REFLEKSI UJIAN NASIONAL 2013

oleh Abdul Halim Fathani

AKHIRNYA ujian nasional (UN) tahun 2013 tetap dilaksanakan dan hasilnya pun sudah diumumkan. Meskipun banyak pihak yang sebenarnya tidak setuju dengan pelaksanaan UN. Di sisi lain, Mahkamah Agung dalam putusannya Nomor 2596 K/Pdt/2008 juga telah melarang pemerintah menyelenggarakan UN. Namun, pemerintah tetap bersikukuh menyelenggarakan UN. Nampaknya, pemerintah terus mencari argumen sebagai penguat pelaksanaan UN, salah satunya adalah demi peningkatan kualitas pendidikan nasional. Hasil UN dianggap dapat dijadikan untuk mengukur kualitas siswa dengan standar nasional.

Faktanya, dalam pelaksanaan UN tahun 2013 ini dinilai karut-marut, mulai dari tertundanya UN di 11 propinsi, kertas lembar jawaban yang tidak standar, banyaknya kasus kekurangan naskah yang akhirnya harus difotokopi, adanya dugaan ketidakberesan terkait tender pencetakan soal UN. Bahkan, Menteri Pendidikan dan Kebudayaan, Mohammad Nuh, pun mengakui “Saya akui, memang ujian nasional tahun ini tidak lazim,” katanya. Satu lagi, berbagai tindakan “aneh” yang menyertai UN adalah ritual keagamaan maupun klenik yang terlalu berlebihan dan mengada-ada.

Fakta lain, ternyata prestasi UN tahun 2013 ini tidak tergantung wilayah geografis sekolah. Hasil UN tingkat SMA/MA/SMK menunjukkan bahwa sekolah di daerah pinggiran juga bisa menuai prestasi. “Kita harus berbangga hati, sekolah di Denpasar, sekolah di Surakarta, sekolah di Medan, bahkan sekolah di Lamongan, bisa berprestasi tinggi pada UN. Hal ini semakin membuktikan bahwa kualitas pendidikan, yang dipotret dari hasil UN, tidaklah tergantung wilayah di mana sekolah itu berada,” demikian penegasan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan, Mohammad Nuh saat mengumumkan hasil UN tingkat SMA dan sederajat di Jakarta.

Namun, kita tidak boleh terburu-buru membuat kesimpulan bahwa sekolah di pinggiran mempunyai kualitas pendidikan yang lebih baik jika dibandingkan dengan sekolah di perkotaan. Tidak bisa digeneralisir seperti itu. Faktanya, tidak sedikit sekolah pinggiran yang juga terpinggirkan dari sisi kualitas pendidikan, baik dari segi fasilitas dan tenaga pendidiknya. Sebaliknya, tidak sedikit sekolah-sekolah di perkotaan yang ternyata juga memiliki konsep pendidikan yang jelas, fasilitas yang memadahi, tenaga pendidik yang berkualitas, dan seterusnya. Alhasil, kita tidak dapat membuat kesimpulan, hanya dengan mengandalkan hasil UN saja, Itu belum cukup. Apalagi sistem soal UN masih berbentuk pilihan ganda saja dan pelaksanaan UN 2013 ini menyisakan pelbagai permasalahan teknis. Pendidikan adalah sebuah proses yang panjang, bukan hasil. Lalu, untuk apa UN?

Pertimbangan
Melihat beberapa fakta “kegagalan” UN tersebut, sehingga membuat banyak pihak yang kemudian menyatakan bahwa saat ini merupakan momentum yang tepat untuk melakukan refleksi dan mengevaluasi pelaksanaan UN. Dengan kata lain, UN masih perlu dilanjutkan atau di-stop? Kalau dilanjutkan, maka harus segera dilakukan perbaikan di segala lini pelaksanaannya, mulai dari sebelum hingga pasca pelaksanaan. Begitu juga, jika memang di-stop, maka harus segera dicari solusinya. Terkait hal tersebut, terdapat beberapa hal yang patut menjadi pertimbangan, sebelum memutuskan, stop atau jalan terus.

Pertama, Setiap peserta didik adalah individu yang unik yang memiliki potensi kecerdasan masing-masing. Pendidikan sejatinya merupakan tempat dan sarana untuk mengembangkan potensi tersebut sesuai dengan yang dimilikinya. Ada siswa yang memang berpotensi di bidang musik, bidang olahraga, bidang kesehatan, dan bidang lainnya yang termasuk bidang yang tidak di-UN-kan. Mereka “dipaksa” harus ikut UN, sementara mereka lebih senang menekuni bidang sesuai dengan potensinya. Apa tidak sebaiknya, potensi yang dimiliki anak tersebut terus dikembangkan tanpa “mengganggu” dengan UN. Atau bisa jadi bidang studi yang di-UN-kan terdapat bidang-bidang tersebut atau siswa diberi keleluasaan pilihan untuk memilih bidang studi dengan memperhatikan potensinya.

Kedua, bentuk soal UN adalah pilihan ganda. Menurut Amril Aman (2013) dalam artikelnya berjudul “Darurat Pendidikan Nasional”, bentuk pilihan ganda sama sekali tak mampu mengukur kemampuan dan potensi akademis yang dimiliki siswa secara holistis. UN hanya mampu mengukur kemampuan berpikir sederhana dan kemampuan mengingat. Akibatnya, proses pendidikan diarahkan untuk membuat siswa mampu berpikir sederhana serta mampu mengingat berbagai katalog fakta. Dampaknya, sekolah lama-kelamaan akan berubah seperti lembaga bimbingan belajar (LBB) yang hanya mengajari siswa untuk menjawab soal-soal pilihan ganda. Sejatinya, siswa harus diajari bagaimana menyelesaikan masalah. Terkait hal ini, soal berbentuk uraian (essay) perlu dipertimbangkan.

Ketiga, masih terkait dengan nomor dua. Adanya UN dapat menggeser paradigma di kalangan tenaga pendidik. Para guru mengganggap kalau tugas mendidik mereka diukur dari tingkat kelulusan UN. Menurut Adam (2012) hal ini berakibat pada proses belajar selama 3 atau 6 tahun tidak lagi menjadi penting (process-oriented), tetapi justru hanya diukur pada saat ujian (result-oriented). Akibatnya, guru-guru yang mengajar bidang studi yang tidak di-UN-kan akan merasa “merdeka” tanpa beban. Sebaliknya, guru-guru matapelajaran yang di-UN-kan, gampang stres karena ada tekanan dari kepala sekolah, kepala dinas, maupun orangtua siswa, sangat sibuk karena harus mengisi bimbingan belajar untuk melatih siswa menjawab soal-soal pilihan ganda.

Keempat, Indonesia merupakan Negara yang luas dan heterogen. Oleh karena itu, pemberlakuan satu ujian kelulusan standar di seluruh Indonesia merupakan salah satu bentuk ketidakadilan terhadap pelaku pendidikan dan bentuk penyederhanaan permasalahaan secara berlebihan di saat sebaran mutu layanan pendidikan masih penuh ketimpangan. Pemerintah seyogianya fokus pada upaya pemerataan mutu pendidikan melalui berbagai pelatihan dan peningkatan SDM bagi guru, pemenuhan fasilitas dan sarana yang berkelanjutan, dan sebagainya.

Tidak Perlu?
Pelbagai pertimbangan di atas, lalu apakah membuat kita berkesimpulan bahwa UN itu tidak perlu? Tentu saja perlu, namun uraian di atas layak untuk menjadi pertimbangan. UN seyogianya tidak lagi hanya memperhatikan hasil akhir saja. UN juga harus memerhatikan heterogenitas budaya dan geografis sekolah. Lalu, bentuk soal UN sebaiknya tidak hanya berupa pilihan ganda, tapi juga ada soal bentuk uraian sehingga bisa meningkatkan daya analisis siswa dalam menyelesaikan masalah. Dan, UN memang tetap penting sebagai pemetaan pendidikan kita secara nasional dan perlunya tindak lanjut dari hasil UN untuk peningkatan dan pemerataan kualitas pendidikan nasional.

Yang lebih penting dan mendesak, pemerintah harus fokus pada upaya penjaminan layanan pendidikan bermutu bagi setiap individu, agar setiap warga Negara Indonesia mampu mengembangkan kecakapan dan sikap yang relevan dengan kehidupan di abad 21 dengan tetap berlandaskan dan tidak mengabaikan nilai-nilai kebudayaan nasional Indonesia. Semoga dengan akan hadirnya kurikulum 2013, sebagaimana kata Mohammad Nuh, benar-benar dapat mempersiapkan generasi Indonesia 2045 (100 tahun Indonesia Merdeka), sekaligus memanfaatkan momentum populasi usia produktif yang jumlahnya sangat melimpiah agar menjadi bonus demografi dan tidak menjadi bencana demografi.

Kalau memang terus diselenggarakan, tentu kita semua mengharapkan UN merupakan salah satu penilaian (evaluasi) di dunia pendidikan yang bisa dipertanggungjawabkan. Nilai-nilai pendidikan karakter (seperti kejujuran) harus benar-benar terinternalisasi dalam penyelenggaraan ujian nasional, mulai dari siswa, guru, kepala sekolah, kepala dinas, pejabat kementerian, menteri, hingga presiden. Termasuk juga pengawas independen dan pihak percetakan. Bukan sebaliknya, UN dijadikan aji mumpung sebagai “pengerukan proyek anggaran tahunan” yang berlebihan, proyek kerjasama dengan bimbingan belajar, dan perilaku lain yang melanggar nilai-nilai kepantasan dunia pendidikan.

Penulis sependapat dengan artikel Tomy Bawulang (2012) “Ujian Nasional: Refleksi Kebingungan Pemerintah dan Pemberontakan Guru”, bahwa, jika pemerintah memang berniat melakukan evaluasi secara nasional terhadap mutu pendidikan, evaluasi haruslah dilakukan sebagai satu rangkaian proses perbaikan mutu. Tujuan evaluasi bukanlah berakhir pada hasil lulus dan tidak lulus, tetapi lebih berorientasi pada memahami kelemahan sistemik dalam pendidikan secara holistik untuk kemudian menemukan solusinya. Hasil evaluasi kemudian harus menjadi bahan utama perumusan kebijakan strategis untuk peningkatan pendidikan. Sehingga evaluasi tidak dilakukan hanya untuk mempertahankan ritual tahunan dengan anggaran yang bombastis tanpa tujuan yang jelas.

Lebih lanjut, Bawulang berpendapat bahwa dengan mengubah orientasi UN menjadi evaluasi berkualitas, maka pihak sekolah dan guru tidak perlu kuatir akan hasil yang dicapai siswa, karena jika siswanya masih kurang berhasil maka guru memiliki ruang demokrasi untuk mengemukakan kendala yang mereka hadapi di lapangan sehubungan dengan hasil belajar siswa tersebut. Pemerintah, selanjutnya wajib menindaklanjutinya sebagai upaya perbaikan. Dengan demikian tidak ada pihak yang merasa dipermalukan apalagi terancam. Konsekuensi secara psikologis terhadap siswa pun akan lebih positif dan konstruktif.

Kita tentu ingin mendapatkan generasi Indonesia yang unggul. Generasi berkarakter yang selalu menjunjung nilai-nilai kejujuran yang dapat membangun Indonesia menjadi bangsa yang maju dan bermartabat. Oleh karenanya, penyelenggaraan pendidikan di negeri ini harus fokus pada upaya penjaminan layanan pendidikan yang berkualitas yang konsen pada pengembangan potensi bagi setiap siswa. Sehingga siswa yang merupakan generasi masa depan benar-benar menjadi manusia unggul yang memiliki sikap dan karakter positif berkarakter keindonesiaan. [ahf]

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *