Abdul Halim Fathani
SERINGKALI kita menyaksikan kondisi bimbang dalam kehidupan sehari-hari yang selalu menghantui pelbagai aktivitas keseharian. Biasanya, kebimbangan itu terjadi yang diakibatkan karena kurang kita percaya diri, berada dalam situasi yang penuh keragu-raguan. Misalnya, ketika sedang berargumen dalam forum diskusi dan lupa mengingat sesuatu, mengambil keputusan penting namun dalam situasi yang dilematis, menjawab soal dalam ujian namun lupa akan konsep yang benar, dan lainnya. Mestinya, kondisi bimbang tersebut tidak perlu terjadi, jika kita berpijak pada satu dasar yang kuat (baca: shahih). Jika demikian, maka kita akan selalu menghadapi sebuah kepastian. Tidak lagi dalam posisi yang bimbang.
Merujuk pada Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), bimbang memiliki arti: (1) (merasa) tidak tetap hati (kurang percaya); ragu-ragu; (2) (merasa) khawatir; cemas. Ternyata pengertian dalam KBBI tersebut mengandung dalam kurung merasa. Artinya, bimbang itu memang berada pada kondisi yang tidak pasti.
Pada dasarnya, dalam rujukan orang Islam (baca: Hadits), Nabi Muhammad saw sudah memberikan jalan keluar secara tegas nan pasti untuk menyelesaikan kebimbangan. Abu Muhammad al-Hasan bin Ali bin Abu Thalib ra. cucu kesayangan Rasulullah saw. berkata, Aku hafal sabda Rasulullah saw., Tinggalkan perkara yang meragukanmu dan kerjakan perkara yang tidak meragukanmu. (HR Tirmidzi dan Nasa’i, Tirimidzi berkata: Hadits ini hasan shahih).
Hadits ini merupakan jawamiul kalim (ucapan yang singkat dan padat). Sebuah ungkapan yang pendek namun mengandung kaidah yang penting dalam Islam. Dasar tersebut adalah meninggalkan syubhat [keraguan] dan memilih yang halal dan diyakini. Ibnu Hajar al-Haitamy berkata, Hadits ini merupakan kaidah yang sangat penting dan dasar dari sikap wara yang merupakan poros dari ketakwaan, juga penyelamat dari keraguan dan ketidakjelasan yang menghalangi cahaya keyakinan.[ahf]