MEMIMPIN ITU MELAYANI

Abdul Halim Fathani

AKHIR-akhir ini, kursi pemimpin seringkali menarik perhatian banyak orang. Tidak sedikit orang yang rela mengeluarkan uang dan berusaha sekuat tenaga untuk mempengaruhi orang lain, agar mau memilihnya sebagai pemimpin. Padahal, sejatinya pemimpin adalah pemegang amanah. Namun, faktanya tidak sedikit orang yang justru berebut untuk mengemban amanah tersebut.

Lalu, siapkah diri kita menjadi pemimpin? Tentu jawabannya adalah harus siap! Karena pada dasarnya setiap diri kita adalah pemimpin. Adakalanya pemimpin sebagai Presiden, pemimpin sebagai Menteri, Gubernur, Bupati, Ketua PBNU, Rektor, Ketua kelas, bahkan pemimpin diri sendiri. Satu hal yang perlu dipegang bagi seorang pemimpin adalah harus dapat menjalankan amanah yang dipercayakan pemilihnya (dapat dipercaya).

Kalau kita amati, akhir-akhir ini, ada pemimpin yang tidak begitu dihargai oleh anak buahnya. Misalnya, di sebuah perusahaan X, perilaku pimpinan (bos) semenah-menah terhadap pegawai (bawahan). Mentang-mentang jadi atasan, pimpinan suka menyepelehkan hasil kinerja pegawai. Atasan tidak pernah menghargai hasil karya pegawai. Yang sering terjadi adalah menganggap pegawai seperti robot, yang harus mau dan rela untuk diperlakukan semau atasan, dan pelbagai permasalahan lainnya. Itulah sekilas gambaran kondisi perusahaan yang tidak kondusif.

Dalam sebuah organisasi, mestinya pemimpin harus dapat menghadirkan sebuah kepemimpinan yang sehat. Artinya kepemimpinan yang selalu dapat menginspirasi bawahan untuk dapat berbuat maksimal demi kejayaan sebuah organisasi. Seluruh komponen dalam organisasi (atasan maupun bawahan) harus satu kata untuk mewujudkan visi organisasi. Bukan sebaliknya, membangun kepemimpinan yang penuh virus, yang di dalamnya dipenuhi oleh berbagai problem pimpinan yang justru dapat merusak masa depan organisasi.

Adalah Anthony Dio Martin yang telah mengurai secara jelas dan gamblang dalam bukunya berjudul Toxic Leader. Dalam buku ini, Martin (2014) mengupas tentang pemimpin yang beracun. Ialah pemimpin yang bermasalah dan tidak pantas diteladani. Secara umum buku ini menguraikan bagaimana mengenali, mengelola, dan mengendalikan pemimpin yang bermasalah.

Di awal tulisannya, Martin (2014) menunjukkan realita bahwa banyak orang yang betul-betul tidak puas pada pemimpinnya. Menghadapi situasi yang demikian, apa yang biasanya mereka lakukan? Ada yang cuma menyimpan dalam hati, sambil menunggu waktu yang tepat untuk sebuah pembalasan. Ataupun, saat muncul pemicunya, seperti sindiran ataupun komentar yang sesuai dengan perasaan dia tentang atasannya, dia tertawa paling lebar ataupun yang paling semangat mengomentari, Bener tuh! Bener!. Itulah gambaran sekilas fenomena sebuah organisasi yang memiliki pemimpin beracun.

Dalam buku tersebut, Martin menguraikan kejadian-kejadian kecil yang seringkali terjadi di kantor, di perusahaan yang banyak dialami para pegawai. Martin mengajak pembaca untuk mengenali pelbagai racun yang sering terpancar di tempat kerja. Tidak hanya itu, Martin juga memberikan solusi jitu dan kiat bagaimana menghadapi pemimpin yang beracun tersebut. Tentu, paparan Martin dalam buku tersebut, akan sangat bermanfaat bagi siapa pun yang ingin segera menghadirkan kepemimpinan yang sehat. Ialah kepemimpinan yang melayani.

Sungguh, inilah buku yang menginspirasi. Luar biasa. Pembaca buku ini diajak untuk mengenali pemimpin yang beracun, kemudian bagaimana mengelolanya, dan selanjutnya menyikapi para pemimpin yang beracun. Buku ini harus dapat menjadi bahan refleksi bagi pemimpin dan yang dipimpin, untuk menuju sebuah organisasi yang sehat.

Untuk mengenali lebih detail tentang pribadi pemimpin beracun, Martin menguraikan 7 (tujuh) ciri Toxic Leader. Yaitu: pemimpin yang memiliki gaya manajemen Totem Pole; pemimpin yang menciptakan atmosfer kerja yang tidak kondusif; pemimpin yang senang dengan loyalitas buta (blind loyalty); pemimpin yang gemar menggunakan pemerasan emosi kepada bawahannya (emotional blackmail); memiliki performance kerja yang semakin menurun; tidak transparan; dan pemimpin yang menghalalkan segala cara. Setelah memahami ciri toxic leader, selanjutnya adalah bagaimana strategi menghadapi para toxic leader.

Dalam pengakuannya, Martin menegaskan bahwa penulisan buku ini tidak bertujuan untuk memojokkan ataupun melabeli seseorang. Tetapi, tujuan awal dari buku ini berasal dari niat yang tulus agar semakin banyak pemimpin yang tersadar serta terhindar dari perilaku yang justru membuat timnya jadi kendor semangatnya serta terhindar dari perilaku yang dapat merusak organisasinya.

Di akhir tulisan ini, marilah kita merenungkan hadits Nabi Saw Ketahuilah! Masing-masing kamu adalah pemimpin, dan masing-masing kamu akan dimintai pertanggungjawaban terhadap apa yang dipimpin. Seorang raja yang memimpin rakyat adalah pemimpin, dan ia akan dimintai pertanggungjawaban terhadap yang dipimpinnya. Seorang suami adalah pemimpin anggota keluarganya, dan ia akan dimintai pertanggungjawaban terhadap mereka. Seorang istri juga pemimpin bagi rumah tangga serta anak suaminya, dan ia akan dimintai pertanggungjawaban terhadap yang dipimpinnya. Seorang budak juga pemimpin atas harta tuannya, dan ia akan dimintai pertanggungjawaban terhadap apa yang dipimpinnya.

Ingatlah! Masing-masing kita adalah pemimpin dan masing-masing kita akan dimintai pertanggungjawaban atas apa yang dipimpinnya.[]