oleh Abdul Halim Fathani
BULAN Juni-Juli adalah bulan “sibuk” bagi sekolah. Pelbagai kegiatan ikut meramaikan sekolah, mulai dari penyelenggaraan ujian akhir, class meeting, kenaikan kelas, wisuda purna siswa, hingga yang paling menyita waktu adalah penerimaan peserta didik baru termasuk juga penyelenggaraan tes untuk seleksi. Mendukung kegiatan itu, pihak sekolah biasanya gencar melakukan promosi pelbagai keunggulan dan keunikan sekolahnya, melalui brosur, radio, televisi, website, baliho, spanduk, dan lainnya. Semua itu dilakukan dalam rangka ingin mendapatkan peserta didik baru yang banyak dan berkualitas.
Kaitannya dengan penerimaan peserta didik baru ini, tentu bagi sekolah-sekolah di tengah kota yang acapkali disebut sekolah favorit atau sekolah unggulan, tidak perlu repot-repot promosi yang berlebihan. Biasanya justru calon siswa dan orangtua yang menyerbu sekolah. Sementara, bagi sekolah-sekolah pinggiran tentu harus berjuang keras untuk mendapatkan calon peserta didik baru yang “mau” belajar di sekolah tersebut. Mengapa demikian? Memang tidak bisa dipungkiri, bisa belajar di sekolah tengah kota yang oleh sebagian pihak dikatakan unggul adalah sebuah kebanggan tersendiri. Bisa diterima di sekolah tengah kota, seolah-olah sudah bisa disimpulkan bahwa anak tersebut adalah anak pilihan, yang cerdas dan pintar. Begitu sebaliknya, bagi siswa yang tidak diterima di sekolah tengah kota, harus rela belajar di sekolah di kampungnya, di pinggiran kota. Sehingga ada anggapan, mereka adalah bukan anak pilihan. Benarkan demikian?
Mari kita renungkan, selama ini, tidak jarang sekolah yang mengklaim dirinya sebagai sekolah unggulan. Beragam upaya dilakukan untuk mewujudkan hal tersebut, di antaranya melakukan sertifikasi ISO, menaikkan status sekolah menjadi SBI (Sekolah Berstandar Internasional), menyekolahkan tenaga pengajar ke jenjang magister (S2), dan lainnya. Bahkan, berdalih sebagai sekolah unggulan, siswa yang disaring pun hanya siswa yang memiliki kualifikasi akademik tinggi. Sehingga sangat sulit ditemukan siswa “bodoh” di sekolah-sekolah yang mengklaim sebagai sekolah unggulan tersebut.
Satu lagi, yang sudah menjadi rahasia umum bagi sekolah unggul adalah biaya pendidikan yang tidak lagi dapat dijangkau masyarakat ekonomi lemah. Alhasil, hanya siswa yang memiliki modal ekonomi tinggi saja yang dapat menikmati sekolah unggul tersebut. Hal inilah, yang menjadi akar munculnya kesenjangan bagi siswa bodoh dan pintar, siswa kaya dan miskin, dan sekolah unggul dan tidak (baca: belum) unggul. Parahnya, terdapat sebagian sekolah yang hanya menempelkan istilah “unggul” pada sekolahnya dengan tujuan menarik minat masyarakat agar mereka mau menyekolahkan putra-putrinya pada lembaga tersebut. Hal ini akan membuat citra pendidikan semakin tidak jelas dan tidak memiliki arah.
Namun, yang perlu mendapat perhatian adalah siswa unggul tidak mesti lahir dari sekolah unggulan. Kadang kita temukan siswa pandai yang justru keluaran dari sekolah-sekolah pinggiran yang fasilitasnya jauh dari kelayakan. Sementara, tidak ada jaminan sekolah unggul mesti melahirkan lulusan yang juga unggul. Ada juga siswa yang “amburadul” lahir dari sekolah unggulan. Melihat fakta demikian, maka yang menjadi pertanyaan adalah bagaimana sebenarnya seharusnya indikator sekolah yang mengklaim sekolah unggulan? Apakah sekolah yang hanya menerima siswa unggul atau sekolah yang bertekad untuk mencetak siswa-siswanya menjadi siswa unggul?
