ABDUL HALIM FATHANI
SEWAKTU kecil, sering biasanya kita ditanya, “Nak… jika nanti sudah besar, kamu ingin jadi apa?” Mendapat pertanyaan seperti itu, spontan, jawaban yang sering kita berikan adalah, “Saya ingin jadi dokter, saya ingin jadi pilot, saya akan menjadi guru, saya akan menjadi menteri, menjadi presiden, jadi orang kaya, ingin bisa naik haji, dan beragam jawaban lainnya”. Kebanyakan, jawaban yang diberikan merupakan suatu keinginan yang pada saat itu (melontarkan cita-cita), hal yang dicita-citakan adalah belum terwujud, belum terjadi.
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), cita-cita adalah rasa, perasaan hati; keinginan (kehendak) yang selalu ada di dalam pikiran. Sekarang, jika kita perhatikan pilihan cita-cita berikut. Ada dua pilihan cita-cita, Bercita-cita menjadi orang baik? atau Bercita-cita menjadi orang yang tidak baik?
Sekarang, mari kita perhatiakan kajian berikut. Pada pernyataan cita-cita yang pertama, “Bercita-cita menjadi orang baik”. Cita-cita ini sama seperti, cita-cita anak yang ingin menjadi dokter, menjadi pilot, menjadi guru, dan seterusnya. Artinya, cita-cita ini menunjukkan bahwa keinginan yang diharapkan itu belum dijalani, belum terjadi. Jika kita bercita-cita ingin jadi pilot, maka sekarang kita masih belum menjadi pilot, hanya saja memiliki keinginan agar kelak suatu saat dapat menjadi pilot. Begitu juga bercita-cita menjadi orang baik, berarti selama ini kita masih menjadi orang yang tidak baik, sehingga kita berkeinginan untuk menjadi orang baik.
Cita-cita yang kedua, Bercita-cita menjadi orang yang tidak baik. Berarti, selama ini kita telah menjadi orang baik, namun kita “masih” berkeinginan untuk menjadi orang yang tidak baik. Na’udzubillah. Karena, cita-cita itu adalah keinginan. Sesuatu yang masih kita inginkan. Sesuatu yang ingin kita kehendaki.
Berpijak pada uraian penjelasan tersebut, sekarang kita –sebagai orang “sehat”- akan memilih cita-cita yang mana? Jika memilih cita-cita yang pertama, berarti selama ini kita termasuk orang yang tidak baik, sedangkan pilihan cita-cita kedua, jelas tidak mungkin. Penulis yakin, tidak ada seorang pun yang memiliki cita-cita untuk menjadi orang yang tidak baik. Benar-benar sebuah pilihan dilematis.
Perspektif Logika Fuzzy
Kedua pilihan cita-cita di atas, Bercita-cita menjadi orang baik? atau Bercita-cita menjadi orang yang tidak baik? Merupakan pilihan yang dilematis. Bisa saja jika kita memilihnya salah satu, namun hal itu jelas tidak akan dapat menyelesaikan problemnya. Bukan solusi. Oleh karenanya, perlu didekati dengan pendekatan logika fuzzy, agar pilihan cita-cita tersebut menjadi lebih bijak.
Orang yang belum pernah mengenal logika fuzzy pasti akan menganggap bahwa logika fuzzy adalah sesuatu yang rumit, membingungkan, dan tidak menyenangkan. Namun, sekali saja seorang mulai mengenalnya, ia pasti akan sangat tertarik dan akan menjadi pendatang baru untuk ikut serta mempelajari dan mengembangkan logika fuzzy. Logika fuzzy merupakan logika yang sangat realistis dan rasional dalam menghadapi dan menyelesaikan problem dalam kehidupan.
Sering dalam keseharian, orang menjawab kuesioner dengan kata-kata sangat setuju, setuju, ragu-ragu, tidak setuju, sangat tidak setuju. Jarang sekali jawaban kuesioner yang hanya memiliki dua kriteria, yakni ya atau tidak; setuju atau tidak setuju; benar atau salah. Tentunya jawaban yang lebih realistis adalah pilihan jawaban pertama yang memiliki banyak alternatif pilihan. Konsep ini sama halnya dengan konsep pada logika fuzzy. Logika fuzzy dikatakaan sebagai logika baru yang lama, sebab ilmu tentang logika fuzzy dan metode, baru ditemukan beberapa tahun yang lalu, padahal konsep tentang logika fuzzy itu sendiri sebenarnya sudah ada sejak lama dan sering digunakan dalam kehidupan sehari-hari, namun kebanyakan orang tidak mengetahui bahwa itu adalah penerapan dalam konsep logika fuzzy.
Pada himpunan tegas (crisp) dalam logika dwi-nilai, nilai keanggotaan suatu item x dalam suatu himpunan A, yang sering ditulis dengan , memiliki dua kemungkinan nilai, yakni: Satu (1), yang berarti bahwa suatu item menjadi anggota dalam suatu himpunan, atau Nol (0), yang berarti bahwa suatu item tidak menjadi anggota dalam suatu himpunan.
Sedangkan pada himpunan fuzzy nilai keanggotaan terletak pada interval 0 sampai 1. Apabila x memiliki nilai keanggotaan fuzzy berarti x tidak menjadi anggota himpunan A, yang berarti bahwa suatu item tidak menjadi anggota dalam suatu himpunan, demikian pula apabila x memiliki nilai keanggotaan fuzzy berarti x menjadi anggota penuh pada himpunan A.
Kembali ke cita-cita
Jika kita bercita-cita dengan menggunakan pendekatan logika fuzzy, maka cita-citanya berbunyi sebagai berikut: “Saya bercita-cita untuk bisa menjadi orang yang lebih baik”. Sebagaimana uraian sebelumnya, jika kita bercita-cita seperti itu, berarti kenyataannya selama ini kita belum menjadi orang yang lebih baik, tetapi mungkin saja kita selama ini baru menjadi orang baik, sehingga pantaslah jika bercita-cita menjadi orang yang lebih baik. Kata-kata “lebih” inilah sebenarnya bahasa yang digunakan dalam logika fuzzy.
Apabila menggunakan derajat keanggotaannya, maka dapat dijelaskan seperti berikut: Misalkan, cita-cita menjadi orang tidak baik adalah 0, kemudian menjadi orang baik adalah 0.5, dan cita-cita menjadi orang lebih baik yang paling tertinggi adalah 1. Nah, jika kita bercita-cita menjadi orang yang lebih baik, berarti kita menginginkan derajat keanggotaannya itu selalu naik dari 0.5. Batas minimal orang baik adalah 0.5 sehingga jika derajat keanggotaannya mengalami peningkatan, seperti 0.6; 0.699; 0.8; 0.87; dan seterusnya.
Demikian, uraian singkat bagaimana dengan pendekatan logika fuzzy kita mengurai tentang bagaimana cita-cita yang akan kita wujudkan. Semoga ulasan ini dapat menambah wawasan kita tertutama dengan mengetahui ternyata logika fuzzy bisa digunakan sebagai “alat urai” sebuah kalimat pilihan yang dilematis. Semoga bermanfaat. (*)
Sumber: https://www.timesindonesia.co.id/read/155216/20170827/092218/menjadi-yang-lebih-baik-pendekatan-logika-fuzzy/