Sekolah Berbasis Multiple Intelligences

Oleh A Halim Fathani Yahya

Dalam tulisannya, Munif Chatib di harian Jawa Pos (21/10/09) berpendapat bahwa “Keberhasilan pendidikan Indonesia secara makro sangat ditentukan oleh jutaan institusi mikro yang bernama sekolah”. Dengan kata lain sekolah merupakan ”jantung” kehidupan. Baik buruknya seseorang, keluarga, masyarakat, dan negara diprediksi –salah satunya- merupakan hasil dari proses pendidikan (baca: pembelajaran) di sekolah. Pendidikan menjadi salah satu modal bagi seseorang agar dapat berhasil dan mampu meraih kesuksesan dalam kehidupannya (Susanto, 2005:67). Salah satu upaya untuk meningkatkan kualitas mutu pendidikan adalah dengan meningkatkan kualitas belajar bagi setiap siswa.
Faktanya, saat ini jamak kita saksikan model sekolah yang “macam-macam”, mulai dari Sekolah Berstandar Nasional (BSN), Rintisan Sekolah Berstandar Internasional (RSBI), Sekolah Berstandar Internasional (SBI), sekolah unggul, sekolah model, sekolah laboratorium, sekolah percontohan, sekolah percobaan, sekolah akselerasi, sekolah terpadu, sekolah konvensional, sekolah beasrama, dsb. Tetapi, apakah “macam-macam” sekolah tersebut dapat mengantarkan siswa-siswanya untuk menjemput masa depannya secara cemerlang? Bagaimana seharusnya pengelolaan sekolah di masa mendatang? Yang lebih penting, bagaimana seharusnya pembelajaran di kelas dilangsungkan?
Tidak sedikit kita jumpai, pendidikan (baca: sekolah) yang masih menganggap siswa bagaikan kertas kosong yang bebas untuk ditulisi apa saja semua gurunya. Bahkan, hal ini kebanyakan dilakukan sekolah-sekolah yang nota bene “dianggap” unggul oleh sebagian kalangan. Sekolah unggul inilah yang akan mencetak siswa menjadi “seragam”, yang ujung-ujungnya ketika di akhir tahun pelajaran dapat lulus ujian nasional dan memperoleh nilai yang bagus pula. Dalam gaya belajar tradisional di ruang kelas, siswa mendengarkan penjelasan guru, lalu mengerjakan soal atau menulis ulang mata pelajaran tersebut. Untuk sebagian anak, hal ini tidak bermasalah. Tetapi banyak anak yang merasakan hal ini terlalu berat, membosankan, atau bahkan justru membingungkan. Haruskah metode ini kita pertahankan terus?

Pembelajaran di Sekolah Selama Ini
Pada hakikatnya, kecerdasan menduduki tempat yang begitu penting dalam dunia pendidikan, namun seringkali kecerdasan ini dipahami secara parsial oleh sebagian kaum pendidik. Dimyati Mahmud (1989:109) menyatakan bahwa sebenarnya pendapat yang menjelaskan bahwa kecerdasan orang-orang itu berbeda satu sama lain adalah sudah sejak lama. Dua ribu tahun yang lalu, Plato sudah membahas tentang hal ini. Sesungguhnya setiap anak dilahirkan cerdas dengan membawa potensi dan keunikan masing-masing yang memungkinkan mereka untuk menjadi cerdas.
Menurut Hudojo (1988:100) memang tidak ada dua individu yang persis sama, setiap individu adalah unik. Suharyanto (1996:96) menyatakan bahwa jika perbedaan individu kurang diperhatikan, maka banyak siswa akan mengalami kesulitan belajar dan kegagalan belajar. Kenyataan ini menuntut agar siswa dapat dilayani sesuai perkembangan individual masing-masing. Konsekuensinya adalah pembelajaran perlu melayani siswa secara individual untuk menghasilkan perkembangan yang sempurna pada setiap siswa. (Hudojo, 1988:101).
Namun, kebanyakan proses pembelajaran di kelas masih diselenggarakan dengan menggunakan asumsi bahwa setiap pebelajar itu identik. Artinya, dalam proses pembelajaran para pembelajar nyaris tidak mempedulikan keunikan gaya belajar setiap pebelajar. Hal ini diperkuat lagi oleh kenyataan, bahwa dalam pembelajarannya para pembelajar cenderung melaksanakan gaya pengajaran tradisional yang behavioristis. Pembelajaran yang mengabaikan keunikan gaya belajar pebelajar akan memberikan lingkungan yang tidak “sejahtera” bagi sebagian besar pebelajar, bahkan tabrakan gaya kognitif tersebut sangat potensial mengakibatkan pebelajar frustasi dalam belajar. Pebelajar yang mengalami frustasi dalam belajar tidak akan mampu mencapai hasil belajar secara maksimal.

Pembelajaran Berbasis Multiple Intelligences
Adalah Gardner (1983) mengenalkan Teori Multiple Intelligences yang menyatakan bahwa kecerdasan meliputi delapan kemampuan intelektual. Yaitu kecerdasan linguistik, kecerdasan matematis, kecerdasan visual, kecerdasan musikal, kecerdasan kinestetik, kecerdasan interpersonal, kecerdasan intrapersonal, dan kecerdasan naturalis,. Teori tersebut didasarkan pada pemikiran bahwa kemampuan intelektual yang diukur melalui tes IQ sangatlah terbatas, karena tes IQ hanya menekan pada kemampuan logika (matematika) dan bahasa. Padahal setiap orang mempunyai cara yang unik untuk menyelesaikan persoalan yang dihadapinya. Kecerdasan bukan hanya dilihat dari nilai yang diperoleh seseorang. Kecerdasan merupakan kemampuan yang dimiliki oleh seseorang untuk melihat suatu masalah, lalu menyelesaikan masalah tersebut atau membuat sesuatu yang dapat berguna bagi orang lain. Kemudian tahun 1999 Gardner menemukan jenis kecerdasan baru, kecerdasan kesembilan dalam teorinya, yang ia namakan kecerdasan eksistensial. Anak yang memiliki kecerdasan ini memiliki ciri-ciri yaitu cenderung bersikap mempertanyakan segala sesuatu mengenai keberadaan manusia, arti kehidupan, mengapa manusia mengalami kematian, dan realitas yang dihadapinya.
Dengan menerapkan multiple intelligence, maka aktifitas mengajar adalah ibarat air yang mengisi ruang-ruang murid. Ketika murid adalah bagaikan botol, maka seorang pendidik dituntut untuk mampu menyesuaikan seperti botol; dan ketika murid ibarat seperti gelas, maka seorang pendidik juga dituntut dapat mengikuti seperti gelas. Artinya dengan bekal multiple intelligence, aktifitas mengajar harus sesuai (baca: disesuaikan) dengan gaya belajar setiap individu murid. (Chatib, 2009:50). Mengembangkan multiple intelligence siswa merupakan kunci utama untuk kesuksesan masa depan siswa. Dengan mempertimbangkan dan melihat cara belajar apa yang paling menonjol dari masing-masing individu, maka seorang pendidik/orangtua diharapkan dapat bertindak secara arif dan bijaksana dalam memilih gaya mengajar yang sesuai dengan gaya belajar siswa.
Dengan demikian, pembelajaran berbasis multiple intelligence secara umum dapat diartikan sebagai proses pembelajaran yang memberi “ruang gerak” bagi setiap individu siswa untuk mengembangkan potensi kecerdasannya. Siswa dituntut agar dapat belajar secara enjoy, tidak merasa terpaksa, dan memiliki motivasi yang tinggi. Pada hakikatnya, pembelajaran berbasis multiple intelligence dapat juga dimaknai sebagai pembelajaran yang membiarkan anak didik untuk selalu kreatif. Tentunya, kreativitas yang dibangun adalah bentuk ke-kreatif-an yang dapat mendukung terhadap keberlangsungan proses pembelajaran dengan menghasilkan target prestasi akademik yang membanggakan.[ahf]

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *