Apa Umurmu?

Oleh A Halim Fathani Yahya

Tidak banyak, di antara kita yang sadar akan kekeliruan pemakaian bahasa Indonesia dalam komunikasi sehari-hari. Entah, itu disengaja maupun yang terjadi secara alamiah. Kebanyakan, di antara kita semua (termasuk saya sendiri) sering melakukan kesalahan dalam pemakaian bahasa Indonesia, terutama dalam ucapan/lisan, baik yang menyangkut ejaannya, penggunaan, ketepatan susunan kalimat, dan sebagainya. Apalagi, dalam dunia tulis-menulis, sering dijumpai ketidakkonsistenan dalam menulis, seperti menulis kata ‘konkret’, ada yang menulis kongkrit, lalu ada yang menulis kongkret, ada yang menulis konkrit, dan seterusnya. Sebagai orang yang bijak, tentunya kita tidak harus saling menyalahkan, namun kita dapat merujuk pada referensi yang sudah disahkan untuk penggunaannya, seperti Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), Tesaurus, dan sebagainya.

Dalam perkuliahan “Evaluasi Pembelajaran” yang diampu oleh Bapak Drs. Muchtar Abdul Karim, M.A, beliau pernah bertanya kepada salah seorang mahasiswa, “Berapa umurmu?”, tanya Pak Muchtar-begitu Bapak Drs. Muchtar Abdul Karim, M.A sering disapa. Dengan tegas dan cepat, mahasiswa tersebut menjawab, “Umur saya tiga puluh dua, pak”. Lalu, Pak Muchtar bertanya lagi, “Berapa umurmu?”, mahasiswa tersebut memberikan jawaban yang sama, “Umur saya tiga puluh dua”, sampai diulang lima kali, ternyata jawabannya masih tetap sama. Sementara, Pak Muchtar tetap menyalahkan jawaban mahasiswa tersebut.

Apa gerangan? Apa ada yang salah dari jawaban mahasiswa tersebut? Ada mahasiswa lain yang mencoba memberikan koreksi terhadap jawaban mahasiswa di atas. “Kalau ditanya berapa umurmu, maka jawabannya harus ditambahi satuan umur, yaitu tahun, jadi jawaban mahasiswa tadi seharusnya adalah umur saya tiga puluh dua tahun”. Tetapi, menanggapi komentar mahasiswa ini, Abah Muchtar belum juga membenarkan.

Karena, masih belum diperoleh jawaban yang pas akhirnya Pak Muchtar mengajukan pertanyaan lain, “Berapa nomor telepon rumahmu?”. Lalu, salah seorangn mahasiswa menjawab “Nomor telepon rumah saya adalah 03415792874”. “Wah, banyak benar nomornya, sampai ada berapa juta nomor telepon yang kamu miliki?”, demikian komentar Pak Muchtar.

Ternyata, dari dua pertanyaan tersebut, belum juga didapat jawaban yang pas, akhirnya Pak Muchtar Abdul Karim memberikan penjelasan sebagai berikut:

Kalau ditanya berapa umurmu, maka jawabannya seharusnya adalah umur saya satu. Kemudian, akan dilanjutkan, kalau umurnya satu, apa umurnya, maka jawabannya adalah jenis umur saya tiga puluh dua tahun. Kalau ditanya berapa umurmu, kemudian dijawab umur saya tiga puluh dua, maka tentu akan ada tiga puluh dua jenis umur yang bersangkutan, sehingga kalau dirinci, akan ada umur yang pertama, umur yang kedua, umur yang ketiga, umur yang keempat, umur yang kelima, dan seterusnya sampai jenis umur yang ketiga puluh dua.

Setelah menjelaskan, Pak Muchtar mengulangi pertanyannya, berapa umurmu? Secara serentak, mahasiswa sekelas tersebut menjawab, “Umur saya satu, pak…”, “Benar!”, kata Pak Muchtar. Pertanyaan selanjutnya, “Apa umurmu?”, (suasana di kelas ramai, ada yang menjawab umur saya dua puluh tujuh, umur saya tiga puluh, umur saya tiga puluh lima, dan seterusnya.

Selanjutnya, Abah Muchtar melanjutkan pertanyaan yang kedua, “Berapa nomor teleponmu?”. Akhirnya, dengan kompak, mahasiswa sekelas tersebut menjawab “Nomor telepon saya satu..!” Benar. Lalu “Apa nomor teleponmu?” tanya Pak Muchtar lagi. Dengan semangat, mahasiswa menjawab, nomor telepon saya adalah 0856789234, 081334567123, 0898123765, 081555987345, 087381234, dan seterusnya.

Walhasil, kita menjadi sadar, perbedaan jawaban yang benar ketika ada pertanyaan “Berapa umurmu?”, “Apa umurmu?”, “Berapa nomor teleponmu?”, “Apa nomor teleponmu?”. [ahf]

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *