TERNYATA, IA BISA (SUKSES) MENYELESAIKAN MASALAH MATEMATIKA

Oleh Abdul Halim Fathani

062aDALAM rangka menyelesaikan penelitian, saya memfokuskan masalah kajian tentang “Gaya Belajar Siswa dalam Menyelesaikan Masalah Matematika Ditinjau dari Multiple Intelligences”. Salah satu siswa (sebut saja S6) yang menjadi subjek penelitian ada yang memiliki kecenderungan kecerdasan Linguistik, namun kecerdasan matematisnya berada di urutan yang terendah (urutan kedelapan). Dalam rangka penelitian, siswa tersebut saya beri satu masalah matematika untuk diselesaikan. Fokus pengamatan saya adalah, bagaimana gaya belajar siswa tersebut dalam menyelesaikan masalah matematika dengan mengikuti tahapan pemecahan masalah yang dicetuskan oleh Polya.

Berdasarkan hasil angket (multiple intelligences research/MIR) yang diisi, diperoleh informasi bahwa mata pelajaran yang paling dikuasai atau disukai S6 adalah Biologi, Agama, Ilmu Pengetahuan Sosial,dan untuk mata pelajaran yang paling tidak dikuasai/tidak disukai adalah Matematika dan Fisika.

Adapun untuk aktivitas yang disukai adalah merencanakan kegiatan pribadi dan membuat cerita. Sedangkan, aktivitas yang tidak disenangi adalah menari dan melukis. Terkait pengalamannya ketika belajar matematika, S6 menyatakan bahwa belajar Matematika itu menyenangkan tetapi membutuhkan ketelitian. Dan, untuk gaya belajarnya, S6 berusaha selalu memahami soal dengan konsentrasi.

Ketika saya memberikan selembar kertas yang berisi masalah matematika yang harus diselesaikan, mula-mula S6 “hanya” memandang (membaca pelan) serius soal matematika. Setelah (kurang lebih) 10 menit, S6 masih “tenang” membiarkan kertasnya tanpa satu coretan pun. Merespons hal ini, akhirnya mendorong saya untuk berusaha mencari tahu, bagaimana yang dialami S6. Ternyata, setelah sekian menit itu, S6 masih belum dapat memahami masalah matematika yang harus diselesaikan. Ia masih blank.

Karena melihat hasil MIR S6 yang menunjukkan kecerdasan matematisnya rendah, akhirnya mendorong saya untuk memberi penjelasan (seperlunya) terkait masalah matematika tersebut. Ketika saya menjelaskan dengan mengaitkan materi keliling dan luas persegi panjang, S6 dengan bersungguh-sungguh -namun tetap tenang- mendengarkan penjelasan saya. Dan, setelah penjelasan terkait “apa yang diketahui” dan “apa yang ditanyakan”, akhirnya S6 sudah dapat memahami. Pada “titik” inilah saya berhenti untuk menjelaskan, dan selanjutnya S6 melanjutkan untuk merencanakan penyelesaiannya, melaksanakan rencananya, dan mengecek solusi.
Subhanallah, setelah menerima penjelasan, S6 lancar sekali untuk menyelesaikan masalah matematika. Padahal, kalau kita tahu ketika pada tahap pertama (memahami masalah) seolah-olah S6 tidak akan dapat menyelesaikan sampai akhir. Namun setelah melalui proses diskusi, S6 bisa berhasil.

Saya membayangkan, seandainya S6 tadi mendapat soal (seperti itu) ketika Ujian Nasional (UN) atau Ujian Akhir Semester (UAS) maka dapat dipastikan gagal atau dinyatakan tidak lulus. Mengapa? Karena dalam UN atau UAS belum pernah dijumpai proses diskusi atau dialog untuk memahami masalah yang akan diselesaikan. Siswa dibiarkan sendiri untuk mengerjakan soal ujian. Sehingga bagi siswa yang tidak dapat memahami masalah secara benar, maka dipastikan akan gagal untuk menyelesaikan masalah, dan akhirnya kegagalan akan dialami dirinya. Parahnya, mereka “dicap” sebagai anak yang bodoh.

Namun, saya membayangkan ketika dalam UN atau UAS guru memberikan kesempatan proses dialog atau diskusi untuk memahami masalah (bukan jawabannya) bagi siswa yang “benar-benar” membutuhkan, maka siswa menjadi “percaya diri” bahwa “ternyata” dirinya bisa menyelesaikan masalah matematika. Ketika disodori soal, biasanya mereka langsung down, namun ketika ada proses diskusi untuk membantu memahami masalah, maka dapat diyakini siswa akan menjadi semakin percaya diri. Hal ini akan menjadikan proses pembelajaran di sekolah menjadi lebih manusiawi. [ah.fathani@gmail.com]

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *