Oleh A Halim Fathani Yahya
Tidak sedikit kepala madrasah, pengurus yayasan, guru madrasah, dan pihak lain yang berkecimpung di dunia pendidikan (baca: madrasah) yang mengeluh terus-terusan akibat lembaganya hanya dipandang sebelah mata bahkan tidak dilirik sama sekali oleh masyarakat. Sebagian masyarakat masih memiliki anggapan bahwa lulusan madrasah, baik tingkat dasar maupun menengah masih belum cukup bersaing di kancah nasional atau lebih dari itu. Lulusan madrasah hanya dipandang sebagai orang yang layak menduduki “kursi pejabat” di desa-desa, seperti takmir masjid, khotib sholat jum’at, modin (pemimpin do’a), mengurus jenazah, dan lain sebagainya. Dengan kata lain lulusan madrasah oleh sebagian kalangan “hanya” diperbolehkan untuk mengurusi pada bidang keagamaan semata.
Sementara itu, untuk bidang lain, seperti pemerintahan, dunia pers, pelayanan kesehatan masyarakat, ekonomi dan bisnis, pariwisata, dan bidang-bidang lainnya lebih dipercayakan kepada lulusan dari lembaga pendidikan umum. Masyarakat menilai lulusan ini lebih layak dan dianggap mampu untuk menduduki posisi tersebut. Meskipun, akhir-akhir ini banyak kita saksikan pendidikan-pendidikan professional yang bernaung di bawah madrasah, misalnya SMK Teknik, SMK Ekonomi, Tata Boga, pariwisata, Komputer, dan sebaginya, tetapi masyarakat tetap saja tidak berambisi untuk merekrut tenaga dari lulusan madrasah. Mengapa demikian? Hal ini disebabkan salah satunya adalah, madrasah belum mampu menunjukkan di lapangan bahwa lulusan madrasah adalah lulusan yang siap pakai. Banyak dijumpai di lapangan yang menunjukkan kualitas lulusan madrasah pada umumnya lebih rendah dibanding lulusan non-madrasah. Meski ada lulusan madrasah bidang Teknik dengan nilai yang hampir sama, namun pada faktanya kualitas tetap dimenangkan oleh lulusan dari sekolah umum.
Kesimpulan awal yang dapat ditarik dari paparan di atas adalah keberadaan madrasah belum di’akui’ oleh masyarakat secara umum. Masyarakat lebih cenderung mengutamakan lulusan pendidikan umum untuk direkrut menjadi tenaga kerja. Sebagai pengamat pendidikan, dan orang yang dibesarkan dari lembaga pendidikan yang berlabel madrasah, penulis terpanggil untuk ikut memberikan sumbangsih pemikiran terkait hal ini. Sesungguhnya, penulis adalah salah seorang yang tidak setuju dengan argumen di atas. Sebab tidak sedikit kita saksikan lulusan madrasah yang sukses menduduki posisi penting di bidang non agama. Sebut saja, Gus Dur pernah menduduki jabatan puncak sebagai Presiden RI, Hasyim Muzadi sebagai Cawapres pada pemilu 2004. Namun, secara umum penulis mengakui kebenaran pernyataan di atas karena memang banyak keberadaan madrasah khususnya di pelosok pedesaan yang keadaannya sungguh dan amat memprihatinkan. Pendek kata, lulusan madrasah yang memiliki kemampuan di bidang non-agama relatif sedikit dibanding dengan lulusan non-madrasah. Lulusan madrasah memang masih menunjukkan bahwa mereka hanyalah orang-orang yang layak untuk duduk di posisi keagamaan (dalam arti sempit) semata.
Terkait hal ini, dalam suatu kesempatan Imam Suprayogo, Rektor UIN Maliki Malang pernah mengatakan bahwa ciri khusus madrasah adalah lembaga pendidikan yang tahan hidup dan sukar maju. Memang, keberadaan madrasah amat memprihatinkan, namun kelebihan lain adalah madrasah tersebut tetap saja berdiri kokoh berkat kesungguhan dan perjuangan para pengurus yayasannya. Jika demikian, maka muncullah pendapat apa tidak sebaiknya madrasah yang “sakit-sakitan” tersebut sekalian untuk dibubarkan. Lebih baik menyelenggarakan dan mendirikan madrasah yang tidak banyak namun berkualitas, daripada banyak madrasah tetapi tidak ada yang dapat diandalkan.
