Abdul Halim Fathani
Dalam buku berjudul “Tarmizi Taher, Arek Suroboyo dan Aktivis Kampus Abdi Umat dan Bangsa”, yang ditulis Wakhudin dan diterbitkan oleh JP Press Surabaya (Oktober 2003), diuraikan ada tujuh pokok pikiran tentang pendidikan yang digagas Tarmizi, yaitu: Pemerataan pendidikan dengan wajar 9 tahun, Kebangkitan Islam dan pendidikan, Pendidikan keimanan dan ketakwaan, menjadi produsen bukan konsumen ilmu, Tanggung jawab perguruan tinggi Islam, IAIN dan masa depannya, dan Pondok pesantren dalam menghadapi dinamika sosial.
Pertama, Pemerataan pendidikan dengan wajar 9 tahun.
Program wajib belajar 9 tahun ini merupakan salah satu upaya strategis bangsa Indonesia untuk meningkatkan sumber daya manusia. Oleh karenanya, lembaga-lembaga pendidikan keagamaan khususnya Madrasah Ibitidaiyah dan Madrasah Tsanawiyah di seluruh Indonesia seyogianya siap melaksanakan program wajib belajar 9 tahun tersebut. Kebijakan yang dikembangkan dalam pembinaan Madrasah Ibtidaiyah dan Madrasah Tsanawiyah ini bertumpu pada empat hal, yaitu pemerataan pendidikan, peningkatan mutu, peningkatan relevansi, dan peningkatan efisiensi. Dan, saat ini kita saksikan tidak sedikit Madrasah Ibtidaiyah maupun Madrasah Tsanawiyah yang unggul memiliki prestasi gemilang. Bahkan, saat ini sudah berkembang menuju wajib belajar 12 tahun, yaitu dilanjutkan pada tingkat Madrasah Aliyah. Sewaktu menjadi Menteri Agama, Tarmizi juga menggagas berdirinya Madrasah Aliyah Program Khusus (MAPK) yang kurikulumnya lebih menekankan pada pengajaran dan pendidikan agama Islam..
Kedua, Kebangkitan Islam dan pendidikan.
Menurut Tarmizi, peran sentral universitas atau dunia akademis pada umumnya dalam upaya kebangkitan kembali Islam jelas merupakan aspek yang sangat penting untuk mendapat perhatian lebih. Dalam kerangka pemenuhan atau pencapaian prasyarat kebangkitan ilmu pengetahua, maka perguruan tinggi Islam, tidak cukup lagi berperan sekedar menghasilkan para lulusan guna mengisi lapangan kerja yang ada. Universitas Islam bahkan dituntut lebih jauh lagi, yakni mengembangkan riset-riset strategis yang berkaitan dengan upaya peningkatan kemajuan berbagai cabang keilmuan.
Ketiga, Pendidikan keimanan dan ketakwaan.
Penjiwaan pendidikan dengan nafas keimanan dan ketakwaan harus dilakukan pada semua tahap pelaksanaan pendidikan, mulai tujuan-tujuan, pemilihan strategi, penyusunan program-program kurikuler, sampai pada pelaksanaan pembelajaran di sekolah. Dari sekian tahapan tersebut, yang paling menentukan adalah pada tahapan pembelajaran di sekolah, karena pada tahap inilah interaksi edukatif secara efektif berlangsung antara murid dan guru.
Keempat, menjadi produsen bukan konsumen ilmu.
Harus diakui, di kalangan kaum muslimin, apresiasi terhadap sains dan teknologi dapat dikatakan masih belum memuaskan. Dengan kata lain, sebagian peserta didik di lembaga-lembaga pendidikan Islam lebih diarhkan untuk menekuni bidang-bidang humaniora dan ilmu-ilmu sosial dari pada ilmu-ilmu alam. Jika kecenderungan ini terus terjadi, maka kaum muslimin dikhawatirkan akan tetap tertinggal dalam penguasaan Sains dan Teknologi. Akibatnya, kaum muslimin akan lebih menjadi konsumen daripada produsen. Saat ini, sudah waktunya bagi kaum muslimin Indonesia untuk memberikan perhatian khusus kepada masalah yang amat penting itu. Lembaga pendidikan Islam hendaklah mengambil peran yang lebih besar dalam peningkatan dan pengembangan sains dan teknologi yang relevan untuk menjawab tantangan masa depan. Dengan demikian, berarti kota mengubah orientasi sistem pendidikan Islam ke masa silam menjadi ke masa depan. Dengan orientasi ke masa depan berarti kita akan mempersiapkan peserta didik untuk menjawab dan menempatkan diri secara lebih fungsional dalam menghadapi segala tantangan dan perubahan.
