oleh Abdul Halim Fathani
SISTEM pendidikan di Indonesia secara umum masih dititik-beratkan pada kecerdasan kognitif. Dalam faktanya, ketika ‘gawe besar’ yang bernama ujian nasional (UN) akan digelar, maka pihak sekolah akan disibukkan dengan berbagai persiapan demi untuk kesuksesannya. Mulai dari melakukan pengayaan materi, penambahan jam belajar, penguatan mental spiritual, dan doa bersama.
Tidak hanya itu, sebagian orangtua siswa pun ikut-ikutan ‘panik’. Dalam menghadapi UN banyak orangtua yang kemudian ‘menyekolahkan’ anaknya ke lembaga bimbingan belajar (LBB). Bahkan, tidak jarang fenomena ini kemudian –sengaja– dimanfaatkan pihak LBB untuk menjalin kerjasama dengan pihak sekolah dalam pengayaan materi terutama trik dan tips jitu dalam menjawab soal-soal UN dan menggelar uji coba (try out) UN.
Karakter selama ini
Makna pendidikan karakter yang selalu didengungkan banyak pihak akan dipertaruhkan dalam kejujuran UN. Meski sudah berjalan dalam kurun waktu yang lama, namun hingga saat ini kebijakan UN ini dinilai sebagian pihak masih kontraproduktif dengan semangat reformasi pembelajaran yang sedang giat-giatnya dikembangkan. Ialah pembelajaran yang berpusat pada siswa dengan mengembangan 3 aspek (kognitif, afektif, dan psikomotorik).
Faktanya sampai hari ini, soal-soal UN –masih– cenderung mengukur satu kemampuan ansich, ialah kemampuan aspek kognitif. Di sisi lain, pelaksanaannya syarat dengan kebohongan, contek masal, adanya ‘tim sukses’ UN, dan praktik-praktik kecurangan lainnya. Guru yang seharusnya memberikan teladan malah menjadi dalang penyimpangan.
Tentu, hal ini akan berdampak pada proses pembelajaran yang dikembangkan para guru di sekolah. Sangat mungkin, para guru tidak (akan) lagi antusias untuk menerapkan variasi model pembelajaran yang berpusat pada siswa. Khawatir materi yang disampaikan tidak akan tuntas. Para guru menjadi terjebak kembali pada model-model pembelajaran gaya lama yang lebih menekankan usaha untuk pencapaian kemampuan kognitif siswa, melalui gaya pembelajaran tekstual. Parahnya lagi, proses pembelajaran di kelas telah direduksi menjadi pembelajaran berbasis pelatihan dalam menjawab soal-soal ujian.
Adanya fokus berlebihan pada UN memang telah melunturkan semangat belajar dan suasana kesenangan dalam proses pembelajaran. Susana belajar berubah menjadi keterpaksaan dan ketakutan. Hal ini mengakibatkan pelbagai karakter negatif, di antaranya: usaha kecurangan masif dan sistematis, perilaku kecurangan kolektif, kecanduan pada bimbingan belajar dan latihan soal, serta berbagai aktivitas ritual keagamaan yang pragmatis.
Berpijak pada realitas itulah, pemerintah dalam hal ini Kementerian Pendidikan Kebudayaan maupun Dinas Pendidikan Daerah hendaknya jangan “tutup mata” akan permasalahan ini. Kejujuran pemerintah juga sangat dibutuhkan dalam pengembangan mutu pendidikan negeri ini. Kejujuran dalam melaksanakan program pendidikan sehingga tidak menjadi “proyek” pendidikan. Tetapi, benar-benar merevitalisasi pendidikan demi kemajuan bangsa ini. UN harus benar-benar steril dari karakter negatif.
Penyelenggaraan pendidikan di negeri ini harus fokus pada upaya penjaminan layanan pendidikan berkualitas yang konsen pada pengembangan potensi bagi setiap individu siswa. Sehingga siswa yang merupakan generasi masa depan benar-benar menjadi manusia unggul yang memiliki sikap dan karakter positif berkarakter keindonesiaan.
Kejujuran pengetahuan
UN tidak hanya menguji kecerdasan, tetapi juga menguji kejujuran siswa, guru, dan kepala sekolah, kepala dinas pendidikan, dan seterusnya. Terkait kejujuran, kiranya perlu dicari “format baru” bagaimana pola kejujuran dapat diinternalisasikan dalam praktik UN. Jujur artinya keselarasan antara yang terucap dengan kenyataannya. Karakter kejujuran berbasis pengetahuan harus diinternalisasikan dalam UN. Ketika UN, siswa harus dapat menyelesaikan (menjawab) soal-soal UN secara benar sesuai dengan standar minimal yang ditetapkan. Setiap siswa harus dapat memilih jawaban yang benar sehingga dapat mencapai prestasi yang baik dan siswa tersebut dapat dinyatakan lulus UN.
Nah, sekarang bagaimana agar siswa itu dapat lulus UN? Gampang saja, jawabannya adalah jujur. Berlaku jujur dalam menjawab soal berarti siswa harus mampu memilih jawaban yang “benar”. Jadi, jika ada pertanyaan yang jawaban benarnya adalah A, sedangkan pilihan B, C, D, dan E merupakan jawaban yang salah. Maka, siswa yang menjawab A, berarti ia telah berbuat jujur dalam pengetahuan, sehingga pantas ia mendapat “nilai” benar dalam pertanyaan tersebut. Tetapi, jika siswa memilih jawaban B, C, D, atau E maka siswa tersebut telah berbuat “bohong” terhadap pengetahuan. Hal ini disebabkan jawaban yang dipilih merupakan jawaban yang tidak benar dengan pertanyaannya.
Dengan kata lain, setiap siswa harus mampu berbuat jujur (baca: belajar) sehingga dapat menjawab pertanyaan sesuai dengan jawaban yang memang benar-benar jawabannya. Tetapi, jika siswa memilih berbohong atau memilih jawaban yang bukan jawabannya, maka ia akan dinyatakan tidak berhasil. Walhasil, jika ingin mendapat nilai seratus, maka siswa harus menjawab secara jujur.
Agar dapat menjawab setiap soal dengan jujur, maka dibutuhkan modal yang cukup. Artinya, siswa harus menguasai materi pelajaran. Maka, tidak ada cara lain kecuali dengan cara “belajar”. Belajar bisa berarti sebuah upaya dalam memahami materi pelajaran, tentu dengan gaya belajarnya masing-masing. Jika belajar ini didesain secara maksimal, maka kemungkinan untuk menjawab soal-soal secara jujur (baca: benar) memiliki peluang yang besar. “Hanya” dengan cara demikianlah kemungkinan angka ketidaklulusan UN dapat diminimalisir. Sisi positifnya, siswa harus “bertekad” belajar secara sungguh-sungguh yang akan berakibat pada kejujuran dalam menjawab soal-soal. Selamat Belajar. []
Artikel ini telah dimuat di TABLOID KORAN PENDIDIKAN, Edisi 460/IV/24-30 April 2013, halaman 19.