Dilema Madrasah
Alasan klasik yang sering dilontarkan oleh pihak madrasah terkait rendahnya kualitas lulusannya adalah disebabkan madrasah hanya dijadikan alternatif kedua bahkan terakhir oleh siswa yang belajar di madrasah. Siswa yang masuk ke madrasah merupakan hasil dari “sisa-sisa” siswa yang tidak tersaring pada sekolah umum, yang tentu saja secara intelektual relatif rendah. Dengan kualitas input demikian, maka sangat wajar bila lulusan madrasah tidak sebaik dengan lulusan sekolah umum. Fenomena ini sesungguhnya terjadi hampir di setiap lembaga madrasah baik di pedesaan maupun di perkotaan.
Namun jika kita terus-terusan hanya mengeluh tentang input yang rendah tanpa mau mengambil sikap pemecahannya, maka masa depan madrasah akan semakin hancur. Oleh sebab itu kita harus merubah pola pikir, bagaimana dengan input yang ada itu diolah sedemikian rupa sehingga menghasilkan output yang tidak kalah dengan lembaga pendidikan non-madrasah. Seperti sebuah industri barang. Jika kualitas bahan bakunya jelek maka kualitas produksinya juga rendah. Di sini, proses produksi menjadi sesuatu yang tidak banyak berarti. Padahal, prinsip ekonomi adalah untuk mendapatkan untung sebanyak-banyaknya dengan modal sekecil-kecilnya. Prinsip seperti ini, tentu hanya dapat tercapai jika sebuah proses produksi dimaksimalkan untuk mengolah bahan yang murah (baca: berkualitas rendah) yang kemudian menghasilkan produk yang berkualitas.
Sama halnya, jika penyebab rendahnya kualitas siswa dituduhkan ke kualitas input, maka berarti proses pendidikan yang berlangsung di madrasah tidak membuahkan hasil, tidak memberikan nilai tambah yang berharga bagi masa depan dan perkembangan anak. Meniru konsep produksi barang di atas, maka seandainya madrasah mampu untuk memberikan pendidikan yang bagus selama proses maka lulusan yang dihasilkan pun akan tidak kalah bersaing dengan sekolah-sekolah umum yang nota bene memiliki kualitass input yang tinggi.
Peluang Madrasah
Belajar dari kondisi yang dialami oleh perusahaan yang memproduksi barang tersebut, maka bila ditarik dalam sistem pendidikan yang ada di madrasah akan diperoleh profil lulusan yang membanggakan. Sudah bukan saatnya lagi sebagai pengelola madrasah kita hanya disibukkan ‘berfikir’ tentang masalah sepeleh (tapi juga berpengaruh) tersebut (baca: persoalan input siswa). Jikalau pikiran kita hanya terfokus pada, bagaimana mencari input siswa yang memiliki kemampuan tinggi maka selamanya pendidikan di madrasah tidak akan dapat maju dan berkembang bahkan bisa jadi tinggal kenangan manis belaka.
Penulis yakin, jika para pengelola madrasah mau merubah pola pikirnya, maka dalam waktu tidak lama lagi akan kita saksikan lulusan – lulusan madrasah yang handal dan professional, mampu bersaing, dan siap pakai. Sudah saatnya, kita memikirkan bagaimana siswa yang telah mendaftar di madrasah ini dikelola dan dikembangkan sebaik mungkin, maka niscaya hasil yang akan diperoleh pun bisa jadi menyaingi sekolah-sekolah yang berlabel ‘negeri’ yang biasanya menjadi jujugan kebanyakan siswa.
Bahkan menurut Said Abdullah (wawancara dalam Duta Masyarakat, 03/01/07), ke depan madrasah akan menjadi lembaga pendidikan yang dibutuhkan masyarakat, menjadi lembaga pendidikan alternative dan merupakan solusi masa depan. Hal ini disebabkan trend yang terjadi saat ini adalah bukan trend kekanan-kananan, tapi semakin modern masyarakat , semakin memerlukan pegangan yakni kebutuhan spiritualitas. Dan kita ketahui, bahwa kebutuhan spiritualitas ini hanya dapat kita jumpai pada lembaga pendidikan yang berlabel ‘madrasah’. Di luar itu jarang bahkan tidak ada lembaga pendidikan yang menawarkan kebutuhan intelektual dan spiritualitas secara sekaligus.
Melihat peluang ini, maka pengelola madrasah harus benar-benar dapat memanfaatkan sekaligus membuktikan dan memberi jawaban konkrit kepada masyarakat bahwa madrasah (mulai detik ini) merupakan lembaga pendidikan yang memadukan antara kecerdasan intelektual, emosional, dan spiritual. Lulusan madrasah selain memiliki kemampuan di bidang ilmu pengetahuan dan teknologi juga diimbangi dengan kecerdasan di bidang spiritual (iman dan taqwa). Dengan demikian, lulusan madrasah diharapkan memiliki kecerdasan dalam melakukan komunikasi horizontal (habl min al-naas) dan komunikasi vertikal (habl min-Allah) yang tinggi. [ahf]