Guru Besar, Kyai di Perguruan Tinggi

Oleh A Halim Fathani

Berita yang menggembirakan! Harian Kompas (2/2/10) halaman F menginformasikan bahwa, Menteri Pendidikan Nasional –Mohammad Nuh sejak menjabat Menteri Pendidikan sampai sekarang, dia sudah menandatangani sekitar 250 pengajuan guru besar. Sungguh, ini merupakan kebanggaan kita bersama, bahwa Indonesia telah memiliki orang-orang yang “berilmu” dalam jumlah yang semakin banyak.

Di beberapa perguruan tinggi di surabaya, pada Januari 2010, sudah ada beberapa guru besar yang dikukuhkan. Universitas Airlangga dan Universitas Negeri Surabaya sudah mengukuhkan masing-masing 6 guru besar, sedangkan Institut Teknologi Sepuluh Nopember 5 guru besar, Universitas 17 Agustus dan Sekolah Tinggi Ilmu Ekonomi Perbanas masing-masing mengukuhkan seorang guru besar. Belum lagi, beberapa perguruan tinggi di kota lain.

Terkait hal ini, Muhammad Nuh menuturkan bahwa “Seorang guru besar tidak pantas bila hanya top di lingkungan jurusannya, tetapi juga di tingkat nasional dan internasional. Selain itu, guru besar juga harus membawa pengaruh dan kontribusi pada masyarakat secara luas. Semoga, ke depan, Indonesia terus memiliki guru besar yang jumlahnya semakin banyak dan diimbangi dengan kualitas yang unggul.

Jika kita merenungkan apa yang dituturkan oleh M. Nuh-mantan Rektor ITS Surabaya di atas, beliau mengharapkan bahwa seorang guru besar di samping memberi manfaat bagi pengembangan keilmuan di masing-masing perguruan tinggi, juga diharapkan dapat menyumbangkan pemikiran keilmuannya di masyarakat secara lebih luas, tentu sesuai dengan bidang keahlian masing-masing. Dengan kata lain, memaksimalkan peran pengabdian masyarakat. Di sisi lain, juga diharapkan selalu melakukan kajian dan kajian demi pengembangan keilmuan yang digelutinya.

Kalau boleh saya ilustrasikan, seorang guru besar di perguruan tinggi ini, layaknya seperti seorang kyai di sebuah pesantren. Selama ini, di beberapa pesantren, identik dengan spesifikasi keilmuan yang dimiliki kyai yang mengasuhnya. Misalnya, ada pesantren ilmu alat (pesantren yang biasanya menguatamakan untuk mempelajari ilmu nahwu-sharaf), lalu ada pesantren fiqih, pesantren tasawuf, pesantren “dukun” dan seterusnya. Pelabelan pesantren sebagaimana tersebut biasanya dirujukkan pada kyainya. Hal ini akan memudahkan masyarakat ketika meminta bantuan kepada seseorang kyai (baca: aspek pengabdian masyarakatnya). Misalnya, ada seorang yang ingin berkonsultasi masalah X, maka ia harus datang ke kyai A, begitu juga jika memiliki keperluan Z, maka ia harus mendatangi ke kyai B, dan seterusnya.

Dengan demikian, peran seorang kyai, selain terus menggembleng santrinya di pesantren, dan melakukan kajian pengembangan keilmuannya, juga aktif dalam hal membantu menyelesaikan berbagai problem di tengah kehidupan masyarakat. Begitu juga seorang guru besar. Kalau Kyai di Pesantren selalu menjadi rujukan akhir oleh santri dan masyarakatnya, maka seorang guru besar juga menjadi rujukan akhir oleh setiap mahasiswa dan masayaraktnya. Selamat berjuang! [ahf]

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *