Oleh A Halim Fathani Yahya
Andre adalah salah satu siswa di kelas Bahasa di salah satu sekolah berstatus negeri di kota Malang. Ia memilih program bahasa karena ingin mengembangkan kemampuan bahasa Arabnya yang telah ia peroleh selama belajar di pondok pesantren di kampungnya ketika masih duduk di tingkat SMP (Sekolah Menengah Pertama). Ia mengakui sangat enjoy ketika mengikuti proses pembelajaran di kelas bahasa tersebut. Hal ini disebabkan ia masuk di kelas bahasa tidak dipaksa oleh guru, orang tua, teman, dan siapapun, melainkan lebih disebabkan pada pertimbangan untuk mengembangkan potensi yang telah dimiliki oleh Andre sebelumnya, yaitu potensi dalam kecerdasan bahasa, terutama bahasa Arab. Prestasi Andre di bidang bahasa Arab sangat mengagumkan. Ia sering menjadi juara lomba pidato bahasa Arab, menulis karangan berbahasa Arab, menulis kaligrafi, menjadi penerjemah, dan sebagainya.
Tetapi, Andre tidak dapat menyembunyikan kegelisahannya ketika tiba waktunya untuk mata pelajaran matematika. Selain ia tidak begitu menguasai bidang matematika, juga disebabkan pelbagai tekanan yang dilakukan seorang guru yang selalu memaksa untuk menghafalkan rumus dan berlatih mengerjakan soal setiap hari. Dengan kata lain, Andre merasa enjoy untuk belajar bahasa Arab, tetapi sangat kesulitan ketika disuruh (baca: dipaksa) untuk belajar matematika. Walhasil ketika hasil Ujian Nasional (UN) diumumkan, ternyata Andre dinyatakan sebagai siswa yang tidak lulus yang disebabkan nilai pelajaran matematikanya tidak memenuhi standar minimal yang ditetapkan.
Fenomena yang terjadi di atas tidak hanya dialami oleh Andre sendiri, tetapi tidak sedikit siswa-siswa sekolah menengah yang mengalami nasib serupa. Lalu, yang menjadi pertanyaan adalah bagaimana selama ini pendidikan di Indonesia itu diselenggarakan? Apakah memang pendidikan Indonesia didesain secara saklek (baca: kaku) dan tidak memberi kebebasan kepada siswa untuk belajar sesuai bidang minatnya? Atau –jangan-jangan– kesalahan diri siswa yang tidak mau untuk belajar serius? Nah, dari beberapa persoalan tersebut, kiranya dapat dicarikan jalan keluarnya, di antaranya, yakni bagaimana seorang guru tersebut dapat melangsungkan proses pembelajaran secara manusiawi. Dengan kata lain proses pembelajaran yang dimaksud harus selalu menghargai potensi apa yang –sebenarnya- dimiliki oleh siswa tersebut. Guru hanyalah berusaha untuk memotivasi diri siswa agar dapat mengembangkannya.
Thomas Amstrong (2004) menegaskan, jika sekolah hanya menawarkan satu cara belajar kepada siswa, maka sekolah itulah yang tidak mampu belajar (meskipun siswa yang menanggung resikonya). Terlalu sering terjadi, pendidik lebih berkonsentrasi menciptakan hierarki akademis yang sempit ketimbang memenuhi kebutuhan siswa. Sehingga, menurutnya untuk mengatasi pelbagai hambatan belajar yang dialami siswa tersebut dapat memanfaatkan pembelajaran dengan pendekatan Multiple Intelligence.
Mengapa kok harus menggunakan pendekatan Multiple Intelligence sebagai solusi pemecahannya? Ada beberapa alasan sebagaimana yang diungkapkan oleh Hoerr (2000), di antaranya adalah: bahwa pendekatan Multiple Intelligence menempatkan siswa, alih-alih kurikulum, sebagai fokus. Menggunakan metode taktil untuk membantu siswa belajar dan mengizinkan siswa menunjukkan pemahaman dengan menggunakan kecerdasan spasial, artistik, atau kinestetis tubuh, merupakan strategi yang sangat membantu guru dalam mengajar siswa.
Sebagai contoh, selain dengan cara tradisional mendengar dan menyebutkan bunyi, siswa dapat belajar mengeja kata dengan kartu huruf, dengan menyanyikan bunyi yang mewakili huruf yang diieja, atau dengan menggambar huruf di pasir. Sayangnya, kelas yang mengajak siswa merancang dan membangun roket, membedah katak, membentuk tanah liat untuk menggambarkan emosi, atau membuat koreografi tarian, sering sangat terbatas hanya bagi siswa yang berbakat, yaitu yang memperoleh nilai di atas rata-rata pada tes kecerdasan standar. Padahal siswa yang “terhambat”, yaitu yang tidak begitu kuat dalam kecerdasan akademis, adalah yang mendapatkan keuntungan paling banyak dari metode pengajaran seperti itu.
