Oleh A Halim Fathani Yahya
Terjadinya pemisahan agama dari ilmu pengetahuan sebagaimana tersebut di atas terjadi pada abad pertengahan, yakni pada saat umat Islam kurang memperdulikan (baca: meninggalkan) iptek. Pada masa itu yang berpengaruh di masyarakat Islam adalah ulama tarikat dan ulama fiqih. Keduanya menanamkan paham taklid dan membatasi kajian agama hanya dalam bidang yang sampai sekarang masih dikenal sebagai ilmu-ilmu agama seperti tafsir, fiqih, dan tauhid. Ilmu tersebut mempunyai pendekatan normatif dan tarekat, tarekat hanyut dalam wirid dan dzikir dalam rangka mensucikan jiwa dan mendekatkan diri kepada Allah swt dengan menjauhkan kehidupan duniawi.
Sedangkan ulama tidak tertarik mempelajari alam dan kehidupan manusia secara objektif. Bahkan ada yang mengharamkan untuk mempelajari filsafat, padahal dari filsafatlah iptek bisa berkembang pesat. Keadaan ini mengalami perubahan pada akhir abad ke-19, yakni sejak ide-ide pembaharuan diterima dan didukung oleh sebagian umat. Mereka mengkritik pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi modern yang dipisahkan dari ajaran agama, seperti dikemukakan oleh Muhammad Naquib al-Attas dan Ismail Razi al-Faruqi dengan tujuan agar ilmu pengetahuan dapat membawa kepada kesejahteraan bagi umat manusia. Menurut para ilmuwan dan cendekiawan muslim tersebut, pengembangan iptek perlu dikembalikan pada kerangka dan perspektif ajaran Islam. Oleh sebab itu, al-Faruqi menyerukan perlunya dilaksanakan islamisasi sains. Dan, sejak itu gerakan islamisasi ilmu pengetahuan digulirkan, dan kajian mengenai Islam dalam hubungannya dengan pengembangan iptek mulai digali dan diperkenalkan.
Dewasa ini, dunia pendidikan tinggi Islam sebagian besar masih mengikuti platform keilmuan klasik yang didominasi ulum al-syar’i. Memasuki periode modern, tradisi itu mengalami kesenjangan dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi yang telah sangat kuat mempengaruhi peradaban umat manusia dewasa ini. Kesenjangan itu telah menghadapkan dunia pendidikan tinggi Islam dalam tiga situasi yang buruk: pertama, dikotomi yang berkepanjangan antara ilmu agama dan ilmu umum; kedua, keterasingan pengajaran ilmu-ilmu keagamaan dari realitas kemodernan; dan ketiga menjauhnya kemajuan ilmu pengetahuan dari nilai-nilai agama (Husni Rahim, 2004:51).
Dalam tulisannya, A Khudhori Sholeh (2002) menguraikan bahwa perceraian sains modern (Barat) dari nilai-nilai teologis ini memberikan implikasi negatif. Pertama, dalam aplikasinya, sains modern (Barat) melihat alam beserta hukum dan polanya, termasuk manusia sendiri, hanya secara material dan insidental yang eksis tanpa interfensi Allah swt. Oleh karena itu, manusia bisa memperkosa dan mengeksploitir kekayaan alam tanpa perhitungan. Kedua, secara metodologis, sains modern tidak terkecuali ilmu-ilmu sosial, tidak bisa diterapkan untuk memahami realitas sosial masyarakat muslim yang mempunyai pandangan hidup berbeda dari Barat. Sementara itu keilmuan Islam sendiri yang dianggap bersentuhan dengan nilai-nilai teologis, terlalu berorientasi pada religiusitas dan spiritualitas tanpa memperdulikan betapa pentingnya ilmu-ilmu sosial dan ilmu kealaman yang dianggap ”sekuler” tersebut.
Dengan dalih menjaga identitas keislaman dalam liberalisasi budaya global, para ulama dan ilmuwan Muslim bersikap defensif dengan mengambil posisi konservatif-statis, yakni dengan melarang segala bentuk inovasi dan mengedepankan ketaatan fanatik terhadap syariah (fiqih produk abad pertengahan). Mereka menganggap bahwa syariah (fiqih) adalah hasil karya yang fixed dan paripurna, sehingga segala perubahan dan pembaharuan adalah merupakan bentuk penyimpangan dan setiap penyimpangan adalah terkutuk, sesat, dan bid’ah. Mereka melupakan sumber utama kreativitas yakni ijtihad, bahkan mencanangkan ketertutupannya. (A. Khudhori Sholeh, 2002).
Dalam menghadapi perubahan dan perkembangan pesat ilmu pengetahuan dan teknologi manusia pada zaman sekarang ini, umat Islam dapat menyusun semula dasar keutamaan mereka dalam bidang pendidikan untuk masa depan. Konsep penggabungan dan keterpaduan ilmu antara ilmu aqli dan naqli, atau ilmu wahyu dan ilmu ciptaan manusia, haruslah diberikan keutamaan berdasarkan konsep al-Ghazali sendiri. Masyarakat Islam juga tentunya tidak boleh mengabaikan pendidikan ilmu ketuhanan dan kerohanian, atau bidang yang dikenali sekarang sebagai bidang pengajian Islam. Namun dalam masa yang sama kita juga tidak mau masyarakat Islam ketinggalan dalam bidang ilmu keduniaan dan profesional yang dapat mengangkat martabat dan kehidupan masyarakat kita dalam dunia yang penuh dengan persaingan ini.
