Abdul Halim Fathani
TIDAK jarang kita selalu memberi label kepada siswa-siswa sekolah, si A ini anak cerdas, si B lumayan cerdas, tapi si C bodoh sekali, dan beberapa label lainnya. Sungguh menyesatkan sekali apabila kita terus memberi label kepada siswa tersebut, lebih-lebih kalau label negatif. Kasihan masa depan mereka.
Label positif tentu tidak masalah, sebab label positif tersebut justru bisa memberikan semangat siswa untuk menjadi maju. Namun, jika label negatif yang kita tanamkan, maka dikuatirkan semangat siswa untuk belajar menjadi kendur, dan rasa percaya diri semakin menghilang. Jika hal yang demikian terjadi, maka tentu masa depan siswa tersebut menjadi suram.
Tidak ada gunanya kita memberi label “cerdas” dan “tidak cerdas”. Kalau merujuk teori multiple intelligences yang digagas Gardner (1983), maka setiap siswa harus dipandang sebagai siswa yang cerdas. Cerdas yang dimaksud bukanlah cerdas di bidang matematika dan linguistik saja. Namun, sesungguhnya mereka –setiap siswa- adalah cerdas di bidangnya masing-masing.
Siswa cerdas bukanlah siswa yang mendapat ranking atau peringkat sepuluh terbaik. Namun, sesungguhnya setiap siswa adalah peraih peringkat pertama atau boleh dikatakan setiap siswa adalah sang juara di bidang keahliannya masing-masing.
Apabila cara memandang kecerdasan seperti di atas, sebagaimana yang “diajarkan” Gardner, maka sebagai guru maupun orang tua akan “berbahagia”, karena mereka akan menemukan banyak sekali siswa yang ahli dan menjadi juara di bidangnya masing-masing.
Tidak ada lagi, siswa yang bodoh. Semua siswa bisa diandalkan. Sekali lagi, siswa cerdas adalah siswa yang ahli di bidangnya masing-masing. Sehingga, hanya ada satu kata dalam labelisasi anak/siswa. “Kamu adalah siswa cerdas” []
Tulisan ini sudah dipublikasikan di https://www.timesindonesia.co.id/read/153116/20170730/111943/tidak-ada-lagi-siswa-yang-tidak-cerdas/