Oleh A Halim Fathani Yahya
Sejak dijadikannya standar kelulusan minimal dalam ujian nasional, baik di tingka SMA atau SMP, jamak kita saksikan siswa yang “bingung” ketika diputuskan untuk tidak lulus ujian. Bahkan, tingkat ketidaklulusan dalam ujian nasional selalu bertambah. Akibatnya, mereka harus rela untuk mengulang kembali dalam ujian susulan atau mengikuti program kejar paket B atau C. ST Kartono (2009:56) berpendapat bahwa angka lulus dan tidak lulus bukanlah sesuatu yang penting. Menurutnya ujian nasional harus dilaksanakan secara jujur. Ujian nasional tidak hanya menguji kecerdasan, tetapi juga menguji kejujuran siswa, guru, dan kepala sekolah.
Berbicara mengenai kejujuran, kiranya perlu dicari “format baru” bagaimana pola kejujuran dapat diinternalisasikan dalam praktik ujian nasional. Jujur artinya keselarasan antara yang terucap dengan kenyataannya. Jadi, kalau suatu berita sesuai dengan keadaan yang ada, maka dikatakan benar/jujur, tetapi kalau tidak, maka dikatakan dusta. Kejujuran itu ada pada ucapan, juga ada pada perbuatan, sebagaimana seorang yang melakukan suatu perbuatan, tentu sesuai dengan yang ada pada batinnya. Seorang yang berbuat riya’ tidaklah dikatakan sebagai seorang yang jujur karena dia telah menampakkan sesuatu yang berbeda dengan apa yang dia sembunyikan (di dalam batinnya). Demikian juga seorang munafik tidaklah dikatakan sebagai seorang yang jujur karena dia menampakkan dirinya sebagai seorang yang bertauhid, padahal sebaliknya. Yang jelas, kejujuran merupakan sifat seorang yang beriman, sedangkan lawannya, dusta, merupakan sifat orang yang munafik.
Kejujuran “Pengetahuan”
Ketika ujian nasional, maka siswa harus dapat menyelesaikan (menjawab) soal-soal ujian secara benar sesuai dengan standar minimal yang ditetapkan. Setiap siswa harus dapat memilih jawaban yang benar sehingga dapat mencapai prestasi yang baik, akibatnya siswa tersebut dapat dinyatakan lulus ujian nasional.
Nah, sekarang bagaimana agar siswa itu dapat lulus ujian nasional? Gampang saja, jawabannya adalah jujur. Berlaku jujur dalam menjawab soal berarti siswa harus mampu memilih jawaban yang memang “benar-benar” jawabannya. Jadi, jika ada pertanyaan yang jawaban benarnya adalah A, sedangkan pilihan B, C, D, dan E merupakan jawaban yang salah. Maka, siswa yang menjawab A berarti ia telah berbuat jujur dalam pengetahuan, sehingga pantas ia mendapat “nilai” benar dalam pertanyaan tersebut. Tetapi, jika siswa memilih jawaban B, C, D, E maka siswa tersebut telah berbuat “bohong” terhadap pengetahuan. Hal ini disebabkan jawaban yang dipilih merupakan jawaban yang tidak benar dengan pertanyaannya.
Dengan kata lain, setiap siswa harus pertanyaan harus mampu berbuat jujur sehingga dapat menjawab pertanyaan sesuai dengan jawaban yang memang benar-benar jawabannya. Tetapi, jika siswa memilih berbohong atau memilih jawaban yang bukan jawabannya maka ia akan dinyatakan tidak berhasil. Walhasil, jika ingin mendapat nilai seratus, maka siswa harus menjawab secara jujur.
Nihil: Angka Tidak Lulus UN
Agar dapat menjawab setiap soal dengan jujur, maka dibutuhkan modal yang cukup. Artinya, siswa harus menguasai materi-materi pelajaran, terutama yang terkait dengan pertanyaan-pertanyaan yang diujikan. Maka, tidak ada cara lain kecuali dengan cara “Belajar”. Belajar bisa berarti sebuah upaya dalam memahami materi pelajaran, tentu dengan gaya belajarnya masing-masing. Jikalau belajar ini dapat didesain secara maksimal, maka kemungkinan untuk menjawab soal-soal secara jujur (baca: benar) memiliki peluang yang besar. “Hanya” dengan cara demikianlah kemungkinan angka ketidaklulusan ujian nasional dapat diminimalisir. Sisi positifnya, siswa harus “berani” belajar secara sungguh dan akan berakibat pada kejujuran dalam menjawab soal-soal. Semoga. [ahf]