Oleh Abdul Halim Fathani
TULISAN Fathurrofiq yang berjudul “Komodifikasi Bimbingan Belajar” (Kompas, 8/2/10) menarik ditanggapi. Memang, diakui atau tidak, di Surabaya, Malang, Jember, dan kota-kota lain, menjelang digelarnya ujian nasional tidak sedikit pihak yang panik, baik siswa, orangtua, guru, kepala sekolah, bahkan dinas pendidikan daerah juga ikut-ikutan gelisah akan kekhawatiran menurunnya tingkat kelulusan siswa.
Akhirnya, banyak siswa yang setelah jam sekolah mereka berbondong-bondong meluncur ke tempat bimbingan belajar, les di rumah dengan mendatangkan guru privat, atau ada pihak sekolah yang justru menghadirkan tentor-tentor lembaga bimbingan belajar (LBB) untuk datang ke sekolah.
Dalam kondisi ini, para guru di sekolah sudah tidak terlalu percaya diri untuk mendampingi siswa dalam belajar. Karena, model soal UN adalah pilihan ganda, dan guru pun menganggap bahwa pihak LBB lebih berpengalaman dalam membimbing siswa untuk belajar mengerjakan soal, sehingga guru di sekolah terpaksa harus minggir dan mempersilahkan tentor LBB untuk membimbing siswa dalam mengerjakan soal-soal latihan sebagai persiapan menjelang untuk meraih kesuksesan dalam UN.
Secara umum bimbingan belajar diselenggarakan agar siswa dapat terampil mengerjakan pelbagai bentuk soal dengan mudah dan cepat. Siswa dilatih mengerjakan berbagai macam model soal yang diprediksi keluar dalam UN, sementara penguasaan konsep dan materi cenderung diabaikan. Dan, model belajar semacam inilah yang akhir-akhir ini lebih banyak disukai oleh siswa, karena ujian-ujian yang akan dihadapi siswa, baik UN maupun SNMPTN, tetap mempertahankan soal bertipe multiple choise.
Pemahaman materi
Hakikat belajar, sebenarnya tidak dapat dilepaskan dari proses pemahaman materi dan penguasaan konsep. Sekolah memainkan peran penting untuk dapat membentuk siswa yang memahami materi, menguasai konsep, dan terampil menjawab soal. Akan tetapi, tugas yang terakhir kebanyakan pihak sekolah angkat tangan. Padahal, ketiga hal tersebut selayaknya dirangkum dalam kegiatan belajar secara terpadu dalam satu kegiatan utuh dalam proses pembelajaran.
Hemat penulis, jika tiga tugas penting tersebut sudah mampu dilaksanakan oleh sekolah, maka tidak akan (lagi) muncul bimbingan belajar yang nota bene hanya dinikmati bagi pihak yang berduit dan cenderung merampas waktu “bermain” bagi siswa.
Sekolah, sebagai institusi pendidikan sudah seharusnya mampu menyediakan ruang dan waktu belajar yang berkualitas bagi siswa, baik terkait guru, sarana dan prasarana, lingkungan yang kondusif, dan sebagainya. Maraknya siswa yang menambah “beban” belajar di LBB, di antaranya disebabkan adanya ketidakpuasan belajar yang diperoleh sewaktu di sekolah.
Jika sekolah berhasil memberikan yang terbaik bagi siswa, tentu pihak sekolah tidak perlu (lagi) menghadirkan tentor dari LBB untuk membimbing siswa, karena hal ini hanya akan memperburuk citra guru sekolah di kalangan siswa dan orangtua. Satu hal yang perlu diingat, bahwa tugas sekolah bukan hanya membuat siswa mahir mengerjakan soal, tetapi juga harus mampu membangun pemahaman materi dan penguasaan konsep yang matang bagi siswa.
UN diselenggarakan agar diperoleh standardisasi pendidikan secara nasional dan digunakan sebagai pemetaan mutu pendidikan. Dengan dalih inilah, maka pemerintah akan terus bertahan untuk melaksanakan UN dalam setiap tahun. Akibatnya, tidak heran, jika pihak sekolah dan orangtua sepakat agar siswanya diberi latihan-latihan soal saja, sehingga penguasaan materi cenderung terabaikan. Pihak sekolah seolah-olah terjebak dan berubah seperti halnya sebuah bimbingan belajar.
Kegiatan semacam ekstrakurikuler sudah tidak diadakan lagi. Sungguh, tidak ada proses belajar yang sesungguhnya! Bukan hanya itu, kalau sebelumnya siswa menerima materi pelajaran dari banyak bidang, terkait UN, siswa hanya “boleh” menerima pelajaran yang di-UN-kan saja. Sehingga banyak siswa yang memiliki anggapan keliru, bahwa pelajaran yang tidak UN dianggap tidak penting, sehingga tidak perlu dipelajari (lagi).
Perlu kiranya model soal dalam UN dievaluasi kembali. Ujian nasional memang (tetap) (di)perlu(kan), tetapi yang harus segera diperbaiki adalah bentuk soal yang disajikan. Dengan UN, diharapkan siswa terpacu untuk belajar yang sesungguhnya, bukan hanya belajar menjawab soal-soal pilihan ganda. Bisa jadi, model soal dalam UN “bukan hanya” pilihan ganda, tetapi juga terdiri dari soal-soal esai dan berbasis proyek. Memang, hal ini akan membuat lebih rumit dalam persiapan dan pengoreksiannya. Tetapi, kita semua tentu sepakat bahwa pendidikan harus diselenggarakan dalam rangka meningkatkan kualitas lulusan. [ahf]
Tulisan ini telah dimuat di Kompas, 12 Februari 2010