Dalam kaitan dengan hal di atas, dalam analisis Iwan Satriawan (2002) memeparkan bahwa ada beberapa permasalahan yang muncul dalam masyarakat muslim. Pertama, pada praktiknya al-Quran masih dipahami oleh masyarakat terbatas sebagai kitab hukum agama yang mengatur masalah wajib, haram, sunah, makruh, dan mubah. Al-Quran belum ditempatkan pada posisi yang sebenarnya, yakni sebagai petunjuk, sebagaimana dinyatakan dalam surat al-Baqarah ayat 2: ”Kitab (Al Quran) Ini tidak ada keraguan padanya; petunjuk bagi mereka yang bertaqwa.”
Hal ini merupakan akibat dari sistem pendidikan sekuler yang tidak menempatkan al-Qur’an sebagai referensi utama masyarakat dalam mengkaji berbagai cabang ilmu pengetahuan. Akibatnya, seorang sarjana hukum, misalnya, bisa dipastikan lebih fasih mengutip Austin, Kelsen, atau Bentham dalam uraian-uraiannya daripada mengutip al-Shatibi, al-Ghazali, atau al-Saraksi dalam perbincangan mengenai filsafat dan metodologi hukum yang menggunakan al-Qur’an sebagai sumber utama. Artinya, sistem pendidikan khususnya kurikulumnya, mendorong seorang muslim untuk menjadikan al-Qur’an sebagai rujukan utama dalam membedah berbagai persoalan yang muncul dalam masyarakat.
Kedua, secara eksternal masih ada konflik dalam ilmu pengetahuan itu sendiri. Ilmu hukum misalnya masih belum bisa mengakomodasi eksistensi hukum Islam secara komprehensif dengan argumentasi bahwa Indonesia bukanlah negara Islam. Dengan kata lain, for the sake of nationalism, masyarakat muslim diharuskan tunduk pada hukum yang tidak sesuai dengan aspirasi religiusnya sendiri. Pendeknya, dalam perdebatan antara nasionalisme dan Islam, kepentingan umat Islam selalu menjadi hal yang dikorbankan dan dipinggirkan. Karena itu, diperlukan sebuah konsep ketatanegaraan yang sanggup melakukan harmonisasi antara kepentingan nasionalisme dan aspirasi religius masyarakat, apakah Islam, Kristen, Katolik, Hindu, atau Budha.
Lebih lanjut, Iwan Satriawan (2002) memberikan beberapa solusi alternatif yang bisa dipertimbangkan untuk menyelesaikan berbagai ketimpangan paradigma keilmuan di atas. Pertama, paradigma pendidikan umat Islam memang harus diubah dengan memasukkan visi religiusitas sebagai basis utama pendidikan. Hal ini tentu harus ditindaklanjuti melalui perombakan kurikulum dengan menjadikan agama sebagai rujukan utama. Untuk konteks umat Islam, kurikulum pendidikannya harus menjadikan al-Qur’an dan al-Sunnah sebagai sumber utama dalam mengkaji berbagai cabang ilmu yang ada. Dengan pola seperti ini, maka ada sebuah proses integrasi antara nilai-nilai Islam dan berbagai cabang ilmu pengetahuan yang ada. Pola pendidikan seperti ini sudah dijalankan di beberapa kampus, seperti di International Islamic University Malaysia dan International Islamic University Islamabad, Pakistan. Dengan konsep ini diharapkan akan lahir generasi yang leading dan enlightening.
Kedua, harus ada upaya serius untuk melakukan proses harmonisasi antara sistem pendidikan sekuler dan nilai-nilai Islam, sehingga konflik-konflik ilmu pengetahuan bisa diminimalisasi. Langkah ini sangat urgen. Yang jelas, proses harmonisasi ini bukanlah berarti menghilangkan ilmu-ilmu yang berasal dari Barat. Umat beragama harus bersatu dalam sebuah platform bahwa suatu ilmu pengetahuan akan rapuh jika nilai-nilai religiusitas tidak menjadi basis utama dalam membangun struktur keilmuan yang diinginkan. [ahf]
Daftar Pustaka
Husni Rahim. 2004. Horizon Baru Pengembangan Pendidikan Islam. Malang: UIN Malang Press.
A. Khudhori Sholeh. 2002. “Mencermati Gagasan Islamisasi Ilmu Faruqi” Jurnal el-Harakah. Edisi 57 Tahun XXII, Desember 2001 – Pebruari 2002, 7.
Iwan Satriawan. 2002. “Al-Qur’an dan Konstitusi Modern.” Media Indonesia, 8 Nopember 2002.