Kepemimpinan Guru: Transformator Perubahan dalam Kelas

Oleh Angga Teguh Prasetyo

Menjadi guru merupakan tugas kekhalifahan. Artinya menjadi pemimpin bagi siswa-siswanya di kelas. Kepemimpinannya bukan layaknya jenderal yang memerintahkan para siswa untuk mematuhi segenap perintah, nasihat, pituduh, petunjuk hingga (maaf) “gurauannya”. Ia bak seorang “Nabi”. Meski “kaum” (baca: siswa)-nya membandel, ia tetap berusaha untuk sabar, mendampingi bahkan kalau perlu memberi totalitas semangat kepada siswanya untuk “mati-matian” merengkuh anggur pendidikan. Atau dalam bahasa yang lagi disukai para intelektual masa kini, ia beranjak dari kepemimpinan yang otoriter menuju kepemimpinan profetik yang partisipatoris. Untuk itu, tak salah bila, dalam literatur agama, guru diidentifikasi sebagai pewaris Nabi, pelanjut sekaligus eksekutor perubahan.

Dengan demikian, kata kunci menjadi guru adalah perubahan. Karakter perubahan menjadi urat nadi guru dalam membentuk siswa menjadi sosok utuh. Tak bisa dipungkiri, bahwa untuk memahami dunia yang begitu cepat, dibutuhkan kemampuan dalam memahami percepatan zaman. Sosok yang demikian, setidaknya menjadi garis terdepan dalam gejolak waktu. Memami zaman, waktu, situasi dan kondisi memerlukan perangkat keilmuan. Sebagai seseorang yang kehidupan sehari-hari bergelut dengan keilmuan, guru seharusnya menjadi pihak terdepan. Ia bukan seorang dukun, yang menangkap fenomena dengan penjelasan berbau klenik atau kerangka pemikiran di luar nalar kebiasaan. Ia yang mengawali mengajarkan membaca fenomena dengan pola pikir yang sistematis dan holistik. Sebab, hal inilah yang menyulut siswa-siwanya untuk dijadikan sebagai tradisi dalam mengamati, menganalisis hingga memberi kesimpulan pada sesuatu, entah itu fenomena ataupun hal-hal biasa. Guru yang demikian, memliki komitmen serius dalam menyebarkan benih-benih perubahan. Juga menjadi ‘”Ibu” yang mampu melahirkan jutaan siswa yang cinta peradaban.

Spirit dasar guru tersebut seharusnya mampu diterjemahkan dalam ruang yang paling mikro yaitu kelas. Gagasan, pemikiran, perbuatan, sikap hingga ciptaan dari guru, meski dibatasi oleh sekat-sekat tembok yang menutupi kelas, namun asa maupun hasil dari aktifitasnya itu harus mampu menembus bahkan memberikan sinar dan pencerahan bagi dunia yang di luar kelas dia mengajar. Dengan kata lain, sebagai dasar dalam menumbuhkan kompetensi kepribadiannya, guru yang mengajar di kelas, dituntut memiliki visi dan misi pengajaran yang bersifat global dan lokal. Global mengandung pengertian, bahwa materi dan bahan ajar yang diberikan kepada siswanya, mampu menjawab tantangan masyarakat dunia. Sedang lokal mengandung makna bahwa nilai pendidikan yang ditanamkannya mempunyai akar budaya dan tradisi tempat siswa tersebut tinggal.

Membawa siswa untuk memahami misi dan visi guru dalam mengajar, memang tidak gampang dan disadari bahwa hal itu membutuhkan waktu yang lama. Namun yang harus diingat bahwa hal yang demikian bukanlah sesuatu yang mustahil. Salah satu hal yang dapat mengenalkan tentang visi dan misi mengajar guru agar dipahami sekaligus diwujudkan bersama dengan siswa adalah sikap pengorbanan.

Sebagai pemimpin di kelas, pengorbanan menjadi kepribadian yang tidak bisa ditinggalkan dari sosok guru. Pengorbanan kepada anggota merupakan salah satu ciri pemimpin yang berkualitas. Bila hal itu diterjemahkan dalam kelas. Pengorbanan guru pun tdak kalah dengan pengorbanan seorang jenderal kepada tentaranya. Menjadi pemimpin di kelas, guru harus bersiap-siap mengorbankan waktu, tenaga hingga kalau perlu dana, untuk membantu siswa memahami berbagai materi pelajaran. Pengorbanan seperti itu menjadi bukti dedikasi guru dalam membangun pembelajaran yang menghadirkan kekayaan pengetahuan dan nilai. Meski kemudian pengorbanannya terkadang tidak tercatat dalam sejarah, namun bekas-bekasnya masih bisa tercium dan terlacak dari keberhasilan siswa-siswanya. Bagaimana sang guru mengajarkan sesuatu kepada siswa, melalui perbuatan, mimik senyuman, kata-kata, hingga kebiasaannya terkadang tanpa disadari ditiru oleh siswanya.
Ini yang akan menjadikan siswa tidak hanya termotivasi untuk belajar mebgenai materi pembelajaran namun juga berinisitaif secara mandiri untuk menggali nilai di balik materi pembelajaran tersebut. Meniatkan diri untuk memberikan pelayanan pembelajaran dari segi koginiti, afektif dan psikomotorik, sesungguhnya guru juga sedang membangun dirinya untuk melatih cara mengajar holistik dengan tiga aspek penting pendidikan tersebut. Itu artinya dengan selalu memperbaiki pelayanan pembelajaran, guru pada dasarnya memperbaiki dan memperbaharui kemampuannya untuk menjadi lebih baik lagi.

Karakter dasar guru dalam pembelajaran adalah pelayanan. Maka, pendampingan, pembimbingan, pembinaan, pelatihan, dan pengembangan merupakan deretan kata yang menjadi bentuk pelayanan guru kepada siswa.
Oleh karena itu, dalam menghadapi kompetisi global yang keras, sekolah membutuhkan sesosok “guru” transformatif. Kepemimpinannya dalam pembelajaran tidak hanya diukur dari standar kualifikasi sebagaimana tercantum dalam PP No. 19 tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan ataupun PP No. 74 tahun 2008 tantang guru. Lebih dari itu, di samping memahami regulasi yang berlaku, ia dituntut mampu melampaui pemkanaan positif atas segala tuntutan yang dialamatkan kepadanya. Dalam melaksanakan profesinya, ia tergerak untuk melakukan kegiatan belajar mengajar atas dasar filosofis, sosiologis, hingga agamis dari norma yang berlaku di tempat ia berdomisili.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *