Pendidikan yang Mengindonesiakan

Oleh Abdul Halim Fathani

PENDIDIKAN merupakan hal yang sangat penting untuk diperoleh anak-anak ataupun orang dewasa. Pendidikan menjadi salah satu modal dasar sekaligus penting bagi seseorang agar dapat berhasil dan mampu meraih kesuksesan dalam kehidupannya. Dalam faktanya, oleh sebagian kalangan pendidikan di Indonesia dinilai masih belum berhasil (baca: gagal) untuk mewujudkan kepentingannya, memanusiakan manusia secara holistik.

Selain gagal melaksanakan proses transfer pengetahuan (transfer of knowledge), sistem pendidikan di Indonesia juga gagal membentuk watak peserta didiknya. Krisis multidimensional akibat dari gagalnya tujuan pendidikan nasional, di antaranya masalah keterbatasan lapangan kerja, pengangguran, lulusan pendidikan yang kurang terampil, dan masalah moral.

Jika kita menilik pada visi pendidikan, sesungguhnya pendidikan diharapkan dapat mewujudkan pembangunan manusia seutuhnya. Manusia yang mempunyai daya saing, penuh kreasi, mandiri, berdaya dan berpartisipasi aktif dalam peningkatan hidup sesama. Selain merupakan fungsi pembangunan bidang ekonomi, persoalan kesejahteraan merupakan aspek penting yang harus dicapai dalam rangka proses pendidikan. Pendidikan yang menyejahterakan adalah pendidikan yang membebaskan, terutama membebaskan dari kebodohan, keterbelakangan, dan kemiskinan, tiga unit masalah yang menjadi kewajiban sektor pendidikan (Sanusi: 2008).

Malik Fadjar (2005:103) berkeyakinan bahwa pendidikan merupakan wahana ampuh untuk membawa bangsa dan negara menjadi maju dan terpandang dalam pergaulan bangsa-bangsa dan dunia internasional. John Naisbitt dan Patricia Aburdence dalam Megatrend 2000 mengatakan, “Tepi Asia Pasifik telah memperlihatkan, Negara miskin pun bangkit, tanpa sumber daya alam melimpah asalkan negara melakukan investasinya yang cukup dalam hal sumber daya manusia”. Sudah tidak diragukan lagi, bahwa pendidikan merupakan investasi masa depan yang berharga untuk kemajuan dan kesejahteraan sumber daya manusia. Artinya, semakin besar investasi yang ditanamkan hari ini, semakin besarlah peluang memetik keberhasilan dari investasi tersebut di masa mendatang.

Kondisi dewasa ini –sebagaimana yang dilontarkan Winarno (2009:183) dalam bukunya “Pendidikan Nasional: Strategi dan Tragedi”, menunjukkan bahwa fokus perhatian pendidikan yang terkait dengan pendidikan berbangsa, masih terlalu samar-samar dan tidak terfokus pada isu-isu yang bersifat fundamental eksistensial. Tekanan yang berlebihan pada pembelajaran yang bersifat skolastik dan akademik mengorbankan kepentingan pendidikan yang bersifat menyeluruh, dan pendidikan berbangsa direduksi hanya sebagai sebuah mata pelajaran yang menduduki posisi kurang penting.

Di sisi lain, jikalau kita melihat realita yang terjadi di masyarakat, kebanggaan menjadi bangsa Indonesia telah mulai luntur. Hedonisme yang melanda masyarakat merupakan salah satu bentuk fenomena negatif yang menggambarkan bahwa kemerdekaan dan segala manfaatnya diterima sebagai sebuah kewajaran begitu saja, tanpa pemahaman yang mendalam. Pelbagai permasalahan bangsa telah disikapi dengan perilaku yang menggambarkan bahwa kecerdasan hidup bangsa semakin menurun. Pendidikan ternyata belum mampu menyentuh segi-segi persoalan berbangsa tersebut.

Adalah Prof. Dr. Winarno Surakhmad, MSc. Ed.,merupakan tokoh bidang pendidikan nasional yang merilis konsep pendidikan yang bertitik-tolak dari pesan-pesan mengenai peranan pendidikan nasional berdasarkan Pancasila dan kebudayaan Indonesia. Berdasarkan pengalamannya yang segudang dalam dunia pendidikan di Barat, Profesor Winarno tetap berpijak pada kenyataan-kenyataan sosial di negeri sendiri tanpa terpengaruh oleh konsep-konsep Barat yang belum tentu diterapkan di Indonesia.

Oleh karena itu, tidak heran jika Tilaar (2009) dalam pengantar bukunya, mengemukakan bahwa sosok Prof. Dr. Winarno merupakan pengejawentahan dari dua buah komitmen yang sangat menonjol, komitmennya sebagai seorang nasionalis luar-dalam dan sebagai seorang pendidik nasional yang mendambakan “pendidikan yang mengindonesiakan.”

Salah satu bukti yang menunjukkan semakin banyaknya praktik penyelenggaraan pendidikan yang tidak “Indonesiawi” dapat dilacak dalam buku yang ditulis Prof. Winarno (2009:426). Beliau berargumen bahwa pada umumnya, negara yang sedang berkembang tampak makin bahkan sudah terbiasa menempuh jalan pintas untuk secepat, semudah, semurah, dan seaman mungkin menemukan solusi untuk ‘mengatasi’ problem pendidikan masing-masing. Jalan pintas itu adalah jalan yang pada dasarnya mencontoh atau meniru hampir apa saja yang telah terjadi di negara yang sudah lebih maju.

Peniruan itu terjadi pada semua jenjang pendidikan formal dan nonformal, mencakup spektrum yang luas, dari mulai pendidikan prasekolah sampai pada pendidikan tingkat tertinggi. Sehingga tidak heran, jika dewasa ini kerap kali kita jumpai sekolah yang menawarkan pelbagai standar internasional, misalnya standar Cambridge, Amerika, Timur Tengah. Padahal, hal itu tersebut belum tentu sesuai dengan kultur yang terjadi di Indonesia. Tantangan bagi kita adalah, bagaimana dapat menunjukkan dan membuktikan, bahwa pendidikan standar Indonesia (juga) dapat berdaya saing di kancah percaturan internasional.

Lebih lanjut Winarno (2009:189) menjelaskan bahwa pada saat dalam dunia pendidikan terjadi keretakan dalam makna berbangsa dalam konteks individual, maka dikhawatirkan dimensi nasionalis berbangsa juga akan sirna. Oleh karenanya, eksistensi bangsa Indonesia terancam oleh kekuatan disintegratif yang datang tidak lagi dari luar saja, tetapi juga dari dalam dirinya sendiri. Kembali kita harus mempertanyakan makna pendidikan kita berpredikat nasional. Kalau pendidikan nasional belum tentu terkait dengan nilai-nilai nasional, dan belum menjadi kekuatan yang menentukan dalam membangun nasionalisme Indonesia sebagaimana yang diamanahkan oleh konstitusi. Pertanyaan selanjutnya ialah, Apakah tidak mungkin bahwa pendidikan yang –telah- berpredikat nasional itu dalam rohnya justru bersifat a-nasional, kalau bukan anti-nasional? Semoga saja tidak!

Kini, sudah waktunya, pihak-pihak yang “berkepentingan” dengan pendidikan memperjuangkan eksistensi profesionalis keguruan, profesi yang merupakan pilar utama praksis pendidikan selain infrastruktur, sarana, dan kurikulum; sebuah perjuangan tidak kenal lelah yang juga diperjuangkan oleh tokoh-tokoh pemerhati praksis “pendidikan nasional” era 70-90-an seperti Slamet Imam Santoso, Mangunwijaya, Drost, Tilaar, Soedijarto. Siapa pun yang concern dengan dunia pendidikan –perlu- segera mengurai pelbagai problem sekaligus memberi tawaran-solusi cerdas yang dapat dicoba-terapkan demi menyelamatkan pendidikan Indonesia (tetap) memiliki watak dan kekhasan sendiri sesuai dengan kultur masyarakat Indonesia. [ahf]

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *