Abdul Halim Fathani
Penguasaan ilmu pengetahuan merupakan salah satu akses untuk dapat meraih keberhasilan agar dapat mengikuti arus perubahan zaman di era teknologi informasi ini. Misalnya, setiap kali menjelang penyelenggaraan ujian nasional (UN), maka kepanikan siswa dan orangtuanya sering kali terjadi. Paling tidak, mereka akan gelisah (baca: ragu) terhadap kemampuan anaknya dalam penguasaan menjawab soal-soal yang diujikan. Terutama dalam tiga mata ujian pokok. Matematika, bahasa Indonesia, bahasa Inggris.
Menghadapi realitas ini, tidak heran jika banyak orang tua yang akhirnya mengambil kebijakan pragmatis untuk menambah beban belajar bagi anaknya. Ialah dengan mendaftarkan untuk ikut “pendidikan” di lembaga les atau yang biasa disebut lembaga bimbingan belajar (LBB). Setelah pulang sekolah, sampai rumah, sang anak rela berangkat lagi untuk les privat atau bimbingan di LBB. Rutinitas seperti ini ia lakoni sampai pelaksanaan UN. Bahkan, bisa jadi pasca UN akan tetap berlanjut, yakni untuk persiapan pelaksanaan SNMPTN atau SBMPTN.
Anehnya lagi, ternyata ada sekolah yang juga ikutan panik. Melihat banyaknya siswa yang ikut les privat atau bimbingan di LBB, maka pihak sekolah pun memutuskan untuk “berubah” seolah-olah menjadi lembaga bimbingan belajar. Kok bisa? Ya, karena apa yang diajarkan kepada siswa, hanyalah diorientasikan untuk kesuksesan dalam menjawab soal-soal ujian nasional. Sekolah biasanya juga menambah jam pelajaran di luar jam resmi.
Coba bayangkan, siswa akan belajar sebagaimana jam pelajaran yang berlaku. Ditambah dengan kebijakan mengikuti les atau bimbingan yang digelar oleh(di) sekolah. Masih juga ditambah dengan keikutsertaannya dalam les privat atau bimbingan di LBB, di luar sekolah. Betapa beratnya beban belajar siswa?
Pertanyaannya, apakah ikhtiar belajar yang begitu padat yang dilakukan siswa tersebut tidak layak didukung? Penulis sepakat bahwa ikhtiar untuk belajar yang luar biasa padatnya tersebut layak untuk didukung. Namun, mari kita renungkan kembali “Apakah niat siswa, orang tua siswa, pihak sekolah, sudah sesuai dengan hakikat belajar yang sesungguhnya? Jangan-jangan yang mereka lakukan itu hanya berorientasi untuk kemampuannya dalam menjawab soal-soal ujian nasional.
Melihat begitu beratnya beban belajar siswa, maka tugas kita adalah mengajak mereka untuk menjalani proses belajar secara wajar dan normal. Siswa adalah manusia. Bukan robot. Terakhir, sekolah adalah tempat pendidikan dan pembelajaran. (ahf)
Sumber: http://rumahpendidikan.id/2017/08/30/mengurai-beban-belajar/