Lebih lanjut Hoerr (2000) menjelaskan bahwa keselarasan antara menggunakan pendekatan Multiple Intelligence dan memenuhi kebutuhan siswa untuk belajar dengan cara berbeda merupakan hal yang baik. Guru yang menggunakan Multiple Intelligence tentu memahami bagaimana siswa mereka belajar, dan karenanya, menyesuaikan kurikulum dan pengajaran. Semua siswa akan mendapatkan manfaat dari pendekatan ini, tetapi barangkali yang paling diuntungkan adalah siswa yang menemui kesulitan ketika mencoba belajar hanya dengan menggunakan kecerdasan berbahasa dan logika matematika. Secara tradisional, motivasi dan kesukaan siswa-siswa ini untuk belajar menjadi korban dalam lingkungan yang tidak menghargai kecerdasan non-akademis mereka.
Sebenarnya, menyelenggarakan proses pembelajaran dengan pendekatan Multiple Intelligence bukanlah “jaminan mutlak” untuk dapat mengatasi kesembuhan “penyakit” bagi siswa yang mengalami kendala dan hambatan dalam belajarnya. Hanya menggunakan Multiple Intelligence tidak dapat menyelesaikan masalah-masalah dalam kesulitan belajar yang dialami siswa Sally Grimes dari Cape Code Education Center –sebagaimana yang dikutip Hoerr- menyatakan bahwa “pendekatan Multiple Intelligence sering disambut antusias oleh siswa yang mengalami hambatan belajar, karena dapat menjawab beberapa masalah kritis mengenai pembelajaran dan membuka pintu belajar bagi mereka. Tetapi, keberhasilan hanya menggores permukaan dalam kasus “hambatan belajar” sebenarnya karena guru tidak punya pemahaman mendalam tentang mengapa metode itu efektif untuk siswa, bagaimana cara terbaik memaksimalkan metode seperti itu, dan intensitas serta durasi aspek tertentu yang diperlukan dalam beberapa kasus.
Keprihatinan lain dalam hal ini adalah ketika Multiple Intelligence berhasil digunakan untuk membantu siswa dengan hambatan belajar, tetapi Multiple Intelligence dilihat hanya akan sebagai alat untuk membantu siswa yang mengalami kesulitan belajar. Meskipun menggunakan Multiple Intelligence bukan berarti kehilangan semangat atau usaha untuk mencapai standar akademis tinggi, mereka yang tidak memahami Multiple Intelligence mungkin tidak menerima gagasan bahwa Multiple Intelligence dapat memberi siswa alat yang berbeda untuk belajar. Kreativitas yang terdapat dalam pendekatan Multiple Intelligence dan meningkatnya peluang siswa untuk berhasil mungkin akan mnyebabkan sebagian orang melihat bahwa Multiple Intelligence hanya menguntungkan bagi siswa yang mengalami kesulitan belajar.
Oleh sebab itu salah satu alternatif untuk memecahkan problem kesulitan belajar yang sering dihadapi siswa maupun guru ketika melaksanakan proses pembelajaran, di antaranya adalah pembelajaran harus diselenggarakan dengan menghargai potensi kecerdasan yang dimiliki setiap individu siswa. Masing-masing siswa tentu memiliki potensi kecerdasan yang tidak sama, sehingga rasanya seorang guru akan tidak ‘adil’ jika tetap saja memaksa kepada semua siswa untuk mahir di bidang tertentu ansich, misalnya siswa harus menguasai matematika, tetapi jarang ditemukan guru yang menginginkan anak didiknya menguasai pada bidang musik, tata boga, atau lainnya.
Dengan demikian, pembelajaran berbasis Multiple Intelligence secara umum dapat diartikan sebagai proses pembelajaran yang memberi “ruang gerak” bagi setiap individu siswa untuk mengembangkan potensi kecerdasannya. Siswa dituntut agar dapat belajar secara enjoy, tidak merasa terpaksa, dan memiliki motivasi yang tinggi. Pada hakikatnya, pembelajaran berbasis Multiple Intelligence dapat juga dimaknai sebagai pembelajaran yang membiarkan anak didik untuk selalu kreatif. Tentunya, kreativitas yang dibangun adalah bentuk ke-kreatif-an yang dapat mendukung terhadap keberlangsungan proses pembelajaran dengan menghasilkan target prestasi akademik yang membanggakan.[ahf]