ilmu pengetahuan.

Konsep integrasi yang diusung UIN Syarif Hidayatullah Jakarta adalah perpaduan intern ilmu agama dengan intern ilmu umum serta integrasi ilmu agama dan ilmu umum bagaimana pendapat Azra (2005) perpaduan dan integrasi tersebut mencakup tiga aspek dan level yaitu integrasi ontologis integrasi klasifikasi ilmu dan integrasi metodologis.

Komitmen UIN Syarif Hidayatullah Jakarta tersebut tercermin dalam visinya yakni menjadi universitas kelas dunia dengan keunggulan integrasi keilmuan keislaman dan keindonesiaan.[ahf]

Abdul Halim Fathani, Pemerhati Pendidikan dan Pembelajar Matematika. Aktif sebagai Dosen Pendidikan Matematika Universitas Islam Malang.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *