Oleh Abdul Halim Fathani
PENDIDIKAN kita sampai saat ini masih belum bisa (sepenuhnya) menunjukkan keadilan. Motto pendidikan untuk semua (education for all) masih sebatas mimpi. Kebijakan pemerintah terkait pemerataan pendidikan pun masih terkesan ada pemihakan pada kelompok tertentu. Belum lagi tentang hak anak untuk memperoleh pendidikan yang layak. Padahal dalam UU Sisdiknas Nomor 20 Tahun 2003, disebutkan bahwa prinsip penyelenggaraan pendidikan adalah diselenggarakan secara demokratis dan berkeadilan serta tidak diskriminatif dengan menjunjung tinggi hak asasi manusia, nilai keagamaan, nilai kultural, dan kemajemukan bangsa.
Dua pilar kebijakan di bidang pendidikan yang harus mendapat prioritas pemerintah adalah pemerataan dan perluasan akses pendidikan. Sebagaimana amanat UUD 1945, yang menyatakan bahwa pendidikan adalah hak setiap warga negara dan UU tentang HAM 1999 menyebutkan, pendidikan adalah hak asasi setiap manusia dan pendidikan bermutu adalah hak dari setiap warga. Sedangkan pilar lainnya adalah peningkatan mutu relevansi dan daya saing pendidikan. Dengan pilar ini kita tidak hanya menyebarkan akses pendidikan, tetapi juga ingin meningkatkan mutu pendidikan.
Kecerdasan
Setiap anak itu cerdas. Sesungguhnya setiap anak dilahirkan cerdas dengan membawa potensi dan keunikan masing-masing. Gardner (1983) mengenalkan Teori Kecerdasan Majemuk yang menyatakan sembilan kecerdasan. Yaitu, kecerdasan linguistik, kecerdasan matematis, kecerdasan spasial, kecerdasan musikal, kecerdasan kinestetik, kecerdasan interpersonal, kecerdasan intrapersonal, dan kecerdasan naturalis. Kemudian tahun 1999, Gardner menemukan jenis kecerdasan baru, kecerdasan kesembilan dalam teorinya, yang ia namakan kecerdasan eksistensial.
Sekolah, seharusnya menjadi tempat untuk menggali semua kecerdasan tersebut. Sekolah seharusnya tidak membeda-bedakan kecerdasan setiap (calon) peserta didik. Apapun kecerdasannya, sekolah harus mampu mendidik dan mengembangkan potensi kecerdasan masing-masing anak. Meminjam istilahnya Munif Chatib (2009) dalam bukunya ‘Sekolahnya Manusia’, sekolah seharusnya mengutamakan melaksanakan proses pembelajaran yang baik (the best process), bukan berlomba-lomba mencari calon siswa yang berprestasi baik (the best input). Kalau sekolah hanya bersedia menerima siswa yang pintar saja, lalu bagaimana nasib dan masa depan siswa yang (sementara) dianggap bodoh? Padahal, jelas sebagaimana amanat UU Sisdiknas, pendidikan diselenggarakan secara demokratis dan berkeadilan.
Memang ada beberapa alasan yang bisa dibenarkan. Di antaranya, ‘Penerimaan siswa baru ini dilakukan sistem seleksi, karena terbatasnya kuota masing-masing sekolah. Oleh sebab itu, agar dalam penerimaan siswa baru tidak amburadul perlu diatur mekanisme dengan melakukan tes seleksi.’ Sekilas kebijakan itu benar, namun akibatnya siswa yang diterima hanyalah siswa-siswa yang ‘sudah’ pintar. Akhirnya, siswa yang tidak lulus seleksi harus merelakan dirinya untuk belajar di sekolah ‘pinggiran’ yang sudah barang tentu kualitas pembelajarannya pun dipertanyakan. Bagaimana nasib masa depan mereka?
Sekolah ‘unggulan’ seharusnya menjadi milik semua warga negara, bukan hanya untuk yang “pintar” saja. Setiap warga negara mempunyai hak yang sama untuk memperoleh pendidikan yang bermutu (UU Sisdiknas No. 20 Tahun 2003, Bab IV pasal 5 ayat 1). Mengacu isi pasal tersebut, sudah selayaknya, ada perubahan mendasar terkait sistem penerimaan siswa baru. Sistem yang dipakai seharusnya tidak lagi memunculkan aspek diskriminatif dan harus menjunjung tinggi asas keadilan.
Terkait hal ini, penulis kurang sependapat dengan gebrakan Pemerintah Kota Yogyakarta tentang program pendidikan anak genius, sebagimana tulisan Ki Supriyoko (2012) yang berjudul ‘Mendidik Anak Genius’. Program ini justru melakukan ‘diskriminasi kecerdasan’. Anak genius yang memiliki tingkat kecerdasan luar biasa yang hanya mendapat layanan pendidikan ‘lebih’. Sementara, anak yang tidak genius mendapat pendidikan yang ‘apa adanya’. Seharusnya, semua anak dengan kondisi kecerdasan apapun dan bagaimanapun diperlakukan secara adil untuk memperoleh pendidikan yang bermutu. Kota Malang sebagai kota pendidikan sudah semestinya “menghargai” setiap anak usia sekolah untuk memperoleh kesempatan belajarnya secara adil.
Penulis mendukung langkah ‘kreatif’ Munif Chatib dengan paradigma ‘Sekolahnya Manusia’. Ialah sekolah yang menerima semua calon siswa dalam kondisi apapun yang sesuai dengan urutan pendaftar, asalkan kuota masih tersedia. Beberapa sekolah model ini telah menunjukkan keberhasilannya, seperti SDIT Insan Mandiri Jakarta, SMP Al-Khairiyah Surabaya, dan SMP YIMI Gresik. Sekolah ini merupakan model pendidikan yang fokus pada kualitas pembelajaran, bukan pada kualitas input siswanya.
Beasiswa
Akhir-akhir ini pemerintah gencar membuat program-program beasiswa pendidikan. Di antaranya beasiswa unggulan, Bidik Misi, beasiswa santri berprestasi, beasiswa dari keluarga miskin, dan masih banyak yang lain. Dari semua beasiswa tersebut masih terfokus pada dua hal, yakni untuk mereka yang berprestasi akademik dan dari keluarga golongan ekonomi kelas bawah. Lalu, bagaimana nasib mereka yang prestasi akademiknya rendah atau yang sering dianggap sebagai siswa ‘bodoh’? Bagi mereka dari keluarga ekonomi golongan menengah ke atas, tentu tidak ada masalah. Namun, bagi yang penghasilan ekonominya pas-pasan tentu perlu mendapat perhatian. Karena mereka tidak memiliki kesempatan untuk belajar dalam rangka meningkatkan kemampuannya. Akibatnya, keluarga mereka tidak dapat berubah nasib menjadi semakin baik.
Karena itu, pemerintah perlu (juga) menggalakkan pemberian beasiswa untuk kaum yang lemah secara akademis. Mereka “bodoh” justru karena miskin. Miskin harta kerap identik dengan miskin kesempatan. Tentunya, dengan menempuh pendidikan yang menjunjung tingga kualitas pembelajaran, mereka bisa menerobos lingkaran setan itu. Dengan belajar, mereka menjadi orang yang berpengetahuan dan berkemampuan. Si “bodoh” pun bisa naik derajat.
Kiranya, pendidikan yang menjunjung tinggi asas keadilan perlu segera direalisasikan. Di negeri tercinta ini, tidak sedikit warga Indonesia yang cerdas, kurang cerdas, bahkan ada yang benar-benar lemah secara akademik. Begitu juga dari tingkat ekonomi, ada yang lebih dari cukup, sedang, bahkan masih ada yang kurang. Semuanya dari mereka adalah saudara kita, warga Negara Indonesia. Mereka butuh pendidikan bermutu dalam rangka menyiapkan masa depan yang lebih baik. Pemerintah melalui Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan diharapkan membuat kebijakan pro rakyat, pendidikan layak yang berkeadilan.[ah.fathani@gmail.com]