Oleh Abdul Halim Fathani
ADA pertanyaan yang menggelitik dalam sebuah artikel ‘Pendidikan yang Membebaskan’ yang ditulis Saratri Wilonoyudho dalam Koran ini. Pertanyaannya, kalau seorang Suyudi saja bisa mengembangkan pendidikan yang kreatif dan menyenangkan, mengapa pemerintah tidak mengembangkannya juga? (Kompas (2/7/2012). Lebih lanjut, Wilonoyudho menulis ‘Yang terjadi di dunia persekolahan formal kita adalah stress karena anak-anak dikejar ketuntasan pelajaran yang membosankan, yang tidak terkait dengan kebutuhan dan realitas keseharian, serta ujian nasional yang menekan saraf psikologisnya.
Memang benar, selama ini jamak kita saksikan praktik pendidikan di sekolah justru menafikan sisi kemanusiaan. Potensi keunikan individu hilang akibat terbatasnya ruang untuk berkreasi. Yang muncul justru sebaliknya, lahirnya keseragaman pada anak. Anak-anak digiring untuk cerdas secara seragam dalam mata pelajaran tertentu, sebagaimana yang diujikan dalam ujian nasional. Ialah kecerdasan linguistik dan matematika. Lalu, bagaimana dengan anak yang potensinya di luar dua kecerdasan itu?
Jamak sekolah yang menganggap siswa bagaikan kertas kosong yang bebas untuk ditulisi apa saja semua gurunya. Bahkan, hal ini kebanyakan dilakukan sekolah-sekolah yang nota bene “dianggap” unggul oleh sebagian kalangan. Sekolah unggul inilah yang akan mencetak siswa menjadi “seragam”, yang ujung-ujungnya ketika di akhir tahun pelajaran dapat lulus ujian nasional dan memperoleh nilai (baca: angka) yang bagus pula. Dalam gaya belajar tradisional di ruang kelas, siswa mendengarkan penjelasan guru, lalu mengerjakan soal atau menuliskan ulang mata pelajaran tersebut. Untuk sebagian anak, hal ini tidak bermasalah. Tetapi banyak anak yang merasakan hal ini terlalu berat, membosankan, atau bahkan justru membingungkan. Haruskah metode ini dipertahankan terus?
Tidak semua anak cocok dengan model belajar yang dikembangkan di sekolah. Duduk tenang, mendengarkan penjelasan guru, dan belajar dengan cara membaca buku. Belajar di kelas dalam bentuk ceramah/kuliah yang dipadukan dengan membaca buku adalah sebuah model belajar yang umum dalam dunia pendidikan di sekolah saat ini. Model belajar ini sudah digunakan oleh jutaan manusia selama bertahun-tahun. Seolah-olah siswa dianggap seperti robot, yang dengan leluasa mau dibentuk/dicetak apa saja semau sekolah dan gurunya. Ketika guru “memaksa” siswanya untuk menerima materi pelajaran, maka tidak sedikit siswa yang mengaku bingung dan tidak bisa mencerna pelajaran secara baik. Ujungnya, siswa tersebut ketika ulangan/ujian gagal mendapat nilai baik. Parahnya lagi, siswa tersebut dianggap sebagai anak yang “bermasalah”.
Inilah tantangan bagi pendidikan kita. Setiap individu adalah unik. Artinya setiap individu memiliki perbedaan antara yang satu dengan yang lain. Perbedaan tersebut bermacam-macam, mulai dari perbedaan fisik, pola berpikir dan cara-cara merespon atau mempelajari hal-hal baru. Seharusnya pendidikan didesain untuk menggali keunikan individu, sehingga akan ditemukan beragam kecerdasan yang dimiliki anak. Jika demikian, sudah tentu pendidikan di sekolah akan lebih kreatif dan menyenangkan bagi siswa. Siswa diberikan ruang yang cukup untuk menunjukkan potensinya.
Kecerdasan majemuk
Sesungguhnya setiap anak dilahirkan cerdas dengan membawa potensi dan keunikan masing-masing yang memungkinkan mereka untuk menjadi cerdas. Gardner (1983) mengenalkan Teori Kecerdasan Majemuk yang menyatakan sembilan kecerdasan. Yaitu, kecerdasan linguistik/verbal/bahasa, kecerdasan matematis logis, kecerdasan visual/ruang/spasial, kecerdasan musikal/ritmis, kecerdasan kinestetik jasmani, kecerdasan interpersonal, kecerdasan intrapersonal, dan kecerdasan naturalis. Kemudian tahun 1999, Gardner menemukan jenis kecerdasan baru, kecerdasan kesembilan dalam teorinya, yang ia namakan kecerdasan eksistensial.
Sekolah, seharusnya menjadi tempat untuk menggali semua kecerdasan tersebut. Sehingga keberadaan sekolah benar-benar untuk melayani ‘kebutuhan’ anak. Nah, kalau sekolah hanya ‘mau’ melayani dua kecerdasan (linguistik dan matematik), berarti sekolah bisa jadi hanya melayani kemauan pemerintah. Akibatnya, potensi kecerdasan dan keunikan individu terabaikan. Kenyataan di atas menuntut agar siswa dapat dilayani sesuai perkembangan individual yang didasarkan atas potensi kecerdasan masing-masing. Konsekuensinya adalah pembelajaran perlu melayani siswa secara individual (atau kelompok) untuk menghasilkan perkembangan yang sempurna pada setiap siswa.
Musfiroh (2008:38) dalam bukunya ‘Belajar Sambil Bermain’, menjelaskan bahwa esensi teori kecerdasan majemuk menurut Gardner adalah menghargai keunikan setiap individu, berbagai variasi cara belajar, mewujudkan sejumlah model untuk menilai mereka, dan cara yang hampir tak terbatas untuk mengaktualisasikan diri di dunia ini. Sekolah yang didesain berdasarkan kecerdasan majemuk ini, oleh Munif Chatib dinamakan ‘Sekolahnya Manusia’.
Chatib (2009:50) menjelaskan bahwa dengan menerapkan pembelajaran berbasis kecerdasan majemuk, maka aktivitas mengajar adalah ibarat air yang mengisi ruang-ruang murid. Ketika murid adalah bagaikan botol, maka seorang pendidik dituntut untuk mampu menyesuaikan seperti botol; dan ketika siswa ibarat seperti gelas, maka seorang pendidik juga dituntut dapat mengikuti seperti gelas. Artinya dengan bekal kecerdasan majemuk, aktivitas mengajar harus sesuai (baca: disesuaikan) dengan gaya belajar setiap individu siswa.
Mengembangkan kecerdasan majemuk anak merupakan kunci utama untuk kesuksesan masa depan anak. Dengan mempertimbangkan dan melihat cara belajar apa yang paling menonjol dari masing-masing individu, maka seorang pendidik/orangtua diharapkan dapat bertindak secara arif dan bijaksana dalam memilih gaya mengajar yang sesuai dengan gaya belajar siswa/anak. Itulah Sekolahnya Manusia! Sekolah yang penuh kreatif dan tentu menyenangkan. Semoga tidak hanya mimpi. Segera teralisasi! [ahf]