Unggul
Ide Munif chatib (2009) –sebagaimana yang ditulis dalam blog pribadinya- tentang sekolah unggul, yakni sekolah yang tidak menitikberatkan pada kualitas akademik siswa-siswa baru yang masuk ke sekolah. Dengan kata lain, sekolah unggulan adalah sekolah yang menganut paham ”The Best Process” bukan ”The Best Input”. Akibatnya, sekolah unggul seyogianya dengan suka cita menerima semua siswa dalam kondisi apapun. Lebih lanjut, Chatib mengurai indikator sekolah yang menganut ”The Best Process” sebagai berikut.
Pertama, Sekolah unggul tidak menerapkan tes masuk pada siswa barunya. Biasanya sekolah ini menggunakan sebuah perangkat riset untuk mengetahuai kondisi kemampuan siswa yang masuk ke sekolah tersebut. Perangkat ini dikenal dengan Multiple Intelligence Research (MIR) yang mampu mengetahui banyak dimensi kondisi kemampuan dan kekurangan siswa terutama tentang bagaimana gaya belajar siswa.
Kedua, Sekolah dan guru pada sekolah unggul akan mendapatkan sebuah kenyataan tentang kemampuan akademik dan moral siswa-siswa barunya sangat beragam. Sehingga hal ini merupakan tantangan bagi guru untuk mengubah menjadi ke arah positif. Akhirnya guru-guru di sekolah unggul dituntut menjadi ”agen perubah”. Mengubah kondisi akademik dan moral siswa yang negatif menjadi positif.
Ketiga, Menurut Tom J. Parkins, sekolah yang demikian merupakan sekolah yang sebenarnya, sekolah yang menerima segala kondisi siswanya. Kemudian kondisi itu dipelajari dan diteliti, lalu dengan data tersebut, para guru mencoba mengembangkan kemampuan siswa-siswanya dengan cara yang berbeda-beda. Sekolah unggul adalah sekolah yang menitik beratkan pada kualitas proses pembelajaran, dan ini ada pada pundak guru, bukan pada kualitas input siswanya.
Keempat, Guru-guru pada sekolah ini biasanya kreatif, sebab meyakini bahwa gaya mengajar guru tersebut harus disesuaikan dengan gaya belajar siswanya. Tuntutan mengajar dengan pola demikian hanya dapat dilakukan oleh guru-guru yang handal, punya dedikasi dan kompetensi mengajar yang baik. Dengan demikian sekolah yang menerapkan konsep ini, biasanya jadwal pelatihan guru sangat padat. Guru benar-benar diharapkan profesional dan menjadi agen perubah.
Sungguh, luar biasa jika setiap sekolah di Indonesia melakukan restrukturisasi sekolah unggulan sebagaimana indikator di atas. Setiap sekolah akan berlomba-lomba melakukan proses pembelajaran yang dianggap terbaik, yang tentunya akan berdampak pada kualitas lulusan yang baik pula. Dengan tidak melakukan seleksi siswa pada penerimaan siswa baru, maka akan meniadakan kesenjangan antara sekolahyang satu dengan sekolah yang lain, antara siswa satu dengan siswa lainnya.
Berpijak pada hal inilah, maka setiap sekolah –tanpa mengklaim dirinya sebagai sekolah unggulan- yang berhasil mengubah paradigma, dari the best input menjadi the best process dan the best output, maka secara otomatis, masyarakat akan mengklaim bahwa sekolah yang demikianlah, yang layak menjadi sekolah unggulan. Nah, sekarang tinggal bagaimana persepsi masyarakat secara umum? Mari kita ciptakan sekolah unggul yang memerdekakan pendidikan. [ahf]
Hello there! Do you know if they make any plugins to assist with Search Engine Optimization?
I’m trying to get my blog to rank for some targeted keywords but I’m not seeing
very good results. If you know of any please share.
Many thanks!