Kelima, Tanggung jawab perguruan tinggi Islam.
Peranan perguruan tinggi Islam (PTI), sangat strategis untuk menghasilkan mahasiswa yang berkualitas sebagai kader pembangunan bangsa. Diharapkan lulusan perguruan tinggi Islam memiliki sikap tanggap terhadap pembangunan masa depan, sehingga mampu berperan serta secara optimal dalam pembangunan nasional. Dengan demikian ada dua tugas penting yang dapat dilakukan PTI dalam meingkatkan kualitas mahasiswanya, yaitu: 1) memberikan kesempatan kepada mahasiswa untuk memiliki pengetahuan, keahlian, dan keterampilan tertentu sesuai dengan bidang ilmu yang ditekuninya dengan kebutuhan masyarakat dan pembangunan nasional; dan 2) memantapkan kepribadian mahasiswa dengan pembekalan nilai-nilai yang bisa memperkuat identitas diri yang dilandasi oleh nilai-nilai ajaran Islam dan Pancasila, memiliki kesehatan jasmani dan rohani, kemandirian serta tanggung jawab kemasyarakatan dan kebangsaan.
Keenam, IAIN dan masa depannya.
IAIN sebagai lembaga pendidikan tinggi agama di masa mendatang mempunyai peranan yang makin penting dalam mewujudkan cita-cita pendidikan nasional Indonesia, yaitu mencerdaskan kehidupan bangsa dan mengembangkan manusia Indonesia seutuhnya. Para lulusannya diharapkan menjadi manusia yang beriman, bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berbudi pekerti luhur, memiliki pengetahuan dan keterampilan, sehat jasmani dan rohani, berkepribadian yang mantap dan mandiri serta memiliki rasa tanggung jawab kemasyarakatan dan kebangsaan. Dalam rangka memenuhi harapan tersebut, maka: 1) IAIN harus menjadi pusat keunggulan, 2) sebagai upaya pengembangan kajian Islam, IAIN harus “berubah” menjadi Universitas Islam Negeri (UIN), 3) meningkatkan etos keilmuan di IAIN, 4) menyelenggarakan pengabdian kepada masyarakat.
Ketujuh, Pondok pesantren dalam menghadapi dinamika sosial.
Perubahan bangsa Indonesia dari masyarakat pedesaan dan masyarakat petani menjadi masyarakat perkotaan dan masyarakat industry dan perdagangan merupakan perubahan sosial yang mendasar. Pondok pesantren harus mampu menghadapi perubahan tersebut dan melakukan “antisipasi” yang kuat serta mampu mengikuti dinamika sosial budaya, khususnya dalam bidang pendidikan. Pesantren memang harus merespons zaman. Sebagaimana pesan Ali bin Abi Thalib “Didiklah anak-anakmu sesuai dengan zamannya, karena dia anak generasi zaman, bukan zaman di mana kau dididik atau mendidik”. Pondok pesantren memiliki peran penting sebagai dinamisator dan katalisator masyarakat Muslim dan lingkungannya yang berada dalam proses transformasi sosial yang didukung sederetan ciri-ciri positif, seperti: kemandirian, kesederhanaan, persatuan, dan kewirausdahaan. Karenanya, untuk kepentingan sendiri, pondok pesantren hendaknya mampu mengantisipasi laju perkembangan pembangunan, sebagai bagian dari penerjemahan jargon “Al-Islam shalih likulli zaman wa makan”. Islam itu sesuai dengan segala zaman dan semua tempat. Sehingga ujung dari dinamika tersebut adalah terjadilah kemaslahatan bagi umat dan bangsa (Al-maslahah al-ammah).
Itulah, sekilas uraian pokok-pokok pemikiran Tarmizi Taher tentang pendidikan dan dinamikanya. Semoga ide-ide cerdas dan segar di atas menjadi amal jariyah bagi beliau. Untuk lebih lengkapnya, pembaca dapat menelusuri lebih jauh dalam buku yang ditulis Wakhudin sebagaimana yang disebutkan di atas. [ahf]