LITERASI PETANI

ABDUL HALIM FATHANI

Siapa pun orangnya jikalau ingin berkembang, maka harus rajin membaca, membaca apa saja, membaca buku, membaca keadaan, membaca peluang, membaca data, membaca koran, membaca pengalaman orang lain, membaca kesuksesan orang lain, dan seterusnya.

Kebiasaan membaca tentu tidak menjadi masalah, jika individu orang tersebut atau di antara kita, memang sudah memiliki kegemaran membaca yang tak terbantahkan. Tetapi, membaca akan menjadi masalah bagi orang-orang yang belum menemukan sisi manfaat dari kegiatan membaca.

Oleh karena itu kita patut bersyukur sekali apabila ada orang lain yang sudah menemukan kenikmatan dalam membaca, dan orang tersebut memberikan perhatian kepada orang lain agar mau peduli (baca: menularkan) dalam hal aktivitas membaca.

Ada contoh riil dan menarik yang menginspirasi kita semua, seperti yang dikupas tuntas pada Harian Kompas, Senin/17 Februari 2020 pada rubrik ‘sosok’. Redaksi Kompas menceritakan seorang kelahiran Lombok Utara yang bernama Raden Sutrakusuma terbukti mampu menggugah kesadaran minat baca bagi para petani. Ini sungguh suatu hal yang luar biasa.

Raden Sutrakusuma merasa tertantang untuk dapat mengubah pola pikir petani yang berorientasi pada pertanian subsisten. Raden berupaya untuk mengintegrasikan literasi bagi petani dengan program literasi untuk anak-anak. Dengan membaca buku, petani diharapkan terpancing untuk berinovasi mengubah pola pikir dalam mengelola usaha tani yang digelutinya.

Apa manfaat literasi pajak bagi para petani? Selama ini, usaha petani cenderung sebatas hanya dapat untuk memenuhi konsumsi rumah tangga. Dari hasil tanaman padi. Padahal tanaman padi rentan dengan serangan organisme pengganggu tanaman seperti: walang sangit, wereng, dan tungro.

Ketika tanamannya menghadapi masalah, para petani mendatangi Sutrakusuma untuk mencari tahu cara mengatasinya. Dari sini, Raden Kusuma menganjurkan kepada para petani tersebut untuk membaca buku dan majalah yang tersedia tentang teknik budidaya dan strategi mengantisipasi serangan hama tanaman padi. Dari bacaan tersebut akhirnya petani bisa membuat pupuk kompos dan pestisida nabati dari campuran daun pohon umbi, tembakau, dan Laos untuk mengatasi serangan walang sangit, wereng, dan tungro.

Berkat aktivitas membaca buku tersebut pola pikir petani juga mulai berubah. Menurut pengakuan petani, hanya sebagian kecil dari hasil pertanian yang bisa dijual ke pasar lokal dan hasil penjualan itu umumnya untuk memenuhi kebutuhan keluarga sehari-hari. Sebagian besar sawah ditanami padi tiga kali dalam setahun, yakni dua musim untuk menanam padi varietas unggul guna konsumsi sehari-hari serta satu musim ditanami padi bulu dan ketan (logam) yang bertujuan untuk memenuhi kebutuhan sekolah

Apa yang terjadi dalam kurun waktu tiga tahun terakhir? Kesadaran berinovasi para petani mulai nampak. Terbukti adanya 5 petani yang membudidayakan tanaman hortikultura seperti cabai, tomat, dan kacang panjang. Lima petani itu mengaku harga jual cabai mencapai Rp. 80.000 sampai Rp. 100.000 per kilogram,  jauh lebih tinggi daripada harga beras 8000 sampai 10.000 kg.

Raden Sutrakusuma mengaku banyak tantangan yang harus dijalani dalam program literasi ini. Dampai saat ini baru tujuh kelompok tani dari total 32 kelompok tani yang aktif dalam mengunjungi perpustakaan dan adanya gawai yang berpotensi menurunkan minat baca buku, tetapi Raden sangat yakin literasi bagi para petani tetap jalan.

Sungguh Sutrausuma merupakan salah satu orang yang luar biasa. Ia berjuang sendirian dalam rangka untuk membantu para petani dalam rangka meningkatkan kemampuannya dalam berinovasi dalam bidang pertanian. Kuncinya hanya satu, baca, baca, baca. Selamat menjadi pembaca yang baik. Selamat dan selamat bertani.[ahf]D-19

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *