Upaya Standardisasi Pesantren, Perlu Dikaji Ulang

Oleh A Halim Fathani

Kementerian Agama berencana mengkaji standarisasi pendidikan pesantren. Sebab, selama ini belum ada aturan baku yang bisa dijadikan acuan sistem pendidikan berbasis agama itu. Hal iini dikemukakan Menteri Agama Drs. H. Suryadharma Ali, MSi yang didampingi Direktur Jenderal Pendidikan Islam (Dirjen Pendis) Kementerian Agama Prof. Dr. Mohammad Ali dalam kunjungan kerja ke Pondok Pesantren Terpadu Al-Yasini, Kraton, Pasuruan, Jawa Timur (Jatim), Sabtu (23/1). “Ini mencari solusi agar lulusan pesantren, terutama salafiyah, bisa mendapatkan pengakuan legal-formal dari pemerintah,” ujarnya. Menag menyampaikan hal itu menanggapi aspirasi alim-ulama, pengelola, dan pengasuh pesantren salafiyah yang sering terkendala masalah administrasi pendidikan, seperti ketiadaan ijazah bagi para alumni. “Sistem pendidikan pesantren, terutama salafiyah, memiliki keunggulan dalam penguasaan pengetahuan agama yang spesfik semisal tafsir, hadis, fikih, dan sebagainya. Apalagi, para santri keluaran pesantren unggul dalam peran-peran kemasyarakatan (social building-Red). Karena itu, sayang kalau mereka belum mendapat pengakuan legal-formal dari pemerintah,” ujar Menag yang menyebut kini jumlah pesantren terus meningkat, bahkan mencapai angka 23.000 unit di seluruh penjuru Tanah Air. (Cuplikan berita berjudul “Kementerian Agama Kaji Standarisasi Pendidikan Pesantren” yang dipublikasikan di website http://pendis.depag.go.id/index.php?a=detilberita&id=4573).

Melihat Realitas

Pesantren, pada umumnya lahir dari gejala masyarakat yang tidak sengaja. Pada umumnya, di suatu masyarakat terdapat seorang (atau lebih) penduduk asli maupun pendatang yang dianggap memiliki keahlian di bidang agama dan lainnya yang mampu menjadi rujukan bagi masyarakat untuk menyelesaikan pelbagai problem yang dihadapi serta memiliki kewibawaan yang tinggi. Bahkan, banyak juga warga masyarakat yang datang dari daerah lain datang ke orang yang dianggap memiliki kemampuan lebih tersebut. Ada juga yang rela menginap beberapa malam, hingga keperluannya terselesaikan. Selanjutnya, orang ini saya sebut sabagai KYAI. Saking banyaknya tamu yang datang, sehingga kyai tersebut mempersilahkan tamunya untuk menginap di rumahnya, bahkan juga membangun pondokan (kamar-kamar) kecil yang dibantu oleh masyarakat sekitar.

Motivasi atau alasan masyarakat yang datang pun beraneka macam. Ada yang disebabkan memiliki problem keluarga yang tidak terselesaikan, ada yang keluarganya sakit lalu minta didoakan, ada juga yang ingin menuntut ilmu, ada yang “hanya” sekedar silaturrahim, dan sebagainya. Melayani tamu yang juga tidak sedikit ini, sang Kyai dengan ikhlas tetap melayaninya, sehingga warganya merasa senang dan tentram.

Dalam perkembangan selanjutnya, akhirnya Kyai –dengan dibantu masyarakat sekitar- membangun pondokan yang permanen, akhirnya dalam kompleks rumah kyai tersebut, berdirilah pondokan yang layak huni dan dilengkapi dengan masjid. Berbagaio aktivitas pun berjalan secara alamiah. Di samping tetap melayani masyarakat yang ingin bertemu,sang kyai juga rutin memberikan pengajian kepada warganya. Selain itu, juga memberikan pengajian rutin kepada santri-santrinya yang menetap di pondok. Di samping pengajian dari Kyai, akhir-akhir ini pondok pesantren juga telah banyak yang menyelenggarakan pendidikan formal berbasis keagamaan, mulai dari MI, MTs, MA, hingga perguruan tinggi Islam. Tetapi, masih banyak pondok yang “hanya” menyelenggarakan Pendidikan pesantren yang “ala kadarnya”. Namun, yang perlu diingat adalah kualitas lulusan dari pesantren model ini ternyata tidak kalah bersaing dalam masyarakat. Malahan, mereka seringkali tersandung persyaratan administrasi yang formal, yakni tidak memiliki ijazah. Walhasil, bagi lulusan pesantren yang hanya menyelenggarakan pendidikan non formal ini tidak bisa melakukan perannya secara maksimal.

Kualitas: antara Formalitas dan Realitas

Sampai saat ini, kita masih dihadapkan dua pilihan, antara formalitas dan realitas. Terkait standarisasi pesantren, memang kita tidak boleh tergesa-gesa. Hal ini harus dilihat akar permasalahan yang sebenarnya. Kalau kita menyimak uraian tulisan di atas, maka dapat diambil kesimpulan, bahwa pesantren merupakan lembaga pendidikan yang benar-benar lahir secara alamiah, sehingga lembaga ini benar-benar dekat dengan masyarakat.

Apabila suatu pesantren telah dikelola dengan manajemen yang rapi dan menyelenggarakan pendidikan secara formal, maka otomatis santri yang lulus akan menerima ijazah sebagai bukti legalitas formal kalau ia telah menyelesaikan studi di pendidikan tersebut. Namun, yang perlu diingat adalah bahwa dalam selembar ijazah tersebut belum mampu menggambarkan kualitas keilmuan yang dimiliki pada saat itu juga. Sehingga, kadang kita jumpai, ada lulusan yang memiliki nilai jelek tetapi pada saat ia menggunakan ijazah sebagai keperluannya, justru kemampuannya lebih baik. Sebaliknya, ada juga santri yang nilainya bagus, tetapi pada saat ia memakai ijazah, kondisi keilmuannya justru menurun.

Tetapi, pada pesantren yang belum (baca: tidak) menyelenggarakan pendidikan formal. Artinya, lulusannya tidak dibekali dengan ijazah, maka lulusannya tersebut hanya memiliki modal keilmuan yang ia miliki. Hal ini tentu menjadi tantangan tersendiri bagi santri tersebut, bagaimana mereka mampu meyakinkan kepada masyarakat, bahwa sesungguhnya ia memiliki kemampuan di bidang tertentu, meski tanpa selembar ijazah.

Dengan demikian, kita dalam melihat kemampuan seseorang tidak boleh terjebak pada selembar ijazah saja. Tetapi, juga tidak boleh mengabaikan Ijazah. Ijazah sangat berguna bagi keperluan administrasi. Oleh karena itu, hemat penulis dalam hal ini kita harus mampu melihat suatu lulusan –baik dari pesantren “formal” maupun “non-formal” secara utuh. Artinya, antara formalitas (ijazah) dan realitas harus diperhatikan secara seimbang. Karena, standardisasi pesantren secara formal, yang mengabaikan kondisi riil, tentu akan berakibat buruk bagi masa depan pesantren, dan pendidikan di Indonesia pada umumnya. [ahf]

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *