PENILAIAN YANG “MENYEGARKAN” (Inspirasi untuk Pelaksanaan Ujian Nasional 2017)

Oleh Abdul Halim Fathani

KETIKA ujian akan dilaksanakan, maka pihak sekolah mulai sibuk. Baik Ujian Tengah Semester (UTS), Ujian Akhir Semester (UAS), atau ujian lainnya. Ada yang mempersiapkan berapa biaya yang harus dibayar siswa, nomor ujian, jadwal pengawas, desain ruangan ujian, bahkan ada beberapa sekolah yang memasang CCTV untuk membantu pengawas ujian. Bahkan, kalau ujian nasional (UN) berlangsung, pihak-pihak yang turut sibuk pun menjadi banyak. Mulai dari Bupati-Wali Kota, kepala dinas pendidikan, pengawas sekolah, semuanya ikut “menyukseskan” ujian nasional. Selain itu, juga ada pak polisi yang ikut mengamankan soal-soal ujian nasional agar tetap terjaga kerahasiannya. Parahnya lagi, karena standar kelulusan semakin naik, maka “terpaksa” pihak-pihak yang berkepentingan akhirnya membuat “Tim Sukses” ujian nasional.

Melihat realitas itu, kita patut merenung dan mempertanyakan, mengapa untuk penyelenggaraan ujian saja harus “ribut” seperti itu. Apakah untuk mengetahui kemampuan siswa harus dilaksanakan tes yang ketat seperti itu. Padahal, dalam keseharian praktik pembelajaran di sekolah pun, sebenarnya kemampuan siswa sudah dapat diketahui. Selanjutnya, bolehkah ujian sekolah diselenggarakan dengan cara “bebas”. Artinya, siswa dibiarkan membuka buku, sehingga tidak perlu lagi pengawas ujian, polisi, atau “tim sukses”. Konsekuensinya, soalnya pun tidak hanya seputar “pengetahuan” dan “pengertian” ansich, melainkan soalnya sudah pada tingkat aplikasi, analisis, sintesis, maupun evaluasi. (Baca lebih lanjut tentang Taksonomi Blom).

Untuk memperoleh wawasan tentang paradigma penilaian yang “menyegarkan”, marilah kita simak pidato Howard Gardner (pakar Multiple Intelligences) di Harvard University Tahun 1984.
“Suatu pemandangan umum yang dijumpai hampir di mana pun di Amerika Serikat dewasa ini adalah ratusan siswa masuk dalam aula berukuran besar untuk ujian. Mereka duduk dengan gelisah, menunggu bungkusan bersegel diberikan. Pada jam yang sudah ditentukan, lembar soal dibagikan, instruksi singkat diberikan, dan ujian formal dimulai. Aula itu sunyi saat siswa di masing-masing bangku memegang pensil 2B dan menghitami lingkaran yang menjadi jawaban di lembar tersendiri. Beberapa jam kemudian, ujian berakhir dan lembar soal dikumpulkan. Beberapa hari kemudian, lembar berisi nilai diumumkan. Hasil ujian pagi itu menjadi faktor yang amat menentukan dalam keputusan masa depan masing-masing siswa.

Masyarakat kita telah menerima model ujian formal sampai tingkat yang berlebihan. Saya percaya bahwa berbagai aspek dari model aktivitas belajar dan penilaian yang saya sebut “belajar dalam konteks” dapat diperkenalkan kembali dengan memberikan manfaat ke dalam sistem pendidikan kita. Berdasarkan hasil penelitian saya dan rekan Collins, Brown, dan Newman tentang asal-usul tes standard an pandangan satu dimensi kegiatan mental yang sering merupakan implikasi dari metode pengujian seperti itu, saya menyarankan perlunya pandangan yang lebih luas mengenai pikiran manusia dan mengenai manusia belajar daripada yang diinformasikan oleh pemikiran sebelumnya.

Saya yakin, kita harus meninggalkan jauh-jauh bermacam tes dan berbagai kaitan dengan tes, dan sebagai gantinya mencari sumber informasi yang lebih alamiah tentang bagaimana orang di seluruh dunia mengembangkan kemampuan-kemampuan yang penting bagi hidup mereka. Tugas saya di sini adalah memperkirakan bentuk pendidikan dan model penilaian yang berakar kuat dalam pemahaman ilmiah saat ini dan yang memberikan kontribusi untuk memajukan pendidikan di Negara Amerika yang tercinta ini”.

Pidato Howard Gardner di atas, sejatinya menjadi sumber inspirasi bagi kaum pembelajar untuk melaksanakan penilaian yang dapat memberikan informasi utuh terkait gambaran kompetensi siswa. Meminjam istilahnya Munif Chatib, paradigma penilaian seperti ini disebut dengan “Penilaian Autentik”. Ialah paradigma penilaian yang merujuk pada teori multiple intelligences. Teori multiple intelligences menawarkan perombakan yang cukup fundamental dalam penilaian sebagai output sebuah proses pembelajaran. Teori ini, menganjurkan sistem yang tidah bergantung pada tes standar atau tes yang didasarkan pada nilai formal, tetapi lebih banyak didasarkan pada penilaian autentik yang mengacu pada kriteria khusus dengan menggunakan tes yang memiliki titik acuan spesifik dan ipsative (tes yang membandingkan prestasi siswa saat ini dengan prestasinya yang lalu). (Chatib, 2009:153-155).

Lebih lanjut Chatib (2009:166) menyatakan bahwa paradigma penilaian autentik sangat berkaitan dengan aktivitas pembelajaran. Semakin banyak aktivitas pembelajaran mampu dinilai dalam portofolio, semakin baik pula hasil pembelajaran tersebut. Penilaian autentik perlu dilakukan terhadap keseluruhan kompetensi yang telah dipelajari siswa melalui kegiatan pembelajaran. Untuk itu, ranah yang perlu dinilai adalah ranah kognitif, psikomotorik, dan afektif. Ketiga ranah tersebut secara administratif direkam dalam sebuah portofolio.

Dengan penilaian autentik ini, maka dimungkinkan seorang guru akan memperoleh informasi seputar kompetensi siswa secara terbuka dan “jujur”. Sehingga penilaian yang dilakukan pun tidak lagi bertujuan untuk menjaga “martabat” dan “harga” sekolah sekaligus guru, apalagi bupati-wali kota maupun kepala dinas pendidikan, namun lebih pada menggali informasi tentang kompetensi siswa. Dan, tidak perlu lagi ada pengawas ujian maupun polisi. Dengan demikian, guru akan memiliki “peta kompetensi” siswa, yang dapat dimanfaatkan untuk membantu siswa dalam pengembangan kompetensinya. Jadi, penilaian bukan lagi urusan untuk memenuhi administratif formal saja, melainkan lebih pada penggalian dan pengembangan kompetensi siswa. [ahf]

Artikel ini dimuat di Harian Malang Post, 10 Januari 2017

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *