Oleh Abdul Halim Fathani
TAK diragukan lagi, bahwa kelahiran Nabi Muhammad saw, sesungguhnya telah memberikan makna lain dalam kehidupan umat manusia. Sucipto (2002) menyebutkan, secara mendasar Nabi saw telah mampu mengadakan perubahan-perubahan signifikan dan meletakkan dasar nilai-nilai positif dalam menjalani kehidupan ini. Dalam konteks ini, ia secara cemerlang telah melakukan apa yang biasa disebut sebagai humanisasi spiritualitas yang telah lama terjebak dalam fatalisme akibat krisis moral bangsa saat itu.
Di samping itu, Akli (2010) dalam tulisannya yang berjudul “Maulid Nabi dan Nilai Reformasi” menegaskan bahwa lahirnya Nabi Muhammad saw merupakan rahmat bagi seluruh alam, terutama bagi yang bersedia dengan tulus untuk mengikuti ajarannya yang selanjutnya berisikan koreksi total terhadap keimanan, perilaku, dan akhlak manusia. Dan reformasi total terhadap sosio kultural, hukum, ekonomi, dan politik global. Ketika Nabi Muhammad saw dilahirkan, kondisi masyarakat Arab dalam kegelapan dan kebodohan (jahiliyah). Tatanan kehidupan sosial dan masyarakat kacau balau, perbudakan yang meruntuhkan martabat manusia, perekonomian dimonopoli oleh pemuka dan penguasa dalam kelompok (kabilah) yang kuat dan berpengaruh.
Melihat kenyataan itu, Nabi Muhammad saw diutus untuk melakukan reformasi. Berpegang teguh pada kebenaran Islam, istiqamah, dan amanah dalam menegakkan kebenaran dan keadilan meski tantangan, tekanan dan hambatan begitu dahsyat. Bahkan, datang dari pihak keluarga besarnya untuk menekan dan mengintimidasi.
Tradisi tahunan yang dirayakan setiap dua belas Rabiul Awal umat Islam memperingati kelahiran Nabi Muhammad saw, yang biasa disebut maulid Nabi ini bukan hanya dilakoni masyarakat pedesaan dan santri pesantren saja, tetapi instansi pemerintah pun ikut merayakannya. Hal ini membuktikan dan menunjukkan kecintaan sekaligus memuliakan kepada Rasulullah saw. Di Indonesia, perayaan maulid nabi berwujud dalam pelbagai bentuk. Ada yang merayakannya dengan menggelar pengajian, tabligh akbar, ziarah wali.
Namun, pada umumnya masyarakat merayakan maulid dengan membaca Barzanji, Diba’i atau al-Burdah. Barzanji dan Diba’i adalah karya tulis seni sastra yang isinya bertutur tentang kehidupan Muhammad, mencakup silsilah keturunannya, masa kanak-kanak, remaja, pemuda, hingga diangkat menjadi rasul. Karya itu juga mengisahkan sifat-sifat mulia yang dimiliki Nabi Muhammad saw, serta berbagai peristiwa untuk dijadikan teladan umat manusia.
Di tanah Jawa, tradisi ini telah ada sejak zaman walisanga, pada masa itu tradisi Maulid Nabi dijadikan sebagai sarana dakwah penyebaran agama Islam dengan menghadirkan berbagai macam kegiatan yang menarik masyarakat. Pada saat ini tradisi Maulid di Jawa, di samping sebagai bentuk perwujudan cinta umat kepada Rasul juga sebagai penghormatan terhadap jasa-jasa Walisanga.
Tradisi perayaan maulid nabi –sampai kini- masih menimbulkan pro kontra di kalangan masyarakat. Ihyaul (2010) menyatakan bahwa ulama mazhab Syafi’i secara tegas mengungkapkan dukungan dan menganggap hal itu sebagai sesuatu yang sah-sah saja dilakukan, Tetapi ulama dari mazhab Maliki menolak dengan berbagai argumentasi. Kedua pihak menyampaikan pemikiran melalui kitab-kitab yang mereka tulis secara panjang lebar.
Berdasarkan risetnya, Muthohar –penulis buku ini- memaparkan bahwa pertalian antara Syiah dan Sunni, saling pengaruh-memengaruhi di antara keduanya, sudah dimulai sejak lama. Oleh Karena itu, bukan guyonan jika almarhum Gus Dur mengatakan, “Nahdliyin, secara tradisi adalah Syiah”. Tak mengherankan jika ada sebuah teori- yang dibahas dalam buku ini- yang menyatakan bahwa penyebar Islam pertama di Nusantara adalah kaum Syiah. (hlm. vi).
Supani (2007) dalam artikelnya berjudul “Tradisi Maulid: Antara Pro dan Kontra” menyimpulkan bahwa polemik tentang peringatan Maulid adalah sarana untuk menguji keabsahan tradisi keagamaan dan bukan sekadar fenomena konflik internal antarkelompok dalam masyarakat Islam. Penolakan terhadap tradisi Maulid adalah sikap yang perlu diambil untuk menghindari munculnya perilaku berlebihan dalam mengaktualisasikan rasa hormat dan cinta kepada Nabi. Sikap berlebihan bisa saja terjadi karena silau dengan berbagai sifat kesempurnaan yang ada pada diri Nabi.
Pandangan pro dan kontra terhadap keberadaan tradisi maulid secara substantif tidak bertentangan antara satu dengan lainnya. Dua pandangan yang lahirnya bertentangan itu diperlukan untuk menciptakan asas keseimbangan (equilibrium). Seimbang karena menempatkan Nabi sebagai manusia pilihan yang kelahirannya patut diperingati, namun dalam waktu yang sama harus mengindahkan norma yang digariskan oleh Nabi sendiri.
Terlepas dari pro dan kontra sebagaimana di atas, perayaan Maulid Nabi masih dianggap sebagai tradisi baik yang sudah sepantasnya dilakukan oleh umat Islam. Selain untuk mengenang jasa-jasa Nabi Muhammad Saw. dalam menyebarkan ajaran agama, dengan merayakan maulid nabi dapat menumbuh-semaikan rasa cinta kepada Nabi Muhammad saw. Buku ini hadir dalam rangka mengupas tradisi perayaan maulid nabi di dunia Islam dan di Indonesia khususnya. Didukung dengan data penelitian yang cukup dalam, buku ini mengkaji asal-mula perayaan maulid, kapan mulai dicetuskan, dan bagaimana corak peringatan maulid dalam masing-masing tradisi. Melengkapi buku ini, di bagian akhir penulis melampirkan maulid ad-Diba’i . [ahf]
*) Resensi ini telah dimuat di Harian Duta Masyarakat, 20 Februari 2011
IDENTITAS BUKU:
Judul Buku : Maulid Nabi, Menggapai Keteladanan Rasulullah SAW
Penulis : Ahmad Muthohar
Penerbit : Pustaka Pesantren, Yogyakarta
Cetakan I : Februari 2011
Tebal : x + 120 halaman