Abdul Halim Fathani
DALAM menjalani kehidupan keseharian, manusia selalu dihadapkan pada suatu masalah. Masalah kehidupan. Misalnya, bagi seorang pengusaha menghadapi masalah terkait rendahnya pendapatan (omzet) yang diperoleh dari hasil bisnisnya. Bagi seorang guru seringkali menghadapi banyaknya peserta didik yang “nakal”, yang tentu menuntut perhatian lebih dari seorang guru. Bagi seorang siswa kadang merasa sudah berikhtiar kuat untuk belajar dan memahami pengetahuan, namun hasil akhirnya dinyatakan tidak lulus ujian nasional. Dan masih banyak contoh lainnya.
Apakah hal di atas itu merupakan masalah? Bisa iya, bisa juga tidak. Tergantung perspektif bagaimana kita memandang. Bagi orang tertentu menganggap hal tersebut sebagai masalah, sementara orang lain justeru menganggap bukan masalah. Di sini, penulis tidak mengajak untuk berdebat hal ini, namun penulis mengajak kepada pembaca mari kita “arif“ dalam menghadapi suatu masalah.
Penulis menegaskan, jika kita berada dalam kondisi menghadapi masalah (baca: ketidakpastian), maka, kita harus segera keluar dari kondisi itu. Kita harus segera lari untuk menyelesaikan masalah dengan menuju kepastian. Bukan menghindari masalahnya, tapi menyelesaikan masalah. Masalah, jangan dihindari, tapi harus diselesaikan. Masalah ini muncul karena kita berada dalam kondisi ketidakpastian, yang mengakibatkan kita bimbang (ragu-ragu).
Bagaimana menyelesaikan masalah? Dalam kesempatan ini, penulis mengutip pendapatnya George Polya (1973) dalam bukunya ”How to Solve it: A New Aspect of. Mathematical Method”. Sebenarnya pendapat Polya ini adalah pemecahan masalah dalam masalah matematika. Namun, tidak sebatas hanya itu. Penulis menyimpulkan teori pemecahan masalah Polya ini dapat juga digunakan sebagai teori untuk pemecahan masalah di bidang lainnya. Polya (1973) mengajukan teori bahwa pemecahan dalam matematika meliputi 4 (empat) tahapan kegiatan sebagai berikut: memahami masalah, merencanakan pemecahannya; menyelesaikan masalah sesuai rencana; dan memeriksa kembali hasil yang diperoleh.
Fase pertama adalah memahami masalah. Tanpa adanya pemahaman terhadap masalah yang diberikan, kita tidak mungkin mampu menyelesaikan masalah tersebut dengan benar. Setelah kita dapat memahami masalahnya dengan benar, selanjutnya mereka harus mampu menyusun rencana penyelesaian masalah. Kemampuan melakukan fase kedua ini sangat tergantung pada pengalaman kita dalam menyelesaikan masalah. Pada umumnya, semakin bervariasi pengalaman, ada kecenderungan kita lebih kreatif dalam menyusun rencana penyelesaian suatu masalah. Jika rencana penyelesaian suatu masalah telah dibuat, baik secara tertulis atau tidak, selanjutnya dilakukan penyelesaian masalah sesuai dengan rencana yang dianggap paling tepat.
Dan, langkah terakhir dari proses penyelesaian menurut Polya adalah melakukan pengecekan atas apa yang telah dilakukan mulai dari fase pertama sampai fase penyelesaian ketiga. Dengan cara seperti ini, maka berbagai kesalahan yang tidak perlu dapat terkoreksi kembali sehingga kita dapat sampai pada jawaban yang benar sesuai dengan masalah yang diberikan. Tahapan yang paling rawan dan kadang-kadang sangat sulit, yaitu dua tahap di tengah (tahap kedua dan ketiga). Terutama tahap kedua, karena menentukan kreativitas daya temu dan wawasan. Dalam realita, proses penyelasaian/pemecahan masalah mungkin melibatkan perputaran (circularity) atau putaran (loop).[]