TENTANG BELAJAR

Abdul Halim Fathani

Belajar pada hakikatnya merupakan proses perubahan di dalam kepribadian yang berupa kecakapan, sikap, kebiasaan, dan kepandaian. Perubahan ini bersifat menetap dalam tingkah laku yang terjadi sebagai suatu hasil dari latihan atau pengalaman.

Sedangkan pembelajaran pada hakikatnya adalah suatu proses interaksi antar anak dengan anak, anak dengan sumber belajar dan anak dengan pendidik. Kegiatan pembelajaran ini akan menjadi bermakna bagi anak jika dilakukan dalam lingkungan yang nyaman dan memberikan rasa aman bagi anak. Proses pembelajaran yang sering terjadi sekarang adalah proses belajar menghafal. Seorang guru akan menilai/memuji seorang siswa apabila ia berhasil menghafal materi dengan baik, bukan dilihat dari bagaimana tingkat pemahaman mereka dalam menyerap materi yang diajarkan.

Piaget membedakan dua pengertian tentang belajar, yaitu (1) belajar dalam arti sempit dan (2) belajar dalam arti luas (Ginsburg & Opper, 1988 dalam Suparno, 2001:140). Belajar dalam arti sempit adalah belajar yang hanya menekankan perolehan informasi baru dan pertambahan. Belajar ini disebut belajar figuratif, suatu bentuk belajar yang pasif. Misalnya, seorang anak belajar nama-nama ibu kota suatu negara atau menghafalkan nama-nama angka. Belajar dalam arti luas atau disebut juga perkembangan, adalah belajar untuk memperoleh dan menemukan struktur pemikiran yang lebih umum yang dapat digunakan pada bermacam-macam situasi. Belajar ini disebut belajar operatif, yakni seseorang aktif mengkonstruksi struktur pengetahuan yang dipelajari. Misalnya, dalam menghafal ibu kota negara-negara, seorang anak juga mengerti hubungan antara kota itu dengan negara.

Menurut Wadsworth (1989, dalam Suparno, 2001:141), mengingat dan menghafal tidak dianggap sebagai belajar yang sesungguhnya karena kegiatan tersebut tidak memasukkan proses asimilasi dan pemahaman. Anak yang tahu menyebut nama-nama angka, belum tentu bahwa ia mengerti konsep tentang angka-angka tersebut. Bagi Piaget, belajar selalu mengandung unsur pembentukan dan pemahaman.

Terkait dengan belajar hafalan (rote learning) ini, Ausubel menyatakan: “…, if the learner’s intention is to memorise it verbatim, i,e., as a series of arbitrarily related word, both the learning process and the learning outcome must necessarily be rote and meaningless”. Intinya, jika seorang anak berkeinginan untuk mengingat sesuatu tanpa mengaitkan hal yang satu dengan hal yang lain maka baik proses maupun hasil pembelajarannya dapat dinyatakan sebagai hafalan dan tidak akan bermakna sama sekali baginya.
Contoh yang dapat dikemukakan tentang belajar dari proses menghafal adalah siswa yang dapat mengingat dan menyatakan rumus luas persegi panjang adalah L = p × l, namun ia tidak bisa menentukan luas suatu persegi panjang karena ia tidak tahu arti lambang L, p, dan l.[ahf]

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